Nasional

Menakar gerakan terorisme di Indonesia dan Filipina

Indonesia dan Filipina sama-sama dikepung gerakan terorisme, namun pemerintah setempat memiliki strategi berbeda

Hayati Nupus  | 15.02.2018 - Update : 15.02.2018
Menakar gerakan terorisme di Indonesia dan Filipina Tentara Filipina sedang berpatroli di suatu desa di kawasan Marawi, Filipina Selatan (Foto file - Anadolu Agnecy)

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Indonesia dan Filipina memiliki strategi berbeda dalam menanggulangi gerakan terorisme.

Pakar terorisme Ateneo de Manila University sekaligus mantan Sekretaris Kantor Penasihat Presiden untuk Proses perdamaian Republik Filipina Jennifer S Oreta mengatakan pemerintah Filipina mengirimkan tentara ke wilayah-wilayah konflik untuk menuntaskan kelompok teror.

“Selain itu kepolisian berkolaborasi bersama masyarakat untuk menciptakan perdamaian di wilayah konflik,” kata Oretta, Rabu, dalam diskusi Talking ASEAN: Armed Extremism in Southeast Asia and the Role of ASEAN, di Jakarta.

Meski begitu, kata Oretta, militer Filipina mengakui jika pendekatan militer bukan solusi tepat untuk menyelesaikan persoalan terorisme.

“Tetap saja akar persoalannya tidak selesai, terorisme itu karena persoalan sosial, pelayanan pemerintah, ekonomi dan sebagainya,” ujar dia.

Oktober 2017 lalu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyebutkan bahwa Marawi telah bebas dari Daesh, setelah Isnilon Hapilon ditembak mati.

Meski begitu, kata Oretta, meski pemimpin Daesh telah mati tak berarti perang terhadap terorisme di Marawi berakhir.

“Militer masih menangani itu,” ujar Oretta.

Indonesia dan Filipina memiliki kesamaan sebagai negara yang dikepung gerakan terorisme. Di Filipina, kata Oreta, gerakan terrorisme bisa dirunut dari kemunculan Abu Sayaff yang didirikan Abdurajak Janjalani pada 1991.

Janjalani merupakan kombatan perang Afghanistan pada 1980an. Dia dibunuh pada 1998 namun berhasil menyebarkan doktrin radikal di Filipina.

Selain Abu Sayyaf, kelompok terorisme lainnya di Filipina adalah Gerakan Rajah Sulayman (RSM) di Manila, Bangsamoro, Anshar al-Khilafah Philippines, Basit USMAN Group, dan Amin BACO Group.


--Indonesia masih lakukan pendekatan keras untuk terorisme

Sedang di Indonesia, kelompok teroris sudah sejak lama unjuk gigi. Sejak SM Kartosuwiryo berupaya mendirikan khilafah islamiyah di Indonesia lewat gerakan Darul Islam.

Pemerintah Orde Baru menumpas Darul Islam di Jawa Barat pada 1963. Kartosuwiryo dieksekusi mati sementara pengikutnya diikutkan agenda deradikalisasi lewat program transmigrasi.

Belakangan, kata Direktur Society Against Radical & Violent Extremism (SeRVE) Dete Aliah, gerakan terorisme di Indonesia tak mudah dipetakan. Beberapa yang tampak di antaranya Jamaah Islamiyah yang membom Bali pada 2002 dan 2005, Jamaah Ansharut Tauhid dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Dete mengatakan Indonesia terhitung gencar menanggulangi gerakan terorisme lewat pendekatan keras. Pelaku teror ditangkap, diproses hukum di pengadilan dan dipidana.

Sementara strategi lewat pendekatan lunak belum optimal, kata Dete, meski telah lama dilakukan oleh pemerintah dan gerakan sipil.

“Isu terorisme itu kompleks, ada banyak pemain dan menanganinya tidak mudah,” ujar Dete.

Tiap negara, ungkap Dete, memiliki karakter persoalan terorisme berbeda. Makanya, pendekatan yang dilakukan pun bisa beragam.

“Di Filipina, organisasi yang membantu teroris bisa dicap mendukung terorisme, sementara di Indoensia tidak,” kata Dete.

Selain itu, ujar Dete, di Indonesia relasi antara pemerintah dengan organisasi sipil bersifat cair. Kedua lembaga bisa berkolaborasi dalam menangani terorisme. Sedang di Filipina, ada kesenjangan antara pemerintah dan organisasi sipil.

Peneliti Program Pengawasan dan Resolusi Konflik The Habibie Center Mohammad Hasan Ansori mengatakan tren gerakan terorisme di Asia Tenggara meningkat ketimbang pada 1970. Peningkatan itu terutama mulai 2010 hingga kini.

“Asia Tenggara menjadi rumah bagi jaringan terorisme selama beberapa dekade,” kata Hasan.

Paling gencar, ujar Hasan, adalah kelompok Abu Sayyaf dan Jamaah Islamiyah.

Ketimbang Filipina dan Thailand, intensitas gerakan teror di Indonesia sebetulnya lebih rendah. Indeks Terorisme Global 2017 menempatkan Indonesia pada posisi 42. Sedang Filipina di peringkat 12 dan Thailand 16.

Suburnya gerakan terorisme di Asia Tenggara, kata Hasan, tak lepas dari sejumlah faktor. Di antaranya lemahnya negara, sejarah kekerasan politik, tingkat kemiskinan tinggi, dan korupsi.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.