Ekonomi

Merger di tengah pandemi jadi keunggulan Bank Syariah Indonesia

Dampak pandemi Covid-19 yang lebih minim di Indonesia bisa membuat konsolidasi perbankan syariah lebih cepat

Muhammad Nazarudin Latief  | 17.02.2021 - Update : 21.02.2021
Merger di tengah pandemi jadi keunggulan Bank Syariah Indonesia Ilustrasi: Uang. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Keputusan merger tiga bank syariah milik pemerintah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) di tengah pandemi Covid-19 bisa berdampak positif dengan catatan bisa memanfaatkan keunggulan komparatif yaitu dampak pandemi yang lebih ringan dibandingkan negara lain.

Bank Syariah Indonesia merupakan gabungan dari tiga bank syariah BUMN, yakni Bank BRI Syariah, Bank Mandiri Syariah dan Bank BNI Syariah.

Ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef) Imam Sugema mengatakan kondisi ini menjadi kesempatan bagi perbankan Indonesia mengambil posisi lebih baik saat negara-negara lain, yang juga ingin menjadi hub keuangan seperti Singapura dan Malaysia, mengalami tekanan finansial lebih berat.

“Perbankan Indonesia bisa positioning untuk take off. Sembari melakukan berbagai penyesuaian untuk membuat bank lebih kuat di Indonesia kemudian go global saat pandemi usai,” ujar Imam saat diskusi virtual, Selasa.

Sebagai perbandingan dampak pandemi, Indonesia mengalami kontraksi ekonomi 2,07 persen pada 2020, lebih rendah dibandingkan Malaysia yang berkontraksi 5,6 persen dan Singapura yang turun 5,4 persen.

“Kalau kita ambil sisi positifnya, turning point karena pandemi ini terjadi di hampir semua negara dan jauh lebih berat. Jadi timbul kesempatan bagi Indonesia,” ujar dia.

Indonesia kata Imam juga bisa mencuri start dengan mengakselerasi pertumbuhan perbankan syariah saat negara lain masih menghadapi dampak pandemi.

“Tapi ini baru bisa dilakukan jika bank syariah hasil merger bisa melakukan jump start, melakukan lompatan ke depan,” ujar dia.

Digitalisasi jadi kunci

Lompatan tersebut kata dia adalah melakukan digitalisasi pada semua basis layanannya, karena pada masa pandemi ini model layanan seperti ini makin menguat.

BSI menurut Imam mempunyai semua prasyarat untuk melakukan digitalisasi secara optimal.

Digitalisasi menurut Imam menjadi terbatas jika dilakukan oleh bank kecil dengan modal inti kurang dari Rp10 triliun atau consumer base di bawah 5 juta nasabah.

Namun BSI mempunyai modal inti Rp22,6 triliun, aset Rp240 triliun dan sekitar 15 juta nasabah atau sekitar 7 persen dari populasi dewasa.

“Pemain yang sudah berhasil melakukan digitalisasi pada bank konvensional itu biasanya punya kapital yang besar dan consumer base yang besar juga, bank BUKU III dan IV,” ujar dia.

“Kekuatan utama untuk melakukan digitalisasi secara alami sudah tersedia pada bank hasil merger,” tambah dia.

Indonesia menurut dia juga punya banyak pengalaman melakukan merger bank pada saat sulit, seperti Bank Mandiri yang dilakukan saat krisis keuangan 1998.

Karena itu, Indonesia akan menjadi lebih mudah untuk melakukan corporate action seperti merger ini dibanding negara lain, ujar dia.

Merger ini juga bisa membuat BSI mendapatkan keleluasaan untuk mengumpulkan bankir-bankir terbaik dari perbankan konvensional maupun syariah, sehingga bisa menyelesaikan masalah sumber daya manusia.

“Di masa depan, ekonomi Indonesia bisa masuk 10 besar dunia. Kalau masih belum ada perbankan syariah yang cukup besar maka perkembangannya akan tertinggal bahkan dengan negara dengan penduduk muslim yang lebih sedikit,” ujar dia.

Tika Arundina Direktur Program Ekonomi Islam, Universitas Indonesia mengatakan bank syariah pernah lama mengalami stagnasi market share hanya 5 persen dalam waktu yang lama.

Indonesia baru bisa keluar dari “jebakan stagnasi 5 persen” setelah konversi Bank Aceh menjadi bank syariah pada 2017 dan membawa market share menjadi 6,5 persen.

