Kadin: Pemanfaatan potensi laut Indonesia belum maksimal
Ketersediaan kapal penangkap ikan dan polemik cantrang masih menjadi kendala utama sektor perikanan Indonesia

Jakarta Raya
İqbal Musyaffa
JAKARTA
Para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengatakan pemanfaatan potensi sumber daya kelautan Indonesia belum maksimal karena masih terbelenggu berbagai permasalahan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto mengatakan, ekspor produk Indonesia berangsur turun setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-Oktober 2017 ekspor produk perikanan Indonesia hanya 862,1 ribu ton, lebih kecil dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Secara nominal, pendapatan ekspor produk perikanan hanya USD3,61 miliar hingga Oktober dari target yang ditetapkan 2017 sebesar USD 7 miliar.
“Sepanjang 2017 kami perkirakan hanya akan tercapai 1,07 juta ton total ekspor produk kelautan Indonesia, sama seperti tahun lalu,” ungkap Yugi, Rabu.
Jumlah tersebut lebih kecil dari pencapaian ekspor 2015 yang mencapai 1,1 juta ton dan 2014 yang menyentuh angka 1,3 juta ton.
Padahal, pada 2024 mendatang, Food Agriculture Organization (FAO) menyebut potensi pasar produk perikanan global mencapai 240 juta ton per tahun dan Indonesia berpotensi menguasai 25 persen dari potensi global.
“Dengan asumsi produksi 60 juta ton per tahun, Indonesia berpotensi mendapatkan USD240 miliar per tahun dan membuka 30 juta lapangan pekerjaan dari sektor perikanan,” ungkap dia.
Akan tetapi, potensi tersebut seakan masih jauh panggang dari api. Yugi mengurai, setidaknya terdapat dua masalah besar dalam sektor perikanan Indonesia, yaitu minimnya ketersediaan kapal tangkap ikan dan pelarangan cantrang yang membuat produksi nelayan merosot jauh.
“Tentu masalah kepastian hukum dan kejelasan aturan yang masih menjadi masalah laten di sini,” tambah dia.
Ikan banyak, kapal sedikit
Menilik data dari R-VIA Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah kapal tangkap ikan yang tersedia dan terdaftar saat ini sebanyak 4.470 unit, dari ukuran di bawah 10 Gross Ton (GT) hingga di atas 30 GT.
Jumlah ini, menurut Yugi, terus merosot dari jumlah kapal penangkap ikan tahun 2014 yang mencapai 5.700 unit.
“Jumlah ikan sebenarnya melimpah, tapi kapalnya kurang,” ungkap Yugi.
Sebagai salah satu solusi, menurut Yugi, kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan tetap harus diperhatikan.
Langkah KKP menenggelamkan kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal tidak salah, kata Yugi, untuk memberikan efek jera dan sebagai bentuk nasionalisme.
“Baiknya kapal [yang ditangkap KKP] dipergunakan untuk nelayan karena menenggelamkan kapal juga membutuhkan biaya besar,” tambah Yugi.
Selama tiga tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia setidaknya sudah menenggelamkan 317 kapal asing pengambil ikan di perairan Indonesia.
Polemik cantrang
Terkait penggunaan cantrang, Yugi meminta agar pemerintah mendengar masukan dan keinginan nelayan. Kalaupun memang penggunaan cantrang dilarang, ia mengimbau agar dilakukan kajian akademis terlebih dahulu, serta diberikan alternatif alat pengganti untuk nelayan melaut.
Alat tangkap ikan lain yang terpaksa digunakan nelayan selain cantrang, menurut Yugi, adalah gill net yang hanya mampu menghasilkan 60 persen dari cantrang.
Menteri KKP Susi Pudjiastuti pernah menjelaskan penggunaan cantrang dapat mengancam populasi ikan di laut dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarnelayan.
Cantrang, menurut Menteri Susi, lebih banyak digunakan kapal besar dan bukan nelayan kecil. Akan tetapi, reaksi di lapangan memperlihatkan besarnya penolakan nelayan atas larangan tersebut.
Yugi juga menyebut polemik penggunaan cantrang serta perdebatan di pemerintah terkait praktik penenggelaman kapal membuat pengusaha perikanan hanya bisa wait and see, belum banyak tertarik berinvestasi di sektor ini akibat ketidakpastian baik hukum ataupun regulasi.
“Wajar kalau perbankan menganggap sektor perikanan high risk, sehingga agak sulit menyalurkan pendanaan untuk sektor ini,” jelas Yugi.
Meskipun saat ini sudah ada Instruksi Presiden tentang percepatan pembangunan industri perikanan nasional, menurut Yugi masih belum efektif karena tidak diikuti petunjuk teknis yang dapat dijadikan pedoman oleh para pelaku usaha perikanan.
Nelayan masih susah
I Wayan Sudja, salah satu pembudidaya ikan kerapu, mengungkapkan setidaknya terdapat 120 ribu kapal nelayan yang bersandar karena larangan penggunaan cantrang.
“Apabila satu kapal rata-rata diisi 12 nelayan, maka terdapat lebih dari satu juta nelayan yang kini tidak bisa melaut,” ujar Wayan.
Oleh karena itu, Wayan mengusulkan agar pemerintah hanya mengatur urusan-urusan makro saja dan tidak sampai mengurusi masalah detail teknis nelayan dalam melaut.
“Banyak nelayan yang mengeluh karena untuk melaut saja kini susah,” tambah Wayan.
Selain itu, Sudja juga berharap agar pemerintah tidak terlalu membebani para pelaku usaha perikanan, salah satunya dengan pajak, karena industri perikanan saat ini masih lesu.
Pembebanan pajak justru akan membuat minimnya investasi pada sektor ini yang membuat industri sulit bangkit.
“Akibatnya, setoran pajak jadi rendah,” ujar Wayan.
Wayan mengatakan sebaiknya pemerintah belajar dari beberapa negara seperti Tiongkok, Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam menerapkan aturan pajak untuk perikanan.
“Malaysia berikan 12 tahun tax holiday. Sementara Tiongkok zero tax untuk perikanan, pertanian, dan peternakan. Bahkan minta tanah pun dikasih untuk investasi di sektor itu,” Wayan menjelaskan.
Pengenaan pajak, menurut dia, bisa dikenakan pada saat pelaku usaha mengimpor, bukan pada saat awal ingin mengajukan izin investasi, sebagaimana diterapkan pada sektor migas dan pertambangan.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.