Ekonomi, Nasional

Indonesia kembali gunakan skema cost recovery dalam kontrak migas

Menteri ESDM Arifin Tasrif membuka kemungkinan berlaku dua skema kontrak migas yaitu cost recovery dan gross split

Muhammad Nazarudin Latief  | 05.12.2019 - Update : 05.12.2019
Indonesia kembali gunakan skema cost recovery dalam kontrak migas Ilustrasi: (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Pemerintah Indonesia berencana menggunakan kembali skema cost recovery atau penggantian biaya operasi bagi wilayah kerja (WK) migas di Indonesia, setelah sebelumnya pemerintah selalu menyodorkan skema gross split atau pembagian kotor pada investor migas.

"Kami melakukan dialog dengan para investor di bidang migas. Kami tanyakan, mana yang prefers, ada dua yaitu gross split dan cost recovery," ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM Arifin Tasrif, pada Selasa.

Jika ada fleksibilitas maka akan ada daya tarik investasi, kata Menteri Arifin sembari menekankan bahwa dua skema tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Menurut dia, ada investor yang lebih memilih skema kontrak cost recovery untuk lapangan di daerah sulit dan berisiko tinggi. Sementara gross split dianggap lebih cocok untuk wilayah kerja eksisting karena memiliki tingkat kepastian bisnis yang lebih tinggi.

Pemerintah berharap dengan fleksibilitas ini produksi migas Indonesia yang belakangan turun kembali meningkat. Tahun ini SKK Migas memperkirakan lifting minyak hanya sebesar 754.850 barel per hari (bph), meleset dari target sebesar 775 ribu bph di APBN 2019.

Tahun depan, target lifting minyak hanya sebesar 734 ribu bph atau merosot sekitar 3 persen dari proyeksi rata- rata tahun ini.

Sebagai gambaran gross split adalah skema bagi hasil pengelolaan blok migas antara negara dan kontraktor berdasarkan hasil bruto. Dengan skema ini biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor.

Sejak diwajibkan dengan dasar hukum Peraturan Menteri ESDM No.52/2017, pemerintah memutuskan hasilnya dibagi 57 persen untuk negara dan 43 persen untuk kontraktor lapangan minyak. Sedangkan untuk lapangan gas bumi 52 persen ke negara, 48 persen untuk kontraktor.

Sedangkan skema cost recovery adalah pengembalian biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor migas selama cadangan belum ditemukan hingga diproduksi secara komersial. Bagi hasil atau split baru dibagi setelah penerimaan dipotong oleh first tranche petroleum (FTP), pajak penghasilan, dan biaya yang dapat dikembalikan.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo mengatakan perubahan kebijakan ini adalah penyakit lama birokrasi Indonesia yang sering berganti-ganti mengikuti selera pejabatnya. 

“Konsistensi kebijakan itu yang sulit diterapkan di sini,” ujar dia. 

Fleksibilitas skema kontrak ini, menurut Agus mungkin permintaan para investor migas agar lebih leluasa menjalankan bisnis. 

Namun dia mengingatkan bahwa cost recovery pernah menjadi biang korupsi migas dan banyak menimbulkan kerugian negara. 

Modusnya adalah praktik mark-up (penggelembungan) besaran cost recovery atau biaya penggantian investasi yang dibebankan kepada negara. 

Misalnya pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2015 BPK menemukan adanya dugaan mark-up sekitar Rp4 triliun dari pelaporan cost recovery yang disodorkan tujuh KKKS.

“Ini kemunduran kebijakan. Groos split lebih baik, lebih sulit dikorupsi,” ujar dia. 

Agar investor lebih berminat

Pengamat migas lain yang dihubungi Anadolu Agency, menyambut positif kembalinya skema cost recovery dalam kontrak migas. 

Begitu pula pengusaha migas, tentu setuju dengan kebijakan baru ini.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan faktanya dengan skema gross split investor justru enggan menanamkan modalnya pada industri ini. 

Sejak berlaku 2017 lalu, hingga kini sudah ada 45 wilayah kerja migas yang menggunakan skema tersebut. 

Sebanyak 17 wilayah kerja hasil lelang, 23 wilayah kerja terminasi dan 5 wilayah kerja amandemen. Dari jumlah tersebut, pemerintah memperoleh dana eksplorasi sebesar USD2,71 miliar atau sekitar Rp38,5 triliun. 

Sementara untuk bonus tanda tangan sebesar USD1,19 miliar atau sekitar Rp16,8 miliar. 

“Lelang baru tidak diminati. Yang dilakukan pemerintah sudah tepat, memperbolehkan kembali skema cost recovery dan investor memilih," kata Feby. 

“Ini karena skema gross split sudah dibuat regulasi dan faktanya ada beberapa lapangan yang sudah adopsi skema ini.”

Fleksibilitas ini, menurut Feby merupakan masukan dari pelaku industri migas. 

Pengamat energi Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhy mengatakan fleksibilitas antara kontrak rezim gross spilt dan cost recovery sangat tepat untuk mendorong peningkatan investasi di sektor hulu migas. 

Investor punya pilihan sesuai preferensi dan perhitungan kelayakan investasi hulu migas, sehingga memberikan kepastian bagi investor dalam berinvestasi, ujar dia. 

Ketiga pengamat ini sepakat ada pengawasan ketat untuk pilihan cost recovery karena ada potensi moral hazard dalam penggantian biaya investasi.

Tugas pemerintah menjaga agar dua skema ini dijalankan dengan transparan dan memiliki tingkat kepastian tinggi, ujar Fahmi. 

Dalam sebuah diskusi, mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar yang sering mensosialisasikan skema gross split, mengatakan bahwa dalam masa jabatannya skema ini lebih menarik dalam menjaring investor dibandingkan cost recovery. 

Menurut dia, pada 2015 dan 2016 saat pemerintah menawarkan lelang blok migas dengan skema cost recovery investasi hulu migas tidak diminati. 

Baru pada 2017, setelah berlaku skema gross plit investasi bangkit naik, saat itu langsung ada lima wilayah kerja yang laku dilelang dengan skema tersebut, ujar Archandra. 

Jumlah wilayah kerja yang berhasil dilelang main bertambah dari tahun ke tahun. 

“Kalau ada yang mengatakan gross split tidak baik untuk blok eksplorasi, datanya seperti ini,” ujar dia seperti dikutip media lokal. 

Investor menyambut baik 

Catatan Anadolu, sejumlah investor menyambut baik rencana fleksibilitas kontrak migas ini. 

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Louise McKenzie mengatakan kebijakan ini adalah langkah ke arah yang benar, karena itu pihaknya memang menginginkan banyak fleksibilitas. 

Menurut dia, tantangan produksi migas pada setiap proyek tidak sama. 

Menurut bos Exxonmobile Cepu Limited ini, pihaknya ingin berdiskusi lebih dalam sehingga benar-benar memahami keinginan pemerintah. 

Indonesia menurut dia membutuhkan banyak investasi untuk mencapai target produksi minyak sebesar 1 juta bph pada 2030. Karena itu perlu menumbuhkan lingkungan yang baik