Nasional

Koalisi AIDS: Harga obat ARV di Indonesia lebih mahal

Obat ARV jenis TLE yang dijual Rp404.350 oleh Kimia Farma kepada pemerintah hanya seharga Rp112.000 di pasaran internasional

Hayati Nupus  | 10.01.2019 - Update : 10.01.2019
Koalisi AIDS: Harga obat ARV di Indonesia lebih mahal (dari kiri ke kanan) Pegiat ARV Community Support Ria Pangayow, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia Baby Rivona dan Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition Aditya Wardhana dalam konferensi pers mengenai pemerintah dan perusahaan BUMN gagal tender obat Antiretroviral di Jakarta, Kamis 10 Januari 2019. (Hayati Nupus-Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Indonesia AIDS Coalition mengungkapkan harga obat Antiretroviral (ARV) di Indonesia berlipat lebih mahal ketimbang di pasar internasional.

Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition Aditya Wardhana mencontohkan obat ARV jenis kombinasi Tenofovir, Lamivudin dan Efavirenz (TLE) dijual seharga Rp404.350 oleh Kimia Farma kepada pemerintah.

“Sedangkan di pasar internasional harganya hanya USD8 atau sekitar Rp112.000, perusahaan meraup untung besar dari penjualan obat ini,” ujar Aditya, Kamis, di Jakarta.

Aditya mengatakan selisih harga berlipat ini mengakibatkan pemborosan negara hingga Rp210 miliar setiap tahun.

Jika besaran pemborosan tersebut digunakan untuk belanja obat serupa, tambah Aditya, itu akan menambah akses 150.000-200.000 pasien ODHA akan obat TLE.

Aditya menjelaskan bahwa obat jenis TLE dikonsumsi oleh mayoritas orang dengan HIV Aids (ODHA) di Indonesia.

Catatan Kementerian Kesehatan RI, hingga Agustus 2018 terdapat 43.586 atau 41 persen ODHA yang mengkonsumsi obat ARV jenis TLE.

Obat ini, ujar Aditya, diproduksi oleh perusahaan farmasi India yang dipasarkan ke Indonesia oleh PT Kimia Farma.

Kimia Farma merupakan satu-satunya distributor obat ARV di Indonesia, sejak 2004, hingga masuknya PT Indofarma Global Medika di pasaran serupa mulai Juli 2018 lalu.

Aditya mengatakan bahwa obat ARV merupakan satu-satunya cara untuk mengendalikan infeksi HIV dan AIDS.

Sejumlah negara, ujar Aditya, berhasil mengendalikan infeksi HIV dan AIDS berkat kian gencarnya promosi pencegahan HIV, meningkatnya cakupan tes HIV sekaligus pemberian obat ARV.

Pasien ODHA, lanjut Aditya, harus mengonsumsi obat ARV setiap hari.

Obat ini memberikan dua efek positif sekaligus, imbuh Aditya, yaitu memperpanjang harapan hidup pasien sekaligus sebagai upaya preventif agar HIV dan AIDS tidak menular.

Obat ini sekaligus bisa menekan jumlah HIV dalam tubuh pasien hingga tidak terdeteksi sama sekali, pungkas Aditya.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın