OPINI - Tax amnesty vs tax solidarity: Alternatif kebijakan bagi keberlangsungan fiskal Indonesia pasca-pandemi
Dalam sejarah, Indonesia pernah melakukan dua kali tax amnesty yaitu tahun 1984 dan tahun 2016, serta satu kali sunset policy tahun 2008. Lalu muncul pertanyaan yaitu apakah baik jika dilakukan pengulangan dari tax amnesty?

Jakarta Raya
* Penulis adalah Chief economist BRI Danareksa Sekuritas
Dalam seminggu terakhir publik cukup intens mendapatkan informasi tentang rencana-rencana baru pemerintah untuk kebijakan terkait pajak.
Setelah mengecap manisnya berbagai insentif pajak termasuk pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah (PPN BM) untuk mobil, pemerintah menyampaikan rencana penyesuaian tarif PPN dan berbagai rencana perubahan kebijakan perpajakan lainnya untuk dilaksanakan mulai tahun 2022.
Pada 2020, penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 8,95 persen mengalami penurunan dibanding tahun 2019 yang sebesar 10,7 persen.
Penurunan rasio penerimaan perpajakan serta target menurunkan defisit kembali ke 3 persen dari PDB tersebut menjadi dasar bagi Pemerintah untuk meningkatkan tarif pajak untuk berbagai rencana strategi perubahan kebijakan perpajakan lainnya untuk meningkatkan penerimaan perpajakan.
Selain rencana perubahan kebijakan PPN dan PPh, pemerintah Indonesia juga menyampaikan rencana untuk melalukan tax amnesty jilid 2 yang akan segera dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tax amnesty (pengampunan pajak) adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan (UU pengampunan pajak 2016).
Tax amnesty adalah cara yang digunakan oleh pemerintah untuk menarik modal yang disimpan di luar negeri oleh wajib pajak (WP), baik WP OP (orang pribadi) maupun badan ke Indonesia.
WP OP dan Badan yang melaporkan hartanya dan membawa pulang ke Indonesia tidak akan dikenai sanksi tetapi hanya diminta membayar uang tebusan yang besarnya sudah di tentukan oleh pemerintah.
Tujuan dari tax amnesty adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian, serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Tax amnesty juga bertujuan tambahan untuk membangun database wajib pajak secara lebih terukur.
Dalam sejarah, Indonesia pernah melakukan dua kali tax amnesty yaitu tahun 1984 dan tahun 2016, serta satu kali sunset policy tahun 2008. Lalu muncul pertanyaan yaitu apakah baik jika dilakukan pengulangan dari tax amnesty?
Bagaimana dampaknya pada kredibilitas dari kebijakan pajak pemerintah sendiri? Tulisan berikut akan mengulas mengenai pro dan kontra tax amnesty serta berbagai alternatif selain tax amnesty untuk menghadapi masalah shortfall pajak di era pandemi, serta beberapa rencana perubahan kebijakan perpajakan termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menurut Luitel dan Sobel (2007) dalam 21 tahun ada 27 negara yang menawarkan tax amnesty berulang. Penelitian mereka menunjukkan bahwa pengulangan tax amnesty membawa penambahan revenue yang lebih sedikit dibandingkan sebelumnya.
Penelitian oleh Kilonzi (2009) menemukan bahwa tax amnesty tidak memiliki dampak terhadap pertumbuhan penerimaan pajak. Agar tax amnesty berdampak harus disertai enforcement.
Lesson learned dari Tax Amnesty Jiid 1
Bagaimana hasil evaluasi dari Tax Amnesty Jilid 1? Kita harus belajar dari jilid 1 agar bisa mempersiapkan lebih baik ke depannya jika memang akan dilaksanakan tax amnesty jilid 2.
Jumlah peserta tax amnesty 2016 adalah 972.530 WP dengan uang tebusan senilai Rp 114 triliun. Uang tebusan tersebut sekitar 65 persen dari target yang saat itu ditargetkan sebesar Rp 165 triliun.
Hasil jilid 1 juga mencatat deklarasi harta total sebesar 4854.63 triliun rupiah dengan deklarasi harga dalam negeri sebesar 3.698 triliun rupiah dan deklarasi harta luar negeri senilai Rp1.036 triliun.
Repatriasi senilai Rp147 triliun tax amnesty didominasi WP OP yaitu sebanyak 736.093 WP (75,62 persen) dibandingkan WP Badan yang sebesar 237.333 WP. WP OP mendominasi jumlah peserta tax amnesty, namun jumlah tersebut masih sangat kecil hanya 3,88% dibanding jumlah seluruh WP OP yang wajib melaporkan SPT.
Uang tebusan terbesar berasal dari wajib pajak orang pribadi non usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang mencapai Rp91,1 triliun. Kemudian, uang tebusan dari wajib pajak badan non UMKM sebesar Rp14,6 triliun. Uang tebusan dari orang pribadi UMKM sebesar Rp7,73 triliun. Sementara, uang tebusan dari badan UMKM sebesar Rp656 miliar. (Sumber : CNN Indonesia, 20 Mei 2021).
Berbagai efek samping negatif dari tax amnesty yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan turunnya tax compliance di masa yang akan datang, ketidakadilan yang dirasakan oleh pembayar pajak yang patuh, persepsi bahwa tax amnesty akan menjadi kebiasaan dan berulang di masa datang sehingga akan menurunkan kepatuhan sukarela.
Banyak pengamat yang menyarankan agar persiapan tax amnesty jilid 2 lebih panjang dan lebih matang agar bisa ditingkatkan pencapaian sasarannya secara lebih efektif.
Secara teori, menurut Franzoni (1996), amnesti pajak terdiri dari beberapa kelompok. Pertama adalah return amnesty, investigation amnesty, dan prosecution amnesty. Return amnesty memberikan kesempatan bagai penghindar pajak untuk merevisi return pajaknya dengan mengurangi penalty.
Individu yang menerima amnesti ini tidak imun terhadap aktivitas investigasi atau audit. Dalam investigation amnesty, menawarkan kepada penghindar pajak untuk dikecualikan dari audit pembayaran terhadap fee amnesty. Prosecution amnesty menawarkan penundaan dan keringanan terhadap hukuman pajak.
Dalam rencana amnesty jilid 2 ini perlu diperjelas klasifikasi pengampunan pajak yang mana yang akan diberikan serta sasaran yang ingin dicapai harus jelas.
Alternatif Tax Amnesty: Solidarity Tax?
Dalam IMF Fiscal Monitor April 2021, IMF menyarankan negara-negara untuk mempertimbangkan penerapan solidarity tax yang bersifat temporer kepada perusahaan atau perorangan yang memiliki income yang sangat tinggi dan memiliki kinerja keuangan yang baik di masa pandemi.
Contoh negara yang pernah menerapkan solidarity tax adalah Jerman ketika penyatuan Jerman Barat dan Timur membutuhkan anggaran yang besar, serta Perancis pada tahun 1989 mengenakan Impot de solidarite sur la fortune (ISF). Dampak dari ISF diminimalisasi dengan menerapkan batas atas pajak dan menyederhanakan skedul.
Perancis adalah negara di Eropa yang memang sering menerapkan pajak kekayaan.
Solidarity tax patut dipertimbangkan sebagi alternatif dari tax amnesty. Prosesnya harus dilakukan secara matang dan perlu dipertimbangkan periode waktu penerapannya jangan terlalu dekat dengan amnesty jilid pertama. Selain itu perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap penerimaan regular perpajakan.
Saran terkait solidarity tax dibuat dengan pertimbangan kontribusi pemulihan yang lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang luar biasa setelah krisis Covid-19.
Solidarity tax adalah pajak tambahan untuk pajak penghasilan pribadi atas pendapatan yang lebih tinggi adalah pilihan termudah dan tercepat; pajak atas "keuntungan berlebih" juga dapat memastikan kontribusi dari bisnis yang berkembang selama atau setelah krisis.
Krisis dapat memberikan momentum untuk secara permanen meningkatkan kemajuan pajak di negara-negara yang diinginkan dan / atau untuk meningkatkan pendapatan dari pajak bisnis yang tidak terlalu distorsi. Namun akan menjadi tantangan pada keefektifan penerapan pajak jika negara memiliki sistem perpajakan yang belum terintegrasi dengan baik.
Kesimpulannya adalah mana yang lebih efektif diterapkan apakah tax amnesty jilid 2 atau solidarity tax perlu dikaji lebih dalam terkait persetujuan (pros) dan kontra (cons) serta biaya dan manfaatnya.
Rencana Kenaikan Tarif PPN
Selain kebijakan tax amnesty, pemerintah juga berencana untuk melakukan perubahan kebijakan menyangkut PPN. Perubahan ini termasuk rencana peningkatan tarif PPN yang sebelumnya 10 persen dengan skema single-tarif.