Perlu inovasi produk

Merger tiga bank syariah pemerintah ini memang tidak memperbesar market share, tetap 6,3 persen, namun menjadikan BSI mempunyai modal yang lebih kuat, sehingga bisa melakukan beragam aktivitas dan kesempatan memperbesar skala ekonomi.

Dari sisi profil risiko, kata dia, dengan modal besar maka akan lebih stabil.

“Dengan skala ekonomi besar juga bisa membuat low cost of fund yang jadi masalah bank syariah. Selama ini bank syariah pricingnya lebih tinggi.

“Bank syariah juga bisa mendapatkan nasabah yang risiko profilnya lebih baik, orang-orang di tier one, sehingga berdampak ke profitabilitas yang lebih tinggi," ujar dia.

Bank hasil merger menurut dia bisa menjadi pemain besar dengan menciptakan nilai-nilai yang membedakan perbankan syariah dengan industri lain.

“Misalnya prinsip syariah harus ada social value. Karena itu ada zakat, infak sedekah,” ujar dia.

Merger ini juga bisa membuat BSI merambah pasar yang sebelumnya tidak bisa diakses karena mempunyai legal limit lending yang lebih besar, seperti masuk ke sektor wholesale, korporasi besar atau proyek pemerintah.

Tiga bank entitas merger juga punya keunggulan, ujar dia.

Misalnya BRI Syariah punya keunggulan UMKM, bisa memanfaatkan KUR syariah.

Kemudian KPR dari BNI Syariah hingga gadai emas yang menjadi andalan Bank Syariah Mandiri.

“Penggabungan ini membuat produk yang ditawarkan menjadi semakin luas dan harapannya lebih kreatif membuat produk orisinal,” ujar dia.

Namun BSI juga menghadapi tantangan yang cukup besar, seperti budaya perusahaan hasil penggabungan tiga bank.

Selain itu tantangan berikutnya adalah melakukan integrasi sumber daya manusia dengan tepat.

“Silakan diselesaikan konflik internal ini dengan cepat. Dengan menjadi bank besar maka human capitalnya jadi lebih baik,” ujar dia.

Menonjolkan keunggulan etik

Ekonom Indef Fauziah Rizki Yuniarti mengatakan saat ini potensi ekonomi syariah global pada 2024 mendatang mencapai USD3,2 triliun.

Ekonomi syariah ini tumbuh besar ditopang oleh populasi muslim yang terus membesar, diperkirakan mencapai 2,2 miliar pada 2030.

Selain itu juga naiknya GDP per kapita negara-negara OIC.

“Yang menarik adalah ketertarikan orang pada agama. Sekitar 76 persen muslim menganggap agama penting bagi kehidupan. Orang juga tertarik pada produk yang menonjolkan sisi etik,” ujar dia.

Karena itu, bank syariah harus menonjolkan sisi etik ini, harus bergeser dari sekadar produk halal atau haram tapi ada produk yang menonjolkan sisi lingkungan, keberlanjutan dan keadilannya.

“Ini nilai-nilai yang dianut oleh bank syariah tapi tidak ditonjolkan selama ini,” ujar dia.

Posisi perbankan syariah di Indonesia saat i ni hanya mempunyai porsi 2 persen pada industri keuangan syariah global. Lebih rendah dari Turki (3 persen), Qatar (6 persen) dan Kuwait (6 persen).

Jauh lebih rendah dibanding Iran yang sudah mencapai 29 persen, Arab Saudi sebesar 25 persen, Malaysia 11 persen dan Uni Emirat Arab sebesar 9 persen.

“Kita kecil sekali, padahal kita negara penduduk muslim terbesar di dunia,” ujar dia.

Bank syariah di Indonesia menurut dia harus menghilangkan beberapa hambatan seperti kurangnya literasi masyarakat terhadap sistem perbankan syariah dan produk-produk yang tidak kompetitif.

Fauziah merekomendasikan agar pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang mengafirmasi keberadaan BSI dan aktivisa ekonomi syariah.

Misalnya penempatan dana-dana pemerintah dengan volume signifikan seperti BPJS Kesehatan, Ketenagakerjaan hingga gaji PNS ke BSI.

Selain itu mendorong RUU Ekonomi Syariah agar ada aturan yang mengintegrasi ekonomi syariah menjadi satu paket sekaligus aturan tentang insentif.

“Perlu juga regulasi produk profit loss sharing ratio atau mudharabah. Serta minimum porsi pembiayaan mudharabah, sehingga ada acuan yang jelas,” ujar dia.




Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın