Nasional

Cara panti rehabilitasi gangguan jiwa ingatkan soal kemerdekaan

Bahkan pasien panti rehabilitasi cacat mental pun berhak merayakan hari kemerdekaan Indonesia

Megiza Asmail  | 17.08.2017 - Update : 01.01.2018
Cara panti rehabilitasi gangguan jiwa ingatkan soal kemerdekaan Para pasien pria Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa, Yayasan Galuh di Bekasi, menghormat saat mengikuti upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-72, Kamis, 17 Agustus 2017. (Megiza Asmail – Anadolu Agency)

Jakarta

Megiza Asmail

BEKASI, JAWA BARAT

Wajah perempuan berusia pertengahan 20 tahun bernama Okta itu tampak semringah saat mengikuti perlombaan joget balon. Bermain bersama ratusan temannya, dia seakan menikmati kemerdekaan yang sejati. 

Sebagai warga binaan panti rehabilitasi cacat mental, hari-hari Okta mungkin tak seriuh dan tak sebebas hari ini. Berjoget, tertawa dan menggoda teman-teman dilakukannya sejak pagi hingga hampir sore.

Biasanya, kegiatan Okta hanya berolahraga, bercengkerama dengan teman di aula makan atau di bangsal, dan mengikuti pelatihan ketrampilan yang diadakan Yayasan Galuh di Bekasi, Jawa Barat. 

Tapi kali ini, di acara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-72, dia bebas bersenang-senang setidaknya lebih dari 10 jam.

Sama seperti perayaan HUT RI pada umumnya, penghuni yayasan disabilitas ini pun mengikuti upacara sebagai pembuka peringatan hari kemerdekaan. 

Ratusan pasien Yayasan Galuh telah meninggalkan bangsal sejak pukul 07.00 WIB. Mereka berkumpul di lapangan untuk mengikuti proses pengibaran bendera merah putih.

Laiknya upacara hari kemerdekaan, selain pengibaran bendera ada juga pembacaan teks Pancasila dan Proklamasi. Namun ada tambahan pembacaan pedoman hidup untuk warga binaan dalam upacara hari kemerdekaan versi Yayasan Galuh. 

Barisan peserta upacara terbagi menjadi dua yakni pria dan wanita. Tidak ada seragam yang mereka kenakan, kecuali para petugas upacara yang memakai seragam hitam-putih di depan lapangan.

Keterbatasan diri bersifat kognitif, mental, sensorik, emosional yang dialami pasien Yayasan Galuh tentu membuat peserta upacara tak mampu bersikap seperti mereka yang normal. 

Seperti yang terlihat di deretan depan peserta upacara. Beberapa pasien pria tidak mampu berkonsentrasi saat melakukan penghormatan kepada bendera. 

Telapak tangan tak lagi diletakkan di atas alis, namun malah menutupi kedua mata mereka.  Begitupun dengan pasien wanita, yang beberapa di antaranya melempar pandangan kosong ke arah lapangan kala petugas mengibarkan bendera. 

Ketua Yayasan Galuh, Suhanda, mengatakan upacara peringatan kemerdekaan dengan berbagai lomba selalu rutin digelar oleh pengurus yayasan. 

Putra pendiri Yayasan Galuh Gendu Mulatif ini pun menyebut kegiatan 17-agustusan selalu punya misi tersendiri selain sebagai hari bersenang-senang bagi para pasien. 

“Ya, meski sebagian dari mereka mungkin lupa dengan tanggal 17 Agustus, kami tetap membuat acara ini setiap tahun. Harapannya agar bisa membantu mereka mengingat dengan sejarah negara atau kenangan saat mereka kecil,” kata Suhanda kepada Anadolu Agency. 

Ratusan pasien dengan satu penyebab

Suhanda menjelaskan, penghuni panti rehabilitasi milik keluarganya itu kini ditempati 413 orang pasien. Sebanyak 316 adalah kaum pria, sedangkan 97 lainnya wanita. 

Dari ratusan orang dengan gangguan jiwa yang dirawat Yayasan Galuh, Suhanda berujar kedatangan para pasien ke panti disebabkan latar belakang kisah yang berbeda-beda, namun dengan benang merah yang sama.

Depresi, Suhanda menyebut kondisi itu sebagai catatan pertama saat stafnya menerima para pasien tiba di Yayasan Galuh. 

Dia mengatakan, kebanyakan kaum pria yang direhabilitasi saat ini berlatarbelakang dari beberapa kasus seperti ketergantungan narkotik, faktor ekonomi, hingga masalah keluarga.

Sedangkan pasien wanita, lebih banyak depresi karena perkara percintaan. 

“Kalau pasien perempuan di sini banyak yang depresi karena ditinggal pacar, stres karena ingin menikah, atau karena punya suami yang ekonominya lemah,” ujarnya. 

Okta, disebut Suhanda, sebagai salah satu pasien yang depresi karena masalah cinta.

“Dia kasusnya ditinggal pacar. Makanya kalau ketemu laki-laki, dia langsung ngomong-ngomong kawin,” imbuh Suhanda. 

Dua keluar-empat masuk

Bukan hanya penyebab depresi yang berbeda, pasien di Yayasan Galuh juga tiba di panti dengan cara yang tak sama.  

Beberapa dari mereka datang karena diantar oleh petugas kepolisian, sedang yang lainnya menjadi penghuni tetap panti karena dibawa langsung oleh pihak keluarganya.

“Diantar polisi atau keluarga yang merasa sudah tidak mampu lagi merawat mereka. Ya, kami tidak meminta bayaran untuk kehidupan pasien-pasien ini,” katanya.

Sejak didirikan 35 tahun yang lalu, Suhanda mengatakan, jumlah pasien Yayasan Galuh selalu bertambah. 

Setidaknya ada dua hingga tiga pasien yang keluar karena sudah sembuh setiap bulannya. “Tapi yang masuk di bulan depannya itu jumlahnya bisa dua kali lipat,” kata dia. 

Beberapa pasien yang beruntung, dapat kembali ke keluarga saat sudah dinyatakan sehat. 

Tapi tak jarang, keluarga pasien malah menolak kepulangan mereka. Akhirnya, yayasan pun mempersilakan mereka untuk membantu dan bekerja di panti.

“Banyak orang yang sudah sembuh. Tapi keluarga tidak mau mereka pulang. Kalau pasien mau keluar dari sini, kami bisa bantu kasih ongkos. Nah, kalau dia tidak punya rumah untuk pulang, biasanya kami ajak bekerja di sini,” kata Suhanda. ​

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın