
Jakarta Raya
Muhammad Latief
JAKARTA
Ekonom memperkirakan perbankan Indonesia menghadapi “lampu kuning” setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan hingga 125 bps dan ketidakpastian global.
Direktur Eksekutif Internasional Business School (IPMI) Jimmy Gani mengatakan krisis dan hiperinflasi di Venezuela dan pelemahan lira pada dolar harus diwaspadai. Ditambah, perekonomian Amerika Serikat (AS) yang menggeliat dan peluang kenaikan suku bunga The Fed.
“Tingginya suku bunga perbankan yang mencapai dua digit bisa mendongkrak biaya produksi perusahaan sehingga akan menurunkan daya saing produk lokal,” ujar Jimmy dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.
Suku bunga yang tinggi, kata Jimmy, membuat biaya pendanaan usaha meningkat. Suku bunga di Indonesia sendiri sudah cukup tinggi dibanding negara-negara lain.
Namun peningkatan suku bunga bisa jadi mendorong gairah investasi, khususnya investasi langsung. Namun, sebut Jimmy, hal ini tidak berdampak terhadap sektor riil.
Suku bunga perbankan di Indonesia kini berada pada kisaran 11,24-13,30 persen untuk korporasi dan 16-23 persen untuk kredit mikro, sementara di Malaysia, Singapura dan Thailand suku bunga berada pada kisaran 3-7 persen. Dengan demikian Net Interest Margin (NIM) di Indonesia empat kali lebih besar dibanding negara-negara tetangga.
Kenaikan suku bunga acuan ini juga mengubur dalam-dalam keinginan untuk memberlakukan rezim bunga bank single digit. Situasi ini, menurut Jimmy, akan disikapi para pebisnis dengan wait and see, yang nanti akan berpengaruh pada perekonomian dan perbankan seperti terganggunya penyaluran kredit.
“Ini akan berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga, konsumsi, industri,” ujar dia. “Investasi akan tertahan dan berpengaruh pada sektor tenaga kerja.”
Chief Economist Bank BTN Winang Budoyo mengatakan sejak 2008, perbankan Indonesia terbuai oleh kondisi suku bunga non konvensional yang rendah.
Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) kata Winang, BI akan menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan pasar. “Tapi meskipun Agustus naik artinya upaya untuk lebih cepat dari pasar tergantung pada data,” ujar dia.
BI, menurut perkiraan Winang, kemungkinan akan kembali melakukan penyesuaian pada September setelah The Fed melakukan rapat.
Keputusan untuk menaikkan suku bunga acuan, lanjut Winang, akan dilakukan dengan memperhatikan kondisi rupiah. Jika melemah signifikan, kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga, namun jika stabil dan tidak bergejolak saat menghadapi krisis Turki maka akan bertahan dan baru dinaikkan pada Desember.
Pada dasarnya, kata Winang, perekonomian dunia bergerak positif. Dari tumbuh 3,8 persen pada 2018 akan tumbuh 3,9 persen pada 2019 yang dipicu oleh perbaikan perekonomian Amerika Serikat.
“Kebijakan Presiden Trump melakukan reformasi pajak khususnya pajak korporasi memberikan keleluasaan ekspansi bisa pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.
Industri perbankan, menurut dia lagi, harus mencari cara dan menyiapkan strategi dalam menjalankan bisnisnya. Era suku bunga tinggi mendorong bank untuk meningkatkan efisiensi sekaligus governance agar tetap dapat mencetak keuntungan.
Direktur Riset Infobank Eko Supriyanto mengatakan kenaikan suku bunga memberikan tekanan ke bisnis perbankan terutama dari sisi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit, pun rasio kredit bermasalah (NPL).
Pertumbuhan DPK perbankan yang masih tumbuh 13,60 persen pada 2013 terus anjlok menjadi cuma tumbuh 12,29 persen pada 2014, bahkan sampai ke pertumbuhan satu digit 7,26 persen pada 2015 dan 9,60 persen pada 2016.
Pertumbuhan kredit juga terjun bebas, dari sebelumnya bisa mencapai 21,80 persen pada 2013, menjadi hanya 11,65 persen pada 2014, dan kembali turun jadi hanya tumbuh 10,40 persen pada tahun berikutnya. Pada 2016, pertumbuhan kredit bahkan anjlok ke satu digit menjadi 7,85 persen.
Selain itu ada terjadi penurunan NPL gross yang sebelumnya di level 1,77 persen pada 2013, meningkat menjadi 2,16 persen pada 2014. Pada dua tahun berikutnya, NPL kembali membengkak menjadi 2,49 persen dan 2,93 persen.
“Bank-bank akan menaikkan suku bunga sebagai antisipasi untuk mempertahankan NIM. Tapi, tentu akan menaikkan risiko kredit bermasalah. Saya yakin credit at risk bank akan naik. Risiko terbesar ada di nasabah karena nilai tukar dan pukulan suku bunga tinggi,” ujar dia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.