Kebijakan makroprudensial BI tetap akomodatif hingga 4 tahun mendatang
BI memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga pada 2018, namun melonggarkan kebijakan makroprudensial

Jakarta Raya
Iqbal Musyaffa
JAKARTA
Bank Indonesia mengatakan kebijakan makroprudensial akan tetap akomodatif hingga empat tahun mendatang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik dan pertumbuhan kredit.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung menjelaskan kondisi ekonomi saat ini berbeda dengan tahun 2012-2013 lalu yang overheating sehingga BI mencoba mengeremnya dengan kebijakan moneter seperti menaikkan suku bunga dan kebijakan makroprudensial dengan pengetatan LtV.
Menurut dia, pada saat ini BI sudah memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga pada tahun 2018, namun melonggarkan kebijakan makroprudensial.
Juda menjelaskan kebijakan suku bunga bertujuan untuk menjaga daya tarik investasi guna menjaga nilai tukar, sementara kebijakan makroprudensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik dan pertumbuhan kredit.
“Kebijakan makroprudensial tetap akomodatif dalam 3-4 tahun ke depan,” tegas dia dalam diskusi bersama blogger dan mahasiswa di Jakarta, Rabu.
Juda menambahkan pada tahun lalu BI sudah melonggarkan kebijakan Loan to Value (LtV) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) serta dari sisi likuiditas juga sudah melonggarkan Giro Wajib Minimum (GWM) sehingga bank bisa menambah penyaluran kreditnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Pertumbuhan kredit memang masih di bawah siklus potensialnya sehingga perlu didorong dan masih ada ruang untuk kebijakan makroprudensial yang akomodatif,” urai Juda.
Dia mengatakan pertumbuhan kredit pada tahun ini diharapkan bisa tumbuh 12 persen dan dalam 3-4 tahun ke depan bisa mencapai 16-17 persen dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6 persen.
Sementara kesenjangan rasio credit to GDP Indonesia saat ini di kisaran 35 persen masih jauh di bawah negara-negara lain seperti Malaysia sebesar 50 persen, AS 100 persen, dan bahkan China 200 persen.
Rasio kesenjangan credit to GDP adalah besaran kredit terhadap pendapatan seseorang dan indikator ini digunakan BI untuk mempertimbangkan kebijakan makroprudensial melalui countercyclical capital buffer (CCB).
Apabila kesenjangan credit to GDP sudah 3 persen di atas tren jangka panjang, maka CCB harus dinaikkan dengan penambahan modal perbankan.
“Tapi ini masih lama karena kredit masih di bawah trennya,” ungkap Juda.
Menurut dia, instrumen yang akan digunakan untuk pengetatan kebijakan makroprudensial nantinya tergantung pada situasi pada saat itu.
Juda memperkirakan dalam 3 hingga 4 tahun mendatang, credit to GDP gap Indonesia bisa berada di kisaran 40-45 persen tergantung pada seberapa cepat pertumbuhan kreditnya.
“Tujuan kita (melonggarkan makroprudensial) agar tren kredit ini tumbuh lebih cepat dengan cara pembiayaan bukan hanya dari perbankan, tapi juga nonbank seperti pasar modal dan obligasi,” lanjut Juda.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.