Ada 591 kasus difteri, Indonesia tetapkan KLB
Penderita difteri mayoritas balita, yang membuat Menteri Kesehatan menarik kesimpulan banyak orang tua yang tidak melakukan imunisasi untuk anaknya

Jakarta Raya
Megiza Asmail
JAKARTA
Kementerian Kesehatan Indonesia mencatat hingga akhir November telah ditemukan 591 kasus difteri yang menyebabkan 32 kematian.
Saat ini, sebanyak 33 pasien dicurigai difteri sedang dirawat di ruang isolasi RS Sulianti Saroso dan dalam pemeriksaan laboratorium. Mereka diobati sebagai penderita difteri dan diisolasi.
“Ini bukan hanya dari Jakarta saja, dilaporkan ada dari Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor,” kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek usai mengunjungi pasien difteri di RS Sulianti Saroso, Jakarta, Senin.
Menteri Nila menjabarkan, dari 33 pasien tersebut sebanyak 22 di antaranya merupakan pasien anak berusia satu hingga empat tahun.
Dia menilai, pasien yang terjangkit pada rentang umur tersebut merupakan anak dengan antibodi rendah, yakni hanya mencapai 60 persen.
Artinya, kata Menteri Nila, selama kurun waktu kurang lebih lima tahun ke belakang, banyak orang tua yang tidak mengimunisasi anak-anaknya.
“Kelihatan sekali empat tahun terakhir ini banyak yang tidak melakukan imunisasi dan akhirnya dengan daya tahan yang turun, kuman yang datang, terjadilah KLB [kejadian luar biasa] difteri ini,” sebut dia.
Di tempat lain, belasan pasien difteri dewasa yang kini menjalani perawatan intensif, menurut Nila, diduga terinfeksi karena daya tahan yang turun.
Penetapan difteri sebagai KLB lantas direspons pemerintah dengan Outbreak Response Immunization (ORI), yaitu tindakan imunisasi gratis yang biayanya ditanggung oleh pemerintah. ORI, sebut Menteri Nila, diberikan kepada anak hingga berusia 18 tahun.
“Namun tenaga medis dan orang tua yang anaknya terkena difteri akan menjadi tidak produktif, tentu ini harus diperhitungkan oleh masyarakat,” sebut dia.
Masalah biaya perawatan pasien difteri juga harus menjadi pertimbangan para orang tua. Rata-rata, kata Menteri Nila, satu orang pasien bisa menghabiskan biaya Rp4 juta. Sedangkan untuk perawatan bisa sampai Rp10 juta.
Menteri Nila menjelaskan biaya mahal untuk pengobatan difteri dikarenakan harga ADS atau Anti Difteria Serum yang tidak murah, dan Indonesia masih mengimpor untuk memenuhi kebutuhan ADS. Terlebih, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak bisa menanggungnya.
“Kalau sudah disebut KLB, BPJS tidak bisa menanggung. Artinya akan menjadi tanggungan pemerintah daerah,” ujar dia.
Menteri Nila meminta supaya orang tua yang antivaksin untuk mempertimbangkan dampak penyebaran penyakit kepada lingkungan tempat tinggalnya.
“Untuk orang tua yang antivaksin, kalau terkena dirinya sendiri dan sampai meninggal, ya tentu itu urusan dia. Tapi kalau anak itu menularkan kepada orang lain, ini yang harus dilakukan pemerintah dengan ORI,” kata Menteri Nila.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.