Indonesia luncurkan neraca gas bumi
Ini bisa jadi acuan investor dan calon investor, pemerintah dan akademisi untuk menciptakan tata kelola gas bumi yang kokoh,” ujar Wakil Menteri ESDM Archandra.

Jakarta Raya
Muhammad Latief
JAKARTA
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan neraca gas bumi Indonesia (NGI) 2018-2027, di Jakarta, Senin.
Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar mengatakan NGI adalah gambaran pasokan dan kebutuhan gas bumi nasional jangka panjang yang mencakup berbagai skenario proyeksi yang mungkin akan terjadi di masa mendatang.
“Ini data tentang kondisi gas bumi di Indonesia yang ditunggu oleh para investor, badan usaha serta instansi pemerintah,” ujar Archandra di Jakarta, Senin.
NGI kali ini disusun dengan menggunakan tiga skenario untuk memprediksi kecukupan gas dalam negeri. Ketiganya disusun dengan mempertimbangkan enam faktor yakni; lifting migas dan own used, kemudian pertumbuhan program pemerintah seperti jaringan gas (jargas) dan Saluran Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG). Kebutuhan pupuk dan petrokimia, pertumbuhan kelistrikan, pertumbuhan permintaan industri retail, dan pertumbuhan industri non retail.
Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan ada perubahan signifikan NGI 2018-2027 dengan NGI sebelumnya, yaitu pada metodologi proyeksi kebutuhan gas.
Pada NGI sebelumnya, metodologi proyeksi kebutuhan gas digabung antara kebutuhan gas yang sudah kontrak dengan kebutuhan gas potensial. Sedangkan pada NGI 2018-2027, proyeksi kebutuhan gas dibagi menjadi 3 skenario utama.
Skenario I, menurut Agung adalah NGI diproyeksikan mengalami surplus dengan perhitungan proyeksi kebutuhan gas mengacu pada realisasi pemanfaatan gas bumi serta tidak diperpanjangnya kontrak-kontrak ekspor gas pipa/LNG untuk jangka panjang.
Kemudian skenario II, NGI diproyeksikan tetap surplus pada 2018-2024, namun akan defisit pada 2025-2027. Namun defisit ini tersebut belum mempertimbangkan adanya potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti blok Masela dan blok East Natuna.
Sedangkan skenario III adalah NGI diproyeksikan surplus pada 2019-2024, namun akan defisit pada 2025-2027. Untuk 2018 tetap mencukupi sesuai realisasi dan rencana tahun berjalan.
Sama seperti skenario II, defisit ini terjadi karena belum mempertimbangkan adanya potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti blok Masela dan blok East Natuna.
Skenario ini menggunakan asumsi pertumbuhan industri 1,1 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen.
Menurut Archandra, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan pemanfaatan sumber energi domestik di antaranya gas bumi yang memiliki cadangan terbukti sekitar 100 Triliun Standar Cubic Feet (TCF) sebagai energi bersih dan ramah lingkungan.
Pada 2017, pemanfaatan gas bumi untuk domestik sudah sebesar 59 persen atau lebih besar dari ekspor yang sebesar 41 sebesar. Pemanfaatan gas bumi domestik tersebut meliputi sektor industri sebesar 23,18 persen, sektor kelistrikan sebesar 14,09 persen.
Untuk sektor pupuk sebesar 10,64 persen, lifting migas sebesar 2,73 persen, LNG domestik sebesar 5,64 persen, LPG domestik sebesar 2,17 persen dan 0,15 persen untuk Program Pemerintah berupa Jargas Rumah Tangga dan SPBG. Sedangkan ekspor gas pipa sebesar 12,04 persen dan LNG Ekspor 29,37 persen.
“Ini bisa jadi acuan investor dan calon investor, pemerintah dan akademisi untuk menciptakan tata kelola gas bumi yang kokoh,” ujar Archandra.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.