Ekonomi

Pabrik ikan Jepang pindah dari Thailand ke Indonesia

Alasannya, pasokan ikan di Indonesia lebih banyak ketimbang Thailand

Muhammad Latief  | 07.09.2017 - Update : 07.09.2017
Pabrik ikan Jepang pindah dari Thailand ke Indonesia Bongkar muat ikan di Muara Baru. Produk perikanan dari Indonesia lebih bisa diandalkan hasilnya ketimbang negara tetangga. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Jakarta

Muhammad Latief

JAKARTA

Perusahaan pengolahan ikan asal Jepang, Itochu Corporation memindahkan lokasi pabriknya dari Thailand ke Indonesia, kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardjianto di Jakarta, Rabu.

Kabar relokasi pabrik Itochu di Thailand ini sebelumnya sudah dibawa oleh Menteri Susi Pudjiastusi setelah dirinya berkunjung ke Jepang, akhir Agustus lalu.

Alasan relokasi, sebut Rifky, karena pasokan ikan di Indonesia lebih stabil ketimbang di Negeri Gajah Putih. “Di negara tetangga [Thailand] kalau sektor perikanannya turun, pasokannya pasti berkurang. Jadi sekarang, pasokan di negara itu lebih unreliable dibanding kita.”

Salah satu lokasi yang dilirik perusahaan ini untuk mengembangkan pabriknya adalah Bitung, Sulawesi Utara. Pendirian pabrik ini, menurut Rifky, sedang dalam proses perizinan dan penentuan lokasi. Intinya, kata Rifki, “Pabrik Itochu yang baru belum siap berproduksi.” 

Sebelumnya, Itochu sudah mempunyai anak usaha di Indonesia, yaitu PT Aneka Tuna Indonesia dengan pabrik yang berada di Pasuruan, Jawa Timur.

PT Aneka Tuna Indonesia didirikan pada Oktober 1991 oleh Ithochu dan Hagoromo Foods Corporation dengan spesialisasi produk “tuna dalam kemasan”. 

Produk ini dipasarkan di Jepang, Eropa, Timur Tengah, Australia, Kanada, Afrika dan juga di Indonesia sebagai penjualan dalam negeri dengan merek dengan Sunbell dan Bestunaku. Perusahaan ini mempunyai kapasitas pengalengan 60 ribu ton per tahun, yang merupakan kapasitas paling besar dimiliki pabrik pengolahan ikan di Indonesia hingga saat ini.

Saat ini, pemerintah memang mendukung penuh pengembangan industri perikanan, terutama hilirisasi. Salah satunya dengan memberi insentif dan memperbolehkan kepemilikan pihak asing 100 persen.

Namun, menurut Rifky, salah satu hambatan industri perikanan saat ini adalah persoalan tarif impor. Indonesia mematok tarif impor sebesar 7 persen, sedangkan Thailand 0 persen. Tarif impor ini menjadi perhatian karena berpotensi mengurangi margin keuntungan perusahaan. 

Menurut Rifky, komoditas yang masih menggunakan tarif impor normal 3,6-9,2 persen adalah anchovies (ikan kecil), tuna, dan sarden. “Kita harapkan kan di-nol-kan. Thailand bisa nol, masa kita tidak?”

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın