Ekonomi

Perang dagang tidak pengaruhi likuiditas perbankan

Perang dagang lebih berpengaruh pada persepsi akan adanya keseimbangan baru

İqbal Musyaffa  | 18.07.2018 - Update : 18.07.2018
Perang dagang tidak pengaruhi likuiditas perbankan Ilustrasi: Beberapa pengunjung memilih produk di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin, 18 Juni 2018. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Iqbal Musyaffa

JAKARTA

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, mengatakan perang dagang antara AS dan Tiongkok serta negara lainnya tidak berpengaruh secara langsung terhadap likuiditas perbankan.

“Pengaruhnya lebih kepada persepsi akan terjadinya keseimbangan baru di dunia karena keseimbangan global saat ini terganggu,” jelas Halim

Keseimbangan baru tersebut menurut dia akan mencari bentuknya karena Amerika Serikat mengubah kebijakan ekonomi dan strateginya dalam menghadapi negara lain. Ini mengakibatkan persepsi masyarakat internasional terhadap risiko yang dihadapi di Amerika Serikat dan negara lainnya berubah.

“AS menerapkan strategi Make American First dengan empat komponen utama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Dan Perang dagang hanya salah satunya,” ujar Halim.

Strategi pertama yang diterapkan AS, menurut dia, adalah dengan menurunkan tingkat pajak agar investasi di AS menjadi lebih menarik dibanding negara lainnya.

Selanjutnya, AS menutup kesempatan bagi tenaga kerja dengan keahlian rendah untuk masuk dan bekerja di AS dengan dalih menutup pintu bagi imigran supaya pekerja AS lebih banyak diberdayakan dan terserap industri.

Perang dagang, menurut Halim, menjadi langkah selanjutnya AS untuk membatasi masuknya impor dari negara lain seperti Tiongkok, Jepang, Meksiko, Kanada, termasuk Indonesia dengan melakukan review Generalized System of Preferences (GSP) untuk Indonesia agar produksi dalam negerinya meningkat.

Komponen keempat dalam Make American First menurut dia adalah dengan pembatasan ekspor teknologi canggih. Akibatnya, persepsi masyarakat internasional terkait iklim usaha di AS lebih positif.

Dengan begitu, persepsi risiko di negara berkembang menjadi kurang menarik sehingga arus modal banyak yang kembali ke AS dan nilai tukar dolar juga menguat terhadap berbagai mata uang seperti Turki, Brasil, Argentina, Afrika Selatan, dan Indonesia.

“Indonesia juga terdampak dengan kembalinya modal ke AS sebesar Rp157 triliun sejak Januari hingga Juli,” ungkap Halim.

Tapi menurut Halim, Indonesia lebih beruntung kita beruntung dibanding Turki, Brasil, dan Afrika Selatan karena fundamental ekonomi kita lebih baik.

Proses pembentukan keseimbangan baru ini, menurut dia, akan terus berjalan selama AS masih menerapkan kebijakan ekonomi seperti saat ini. Akan tetapi, Halim meyakini ekonomi AS juga tidak akan terus menerus meningkat.

Pertumbuhan ekonomi AS menurut dia akan meningkatkan inflasi dan juga naiknya Fed Fund Rate. “Pada saat itu, mungkin kebijakan AS akan berubah dan pasar akan mengalkulasi ulang,” urai Halim.

Bank Indonesia menurut dia sudah berusaha menyeimbangkan situasi ini dengan menaikkan BI rate hingga 100 bps dalam satu bulan dan nilai tukar rupiah mulai menemukan bentuk keseimbangan baru.

Namun, kondisi ini menurut dia tergantung dengan kebijaka AS dan kebijakan respon yang dibuat Indonesia dan semoga dapat diterima pasar sehingga keseimbangan nilai tukar rupiah tidak berubah lagi.

“Kenaikan BI rate yang terakhir sudah mulai diterima pasar. Minggu lalu sudah mulai terjadi inflow. Investor asing sudah mau beli surat berharga Indonesia,” ucap Halim.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın