Gaza serasa kampung halaman
Masuk ke Gaza pada tahun 2010, Husain memilih tinggal di sana dan mempersunting gadis Palestina

Regional
Iqbal Musyaffa
JAKARTA
Bila sebagian besar anak muda Indonesia berobsesi ke berbagai kota besar dunia seperti Paris, London, atau New York, tidak halnya dengan Muhammad Husain.
Sedari muda, ia sudah menyemai mimpi dapat berkunjung ke Gaza dan memperjuangkan pembebasan Masjid al-Aqsa. Sebuah keinginan yang sebenarnya tidak lazim bagi seorang pemuda.
Namun, bila menilik latar belakangnya yang tumbuh di lingkungan pesantren al-Fatah, Cileungsi, Bogor, maka obsesi tersebut sangat wajar. “Para syeikh dan asatidz di lingkungan pesantren selalu menanamkan semangat jihad dengan misi meninggikan kalimat Allah,” kisahnya kepada Anadolu Agency.
Para pengajar di pesantren tersebut tanpa henti memberikan pemahaman kepada para santri bahwa saat ini umat muslim memiliki misi besar membebaskan Masjid al-Aqsa. “Alhamdulillah, Allah memilih saya untuk mengemban misi ini,” lanjutnya.
Husain mulai tinggal di Gaza pada 5 Januari 2011. Perjalanannya menuju Gaza dimulai sejak akhir November 2010. Bersama 9 aktivis kemanusiaan asal Indonesia, ia ikut dalam konvoi solidaritas ‘Asia to Gaza’ dengan misi menghentikan blokade Israel atas Gaza.
“Peserta konvoi berasal dari negara-negara Asia dengan jumlah peserta sekitar 120 aktivis. Para aktivis asal Indonesia merupakan relawan NGO seperti MER-C, HASI, VOP, dan AWG,” ujarnya.
Perjalanan panjang menuju Gaza membuatnya harus meninggalkan aktivitas sebagai pengurus ma'had tahfidz Al Qur'an Al Fatah dan guru privat mengaji Al Qur'an, bahasa Arab, dan bahasa Inggris.
“Awal tiba di Gaza saya langsung bergabung dengan tim relawan MER-C yaitu Abdillah Onim dan Nur Ikhwan yang lebih dahulu masuk ke Gaza untuk mengawal proyek pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza,” kata Husain.
Tidak hanya itu, ia pun melanjutkan pendidikan S1 fakultas syariah di Universitas Islam Gaza. Kini, Husain memasuki semester akhir. “Saya juga merupakan perwakilan resmi Yayasan Spirit of Aqsa milik Ustadz Bachtiar Nasir, guru saya saat mengenyam pendidikan di Arrahman Quranic College,” kata dia yang kerap mendistribusikan bantuan dari rakyat Indonesia bagi warga Gaza.
Kota Azzahra, Jalur Gaza bagian tengah menjadi tempat tinggalnya saat ini. Ia bercerita sekarang kondisi keamanan Gaza relatif stabil karena Israel tidak lagi intensif melakukan agresi militer.
Namun, secara sosial, warga Gaza mengalami masa terburuk sejak blokade 10 tahun terakhir. Listrik hanya dinikmati 4 jam perhari, krisis air bersih semakin mengkhawatirkan dan perekonomian di Gaza hampir lumpuh total.
“Kondisi ini merata di seluruh wilayah di Jalur Gaza, termasuk di kota tempat saya tinggal,” ujar dia.
Semakin betah
Meskipun Gaza tidak ideal ditinggali, apalagi bagi warga non Palestina, Husain justru merasa semakin betah bermukim di sana. Salah satu alasannya adalah kehadiran seorang gadis Gaza yang kini menjadi istrinya.
“Akhir tahun 2011 saya mulai mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Islam Gaza. Di situ saya berkenalan dengan pegawai di bagian registrasi kampus. Seorang dermawan yang mengenalkan saya dengan salah satu anak gadisnya yang 2 tahun kemudian saya nikahi,” Husain mengisahkan.
Prosesi ijab qabul pernikahannya bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu pada 17 Agustus 2014 silam. “Saat itu juga sedang terjadi agresi militer besar-besaran Israel atas Gaza,” kenangnya.
Baginya, Gaza sangat familiar dan tidak seperti tempat asing. Kehangatan warganya menambah kenyamanannya para relawan Indonesia yang pernah datang ke Gaza. “Awalnya saya fikir ini hanya perasaan pribadi, ternyata ketika saya tanya ke teman-teman WNI, mereka merasakan hal yang sama,” jelas dia.
Menghormati Indonesia
Husain bersyukur menjadi WNI yang tinggal di Gaza, karena rakyat Palestina secara umum sangat menghormati Indonesia. Mereka selalu senang bertemu WNI dan selalu bercerita hal-hal yang mereka ketahui tentang Indonesia.
“Biasanya warga Palestina bercerita tentang teraturnnya jemaah haji Indonesia di Masjid al-Haram, kebaikannya, hingga konsitensi dukungan Indonesia bagi kemerdekaan Palestina,” kata Husain.
Meskipun jauh dari tanah air, WNI tetap merasa seperti di kampung halaman khususnya setiap tanggal 17 Agustus. Hari kemerdekaan Indonesia selalu diperingati di Palestina, khususnya di Gaza. Para WNI di Gaza memang melakukan peringatan HUT RI, dengan mengundang para tokoh Palestina, teman, dan kerabat .
Peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Palestia selalu dilakukan dengan cara yang berbeda setiap tahunnya. Terkadang di dalam ruangan dan tak jarang pula dilakukan di luar ruangan. “Yang pasti, warga Palestina yang hadir dalam acara HUT ini selalu tampak antusias," katanya.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.