Survei: 76% rencana pembangunan PLTU batu bara di dunia batal
Ekonomi batu bara menjadi semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan energi terbarukan, dan risiko aset terlantar meningkat

Jakarta Raya
JAKARTA
Negara-negara di dunia semakin banyak meninggalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebagai sumber energi paska-penandatanganan Kesepakatan Paris (Paris Agreement).
Dalam laporan yang diterbitkan oleh E3G sebuah lembaga think tank berbasis di Eropa, sebanyak 76 persen rencana pembangunan PLTU di dunia batu bara batal.
Menurut laporan tersebut sejak 2015, sebanyak 44 pemerintah terdiri dari 27 negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Uni Eropa serta 17 negara di kawasan lain berkomitmen tidak membangun PLTU batu bara baru.
Penulis laporan Chris Littlecott, Associate Director di E3G mengatakan ekonomi batu bara menjadi semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan energi terbarukan, sementara risiko aset terlantar telah meningkat.
Laporan juga menemukan bahwa lebih dari 40 negara tidak lagi memiliki rencana pembangunan proyek PLTU batu bara.
“Setidaknya ada enam negara yaitu China, India, Vietnam, Indonesia, Turki, dan Bangladesh yang masih memiliki rencana pembangunan PLTU batu bara,” ujar rilis laporan tersebut.
Pada keenam negara itu masih dalam tahap prakonstruksi yang mencapai 82 persen dari pipeline PLTU batu bara dunia yang tersisa.
“Langkah nyata enam negara ini untuk membatalkan rencana pembangunannya dapat menghilangkan 82 persen PLTU dunia dari tahap pra-konstruksi,” ujar laporan tersebut.
“Negara-negara ini dapat mengikuti momentum global dan banyak dari rekan-rekan regional mereka dalam mengakhiri pengejaran mereka terhadap pembangkit listrik tenaga batu bara baru,” tulis laporan tersebut.
Selain itu, menurut laporan, apabila China mengikuti langkah Jepang dan Korea Selatan mengakhiri pembiayaan pembangunan PLTU batu bara luar negeri makan akan membuat pembatalan PLTU batu bara lebih dari 40 giga watt proyek di 20 negara.
Leo Roberts, Manajer Riset di E3G mengatakan transformasi struktural di sektor ketenagalistrikan global semakin cepat, dengan negara-negara semakin menjauh dari pembangkit listrik tenaga batu bara karena mereka menyadari bahwa batu bara adalah bahan bakar masa lalu.
“Ke-40 negara yang berada dalam posisi untuk berkomitmen pada ‘tidak ada batu bara baru’ sekarang dapat bergabung dengan mereka yang telah melakukannya sejak Paris.
“Negara-negara yang masih mempertimbangkan pembangkit listrik baru harus segera menyadari keniscayaan pergeseran global dari batu bara, dan menghindari kesalahan mahal dalam membangun proyek baru.” ujar Leo.
Batu bara adalah kontributor tunggal terbesar perubahan iklim dunia.
Menurut laporan PBB, penggunaan batu bara harus turun 79 persen pada 2030 untuk memenuhi janji negara-negara yang ditandatangani dalam Perjanjian Paris.