Komnas Perempuan: Masyarakat belum waspada dengan 'gang rape'
Komnas Perempuan menyayangkan kasus kekerasan seksual yang hanya disamakan sebagai masalah moral

Jakarta Raya
Megiza Asmail
JAKARTA
Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menilai masyarakat saat ini belum mewaspadai kasus kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan bergerombol atau gang rape.
Ketidakwaspadaan masyarakat atas rentannya kejahatan seksual pada perempuan itu, menurut Sri, paling parah terjadi pada awal November lalu. Kala itu kasus pemerkosaan seorang siswa oleh puluhan pemuda di Bengkulu menggegerkan banyak pihak.
“Masyarakan terlihat belum aware dengan gang rape. Terakhir di Bengkulu, yang parahnya menyalahkan korban dan keluarga,” kata Sri saat berbicara dengan Anadolu Agency di Jakarta, Selasa.
Dia menuturkan, lembaganya sangat menyayangkan dengan reaksi pemerintah setempat yang sempat keberatan jika kasus tersebut terungkap di media. Padahal, menurut Sri, pendokumentasian kasus kekerasan pada perempuan sangat berpengaruh pada kebijakan Pemerintah Provinsi ataupun Pemerintah Daerah.
“Tapi karena melihatnya ini sebagai masalah moralitas, maka keluarnya Perda tentang moralitas. Sementara anak ini dibawa ke persidangan, dengan latar belakang yang masih diungkap,” kata Sri.
Direktur Yayasan Pemberdayaan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Susi Handayani menganggap keputusan pemerintah lokal menyebut Peraturan Daerah yang mengatur tentang cara berpakaian perempuan di wilayah Bengkulu tidak akan efektif mengurangi kasus kekerasan seksual.
“Enggak efektif Perda itu. Yang kami dorong sebenarnya Perda Kekerasan Seksual. Tetapi mereka [Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara] malah melarikan ke Ketahanan Keluarga,” ujar Susi kepada Anadolu Agency.
Pemerintah setempat, kata dia, seharusnya tak melupakan bahwa kekerasan seksual sudah pasti menyasar organ reproduksi, bukan masalah moralitas semata.
“Nah, pemerintah daerah lupa bahwa kekerasan seksual sama dengan menyerang harkat seseorang,” imbuh dia.
Selain masalah penanganan aturan oleh pemerintah daerah, Komnas Perempuan dan Yayasan Pupa juga menyayangkan fasilitas Kementerian Sosial dalam menerjunkan sumber daya mereka di daerah.
Tidak adanya pekerja sosial (Peksos) perempuan di Bengkulu Utara, disebut Susi, menjadi kendala korban kekerasan seksual kasus tersebut menyembuhkan dirinya.
“Kelemahan ada di Peksos. Peksos di sana laki-laki. Ketika kami lakukan penggalian, anak ini ternyata mengalami kendala untuk bercerita tentang sakit di organ vitalnya. Masukan untuk ke Kemensos, sebaiknya Peksos itu di satu kabupaten jangan laki-laki semua. Kalau kasus seperti ini kan tidak mungkin korban bercerita,” imbuh Susi.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.