Aborsi tak masuk ranah kriminal, tapi kesehatan
Keputusan aborsi harus ditentukan oleh wanita yang bersangkutan, bukan keluarga atau petugas kesehatan, kata PKBI

Jakarta Raya
Megiza Asmail
JAKARTA
Lembaga Pelopor Keluarga Berencana Indonesia mengatakan bahwa aborsi yang dilakukan oleh wanita korban perkosaan atau terancam jiwanya masuk ranah kesehatan, bukan kriminal.
“Keputusan aborsi itu harus ditentukan oleh wanita itu sendiri. Bukan keluarga ataupun petugas kesehatan. Aborsi bukan ranah kriminal, tetapi masalah kesehatan,” tegas Ketua Pengurus Nasional Pelopor Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dr Sarsanto Wibisono Sarwono Sp.OG kepada Anadolu Agency di Jakarta, Selasa.
Pernyataan ini menyangkut lima pasal dalam RKUHP yang saat ini dinilai oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP dapat mengriminalisasi korban pemerkosaan ataupun wanita yang melakukan aborsi.
Sarsanto menjelaskan, kebanyakan wanita yang meminta aborsi mendatangi dokter untuk konseling pada saat janin sudah berusia 7-8 minggu. Dia pun menyebut aborsi masih aman dilakukan hingga janin berusia 10 minggu.
“Sebetulnya definisi aborsi itu sampai 20 minggu. Hasil konsepsi janin dikeluarkan yang di bawah 20 minggu itu enggak bisa hidup, pasti dia mati. Kalau di atas 20 minggu masih ada kemungkinan dia hidup. Tapi secara teknis yang PKBI anggap aman itu sampai 10 minggu,” kata dia.
Berdasarkan riset pada 2003, kasus aborsi di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perempuan sudah menikah. PKBI menyebut ada tiga alasan utama yang membuat sebanyak 87 persen perempuan menikah yang sudah memiliki anak memilih untuk melakukan aborsi.
“Ibu-ibu yang sudah punya anak dan gagal pakai KB, tidak mau punya anak lagi, dan alasan ekonomi yang sudah tidak mendukung,” kata
Bicara tentang permintaan aborsi untuk kasus perkosaan, Sarsanto menilai korban dapat menggunakan emergency pill segera setelah mengalami pemerkosaan.
Hanya saja, pemberian pil darurat itu hanya bisa dilakukan dalam waktu 3x24 jam setelah konsepsi terjadi.
“Kalau sudah satu minggu, tidak akan berhasil. Untuk itu aborsi harus dilakukan dengan obat yang lain, ada yang namanya medical abortion (obat), ada yang namanya surgical abortion (penyedotan janin),” ujar Sarsanto.
Selain penanganan melalui aborsi, korban pemerkosaan juga diwajibkan untuk menjalani proses konseling. Sarsanto menilai, trauma yang dialami menyebabkan korban harus menjalani dua kali konseling.
“Kebutuhan konseling itu dilakukan sebelum dan sesudah tindakan aborsi untuk menghilangkan trauma,” jelas dia.