
Jakarta Raya
Shenny Fierdha
JAKARTA
Pemerintah menangkap dua kapal ikan berbendera Filipina yang menangkap ikan secara ilegal di Laut Sulawesi.
Kedua kapal yang ditangkap pada Sabtu pekan lalu tersebut adalah Kapal FB LB John V yang berkapasitas muat 16,47 gross tonnage (GT) dan diawaki oleh tiga orang anak buah kapal berkebangsaan Filipina, serta Kapal FB LB Luke V yang berkapasitas muat 15,06 GT dan berawak dua warga Filipina.
"Ketika Kapal KP Hiu Macan Tutul 001 menangkap keduanya, diketahui rupanya kedua kapal tidak memiliki dokumen perizinan resmi untuk menangkap ikan dari pemerintah Indonesia," ungkap Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo dalam acara konferensi pers mengenai penangkapan kapal tersebut di kantor KKP, Jakarta Pusat, Rabu.
Selain itu, pada saat penangkapan, Direktorat Jenderal PSDKP juga menemukan adanya sembilan rumpon yang berfungsi untuk menangkap ikan dalam jumlah besar.
Kesembilan rumpon diduga milik kedua kapal.
"Rumpon dipasang secara ilegal di Laut Sulawesi sebab rumpon tidak memiliki Surat Izin Pemasangan Rumpon dari pemerintah," jelas Nilanto.
Pemasangan rumpon diatur dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 26/PERMEN-KP/2014 tentang Rumpon dan rumpon pun harus dipasang sesuai dengan daerah penangkapan ikan seperti yang tertulis dalan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).
Syarat-syarat pemasangan rumpon antara lain tidak mengganggu alur pelayaran, jarak antara rumpon tidak kurang dari sepuluh mil laut, tidak dipasang pada jalur laut kepulauan Indonesia, dan tidak dipasang dalam pola zigzag.
"Tapi sembilan rumpon itu dipasang dalam jarak yang relatif dekat satu sama lain sehingga ikan yang mencari makan di kawasan itu akan mencari makan di seputar rumpon saja dan tidak keluar ke area lain," terang Nilanto.
Namun dia tidak menyebutkan berapa ton ikan tangkapan yang disita oleh Direktorat Jenderal PSDKP.
Para tersangka dijerat dengan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 20 miliar.