Peningkatan tarif PPN ini di satu sisi akan berakibat terhadap peningkatan harga untuk barang dan jasa yang termasuk dalam objek PPN, secara tidak langsung akan menurunkan konsumsi masyarakat yang menjadi penggerak utama perekonomian nasional. Namun di sisi lain kebutuhan untuk penyelamatan penerimaan negara juga menjadi prioritas penting pasca pandemi.
Dalam peraturan yang berlaku saat ini, ada beberapa jumlah non-barang kena pajak (BKP) dan non-jasa kena pajak (JKP) yang dikecualikan antara lain; ada empat (4) kelompok barang yaitu, pertama barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, terkecuali batu bara.
Kedua, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak antara lain besar, gabah, jagung, gading, dan lain-lain. Ketiga, makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Keempat, uang, emas batangan, dan surat berharga.
Untuk non-JKP terdiri dari 17 kelompok antara lain jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, dan jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan.
Berikutnya ada jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri. Selanjutnya, jasa tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang dengan wesel pos, serta jasa boga atau katering.
Selain adanya non-BKP dan non-JKP juga terdapat kebijakan penyerahan BKP/JKP yang diberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan. Seluruh pengecualian dan fasilitas PPN ini berpengaruh terhadap penerimaan PPN yang mampu dipungut pemerintah.
Ketentuan non-BKP, non-JKP dan fasilitas yang diberikan untuk PPN dapat ditinjau ulang untuk menjadi pertimbangan salah satu poin perubahan ketentuan yang berlaku. Hal ini disebabkan oleh jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki fasilitas dan pengecualian PPN yang cukup banyak.
Barang yang dikategorikan sebagai bukan barang kena pajak (non-BKP) di Singapura tercatat hanya mencakup properti, logam berharga, dan barang untuk keperluan investasi. Sementara untuk non-JKP di Singapura hanya terbatas pada jasa keuangan dan sewa properti untuk tempat tinggal.
Di Tiongkok, sama sekali tidak menetapkan barang dan jasa yang bukan BKP/JKP dengan semua penyerahan barang dan jasa adalah penyerahan BKP/JKP. Perlu dilihat lebih jauh mengenai kebijakan PPN yang efektif dilakukan di negara-negara lain untuk meninjau potensi penerimaan pajak dari PPN lebih tinggi.
Dari sisi kinerja PPN Indonesia menurut Kementerian Keuangan (2021) memiliki nilai efisiensi 0,6 artinya hanya bisa mengumpulkan 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Sementara itu Singapura, Thailand dan Vietnam sudah lebih tinggi yakni 80 persen.
Selain itu, Rasio PPN Indonesia terhadap PDB (hanya sebesar 3,62 lebih rendah dibandingkan dengan Thailand yang memiliki rasio 3,88. Kinerja PPN Indonesia masih berada di bawah Thailand, Singapura, dan Malaysia. Walaupun begitu, jika dibandingkan dengan rata-rata negara Mexico (37,88%) dan Turki (46,96 persen), Indonesia memiliki kinerja lebih baik.
Adanya trade-off antara kebijakan kenaikan tarif PPN terhadap perekonomian perlu dilihat lebih lanjut dan secara komprehensif. Terlebih, kondisi pandemi yang belum usai meskipun program vaksinasi telah berjalan semestinya, pemulihan konsumsi masyarakat secara agregat belum bisa disimpulkan terjadi.
Walaupun begitu, opsi kenaikan tarif PPN dapat dipahami sebagai langkah strategis dalam mengembalikan posisi defisit fiskal sebesar 3 persen pada tahun 2023. Perlu adanya kajian yang lebih mendalam atas perubahan kebijakan PPN baik dengan penerapan sistem multitarif atau kenaikan tarif PPN.
Pertimbangan perubahan tingkat tarif PPN perlu dilihat secara tingkat kenaikan yang optimal yaitu secara seimbang dapat tetap menjaga nilai konsumsi masyarakat pada tingkat yang favorable dan tidak drastis.
Perubahan kebijakan PPN, PPh, tax amnesty jilid 2 yang dilakukan secara bersamaan juga perlu dilihat dampaknya secara holistik dan simultan. Kajian mendalam, perhitungan cost benefit analysis, perencanaan yang matang, serta sosialisasi dan masukan pemangku kepentingan sangatlah diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimal demi penyelamatan fiskal yang sehat dan berkesinambungan.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.