Ekonomi Indonesia meningkat, peredaran narkotik memelesat
Aktivitas ekonomi dari setiap transaksi narkotik bersifat ilegal dan tidak terdata, namun mampu menggerus daya beli masyarakat

Jakarta Raya
Iqbal Musyaffa
JAKARTA
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia masih menjadi sasaran empuk peredaran narkotik karena meningkatnya aktivitas ekonomi.
“Peningkatan ekonomi membuat masyarakat memiliki kemampuan untuk konsumsi khususnya di sektor leisure. Dan ini yang jadi sasaran pengedar,” ungkap Menteri Sri di Jakarta, Jumat.
Menteri Sri menyebut jumlah kasus narkotik yang berhasil diungkap Ditjen Bea Cukai menunjukkan peningkatan.
Pada tahun 2017, terdapat 325 kasus yang berhasil diungkap dengan barang bukti yang disita sebanyak 2.132 kilogram.
Jumlah tersebut lebih besar dari tahun 2016 dengan jumlah kasus sebanyak 286 dan barang bukti seberat 1.169 kilogram.
“Pada Januari saja kita sudah lakukan 30 penindakan dengan jumlah barang bukti 120,7 kilogram,” tambah dia.
Maraknya peredaran narkotik, ujar Menteri Sri, sangat mengancam pertumbuhan ekonomi nasional.
Aktivitas ekonomi dari setiap transaksi narkotik, menurut dia, bersifat ilegal dan tidak terdata namun mampu menggerus daya beli masyarakat.
“Lebih bahaya lagi efek kesehatannya karena dapat memperlemah generasi muda Indonesia yang harusnya menjadi tulang punggung ekonomi bangsa,” imbuh Menteri Sri.
Hal ini, menurut Menteri Sri, menjadi tantangan besar bagi pemerintah khususnya BNN, Bea Cukai, TNI, kepolisian, dan kejaksaan untuk menghentikan peredaran narkotik.
“Indonesia sudah menjadi target pemasaran narkotik,” cetus mantan Direktur Bank Dunia tersebut.
Kepala BNN Budi Waseso juga sependapat bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat dalam menghadapi ancaman narkotik.
Sepanjang 2017, menurut dia, seluruh instansi pemerintah sudah menangani 40 ribu kasus dengan jumlah tersangka melampaui 50 ribu orang.
Jenis narkotik terbesar yang disita, kata Budi, adalah ganja dengan total 51 ton yang telah berhasil dimusnahkan.
Selanjutnya, sabu dengan total 4,7 ton. Ini lebih besar dari sitaan 2016 yang ketika itu hanya sekitar 3,4 ton.
“Apa yang disampaikan Presiden [Joko Widodo] sangat benar dan ini harus disikapi serius,” tegas dia.
Budi juga mengatakan meningkatnya jumlah kasus narkotik setiap tahun bukan karena lemahnya pengawasan pemerintah, melainkan karena pemerintah semakin aktif melakukan penindakan dan pengusutan jaringan narkotik.
“Kita juga terus lakukan pencegahan. Meskipun harganya mahal, tapi narkotik permintaannya besar di Indonesia,” tambah dia.
50 persen perederan narkotik dikendalikan dari lapas
Dalam kesempatan yang sama, Budi mengungkapkan bahwa sekitar 50 persen dari total peredaran narkotik di Indonesia dikendalikan dari dalam lapas (lembaga pemasyarakatan).
“Fakta ini bisa saya pertanggungjawabkan dan masih terus terbukti. Bukan kita mencari-cari,” ungkap dia.
Salah satunya dengan penangkapan oknum kepala lapas di salah satu daerah di Jawa Tengah yang terlibat dalam peredaran narkotik, dan sudah terbukti berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Namun masih saja ada oknum aparat yang membelanya,” kata dia.
Budi menekankan semua pihak harus bersama-sama berupaya membebaskan Indonesia dari ancaman narkotik, termasuk dari dalam lapas.
“BNN tidak bisa ikut campur apa yang terjadi di lapas karena bukan kewenangan kami,” pungkas dia.