Aceh miliki tradisi toleransi beragama kuat
Umat Islam, Katolik, Budha, Hindu dan lainya hidup berdampingan dan damai di bumi Serambi Mekah

Jakarta Raya
Pizaro Gozali
JAKARTA
Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) Provinsi Aceh mengatakan toleransi beragama di daerah istimewa tersebut berlangsung kondusif.
Ketua FKUB Aceh Nasir Zalba mengatakan penelitian SETARA Institute yang memasukkan wilayahnya sebagai kota intoleran tidak melihat lebih dekat kehidupan antar umat beragama masyarakat Aceh.
“Memang pernah terjadi konflik di Singkil tahun 2015, namun kejadian itu tidak bisa jadi ukuran karena tak mempengaruhi toleransi beragama di Aceh,” kata Nasir kepada Anadolu Agency pada Senin di Jakarta.
Nasir mengatakan Kementerian Agama Kota Banda Aceh bersama FKUB Banda Aceh pada 2018 mendeklarasikan Banda Aceh sebagai Kota ramah dan sangat kondusif dalam kehidupan antar umat beragama.
Deklarasi itu ditunjang dengan keharmonisan antara umat Islam, Katolik, Budha, Hindu dan lain sebagainya di Aceh.
“Banyak saudara-saudara non-Muslim yang happy tinggal di Aceh,” jelas dia.
Nasir menambahkan Banda Aceh juga memiliki kampung kerukunan yang terletak Gampong Mulia, Kecamatan Kuta Alam.
Walikota Banda Aceh pada 2017 mengukuhkan kampung tersebut sebagai Gampong Sadar Kerukunan di Aceh.
Penetapan Gampong Mulia sebagai kampung sadar kerukunan, karena wilayah itu dihuni oleh multi-etnik dan agama.
Nasir menyampaikan FKUB rutin untuk menggelar pertemuan antar tokoh agama untuk terus memupuk toleransi antar umat beragama.
“Ke depan kita ingin intensifkan lagi,” kata dia.
Oleh karena itu, dia mengungkapkan banyak tokoh lintas agama Aceh yang kaget dengan rilis SETARA Institute.
“Kalau melakukan penelitian harus komprehensif dan memiliki ukuran yang jelas,” kata dia.
Nasir mengaku selama ini FKUB tak pernah dilibatkan dan diajak konsultasi oleh SETARA Institute untuk merumuskan konsep soal intoleransi.
“Yang ada, kita baru diundang focus group discussion (FGD) setelah ada hasil,” kata Nasir.
Menyesuaikan dengan karakteristik Indonesia
Peneliti bidang agama Henri Salahuddin menyatakan penelitian soal toleransi beragama harus melihat karakter dan budaya dari objek yang diteliti.
Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) ini menilai indikator intoleransi yang dipakai SETARA Institute tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia.
“Indonesia memiliki karakter khas yang berbeda dengan nilai-nilai di Barat,” ujar doktor dalam Pemikiran Islam di University of Malaya, Kuala Lumpur ini.
Menurut dia, semangat keberagamaan tidak bisa digeneralisasikan sebagai bentuk intoleransi.
Situasi tersebut berbeda dengan masyarakat barat yang sangat ketat terhadap aturan-aturan agama, termasuk soal merayakan hari-hari besar keagamaan.
“Di negara-negara barat, kalau mahasiswa muslim mau merayakan Idul Fitri, dia harus izin,” ujar Henri yang lama tinggal di Australia dan Thailand.
Henri mengatakan produk hukum Islam di Aceh adalah produk demokrasi yang sesuai dengan konstitusi Indonesia.
Karena itu, memasukkan indikator “pengistimewaan terhadap kelompok agama tertentu” yang dinukil dari konsep barat sangat riskan dijadikan indikator intoleransi.
Henri mencontohkan meskipun Aceh menerapkan syariat Islam, namun non Muslim tetap dijamin haknya untuk menjalankan ibadah.
“Intinya, tidak semua penelitian adalah kegiatan ilmiah yang menjelaskan fakta di lapangan,” ujar Henri.
Sebelumnya SETARA Institute melansir Tanjung Balai, Banda Aceh dan Jakarta menjadi kota-kota yang berada di urutan tiga terbawah dalam peringkat Indeks Kota Toleran 2018.
SETARA Institute menelusuri seberapa besar kebebasan beragama atau berkeyakinan, kesetaraan gender, dan inklusi sosial dijamin dan dilindungi melalui regulasi dan tindakan.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.