MK tolak uji materi UU kewarganegaraan
Proses naturalisasi anak hasil kawin campur di Indonesia masih rumit

Jakarta
Iqbal Musyaffa
JAKARTA
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan judicial review atas pasal 41 undang-undang (UU) 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia yang diajukan oleh Hartini Natapradja Hamel, Kamis.
Pemohon melakukan gugatan terhadap adanya pasal mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 tahun setelah UU diundangkan agar bisa menjadi warga negara Indonesia bagi anak yang belum berusia 18 tahun ataupun belum menikah yang lahir sebelum tahun 2006.
Pasal ini dianggap oleh pemohon sebagai sebuah diskriminasi yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerumitan administrasi. Namun, MK berpendapat gugatan tersebut tidak beralasan secara hukum.
Gugatan ini diajukan setelah anak dari pemohon yaitu Gloria Natapradja Hamel sempat bermasalah ketika menjadi pasukan pengibar bendera pada hari kemerdekaan Indonesia tahun 2016 karena memiliki paspor Perancis dan tidak dianggap sebagai warga negara Indonesia. Sebagai informasi, ayah Gloria adalah warga negara Perancis.
Karena terlahir pada tahun 2000 sebelum adanya undang-undang 12 tahun 2006, maka ia harus didaftarkan untuk bisa menjadi WNI sebagaimana diatur dalam pasal 41 UU tersebut. Namun, orang tua yang bersangkutan tidak mendaftarkannya karena ketidaktahuan tentang aturan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, MK menilai hilangnya kesempatan anak pemohon untuk bisa menjadi WNI karena pemohon tidak melakukan ketentuan sebagaimana diharuskan dalam pasal 41 UU 12 tahun 2006 dan bukan disebabkan oleh inkonstitusionalnya pasal tersebut.
“Ini adalah kesalahan yang bersangkutan. Alasan kelalaian dan ketidaktahuan atas hukum dan UU tidak dapat digunakan sebagai landasan tuntutan,” jelas Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam persidangan.
Meskipun batas waktu bagi Gloria untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia sudah terlampaui, Hakim mengatakan masih ada jalan untuknya bisa memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan sebagaimana diatur dalam bab III undang-undang 12 tahun 2006.
Naturalisasi masih rumit
Setelah mendengarkan amar putusan majelis hakim konstitusi, Hartini Natapradja Hamel selaku pemohon menerima putusan tersebut mengatakan akan menempuh upaya naturalisasi agar anaknya bisa menjadi WNI setelah kesempatan yang diatur dalam undang-undang kewarganegaraan telah lewat.
Namun, ia mengeluhkan rumitnya proses naturalisasi bagi anak-anak hasil perkawinan campur.
“Untuk naturalisasi ada uang pendaftaran senilai Rp 50 juta per anak. Tapi belum tentu juga permohonan menjadi WNI bisa dikabulkan. Ini jadi masalah karena uangnya tidak bisa ditarik lagi,” keluhnya.
Menurutnya, banyak anak-anak hasil perkawinan campur yang menghadapi masalah serupa dengan anaknya. “Mudah-mudahan ada jalan terbaik untuk anak-anak kita. Pemerintah harus sadar dengan masalah ini. Tolong dengarkan kami untuk kebaikan bersama,” lanjutnya.
Untuk kelanjutan masalah kewarganegaraan anak hasil perkawinan campur, ia mengaku akan berdiskusi dengan orang tua yang menikah campur lainnya dan masih bermasalah terkait kewarganegaraan anaknya untuk mengambil langkah selanjutnya.
Sementara itu, Gloria mengharapkan pemerintah memikirkan nasib kewarganegaraan anak-anak sepertinya yang terlahir sebelum keluarnya undang-undang kewarganegaraan dan tidak mengetahui adanya peraturan tersebut.
“Saya tahu sekali bagaimana rasanya tidak diakui oleh negara sendiri. Ini kan soal takdir. Kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa, termasuk juga untuk menjadi anak dari perkawinan campur,” ungkapnya.