Aktivis HAM Myanmar : Etnosentrisme sebabkan Muslim termarginalkan
Situasi politik di Myanmar membuat Aung San Suu Kyi tidak memiliki pengaruh besar.

Jakarta
Iqbal Musyaffa
JAKARTA
Tindak kekerasan yang dilakukan otoritas Myanmar terhadap etnis Rohingya di Rakhine tidak terlepas dari etnosentrisme di negara tersebut yang tidak menghendaki Islam tumbuh dan berkembang di sana, demikian yang dinyatakan oleh salah satu anggota Burma Human Right Network, Kyaw Win di Jakarta, Senin.
“Ada enam objek diskriminasi yaitu tidak boleh ada Muslim di militer, polisi, parlemen, pendidikan, top bisnis, dan sektor strategis. Sekarang semua sudah tercapai. Ini adalah persekusi sistematis,” kata Win sambil menambahkan kalau persekusi terhadap komunitas muslim sudah terjadi sejak tahun 1963.
Pengusiran etnis Rohingya tidak terlepas dari potensi sumber daya alam yang ada di Rakhine, dimana potensi tersebut tidak boleh dikuasai oleh komunitas Muslim di sana. Selain itu juga perbedaan perlakuan terhadap komunitas Islam dan Buddha yang terdampak konflik di Rakhine state.
“Komunitas Buddha yang terdampak konflik direlokasi ke tempat yang aman dan dilindungi. Sedangkan Muslim dipaksa keluar dari wilayah tersebut melalui pembunuhan warganya dan pembakaran rumahnya,” kata Win lagi.
Kuatnya kontrol militer di Myanmar yang mengusung ideologi etnosentrisme dengan mengedepankan orang-orang asli kelahiran dan keturunan Burma dan beragama Buddha, juga menyebabkan kondisi komunitas Rohingya semakin termaginalkan.
“Sejak konstitusi militer tahun 2008, militer berada di atas hukum. Parlemen dan pemerintahan dikuasai dan terus meningkat pengaruhnya. Anggaran pemerintahan juga harus sepersetujuan jenderal senior,” lanjutnya.
Sementara itu, anggota DPR Mahfudz Siddiq mengatakan situasi politik di Myanmar membuat Aung San Suu Kyi tidak memiliki pengaruh besar meskipun sebagai pemenang pemilu.
Kondisi diperparah dengan partai pemenang pemilu di Rakhine bukan partai National League for Demcracy pimpinan Suu Kyi, melainkan partai Arakan National Party yang beraliran etnosentris. Partai ini berkolaborasi dengan militer dan pemuka agama Buddha radikal serta tidak ingin ada penyelesaian atas konflik di Rakhine.
“Dalam konteks ini, semua negara dan lembaga multilateral harus mendukung Suu Kyi untuk mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dan rekomendasi penyelesaian konflik yang disampaikan Advisor Commissioner PBB Kofi Annan,” jelasnya.
Belum bisa dianggap genosida
Meskipun banyak pihak menyebutkan bahwa konflik di Rakhine mengandung unsur kekerasan atas etnis dan agama, namun Tim Pencari Fakta Rohingya yang dipimpin Marzuki Darusman tidak ingin buru-buru menyimpulkan.
“Memang terjadi pelanggaran HAM di sana. Tapi kita tidak bisa buru-buru menyimpulkan apakah terjadi pelanggaran HAM berat di sana,” ujar Marzuki.
Kekerasan atas nama agama dan etnis seharusnya menjadi kesimpulan dan bukan pokok analisa dalam membuat rekomendasi atas kasus ini untuk Dewan HAM PBB pada Maret mendatang. Terlebih lagi pada penggunaan kata genosida dan dugaan kesengajaan atas hal tersebut.
“Kata genosida sebaiknya kita hindari dulu karena itu hanya akan membuat kondisi lebih rumit dan tidak membantu selesaikan masalah yang dihadapi pengungsi Rohingya. Kalau memang terjadi genosida, itu membutuhkan pembuktian yang syarat-syaratnya sangat ketat yang tidak bisa disimpulkan dari berita-berita yang beredar,”kata Marzuki.
Kalaupun memang nantinya terbukti dilakukan genosida, maka konsekuensinya akan sangat luar biasa bagi Myanmar dan juga etnis Rohingya.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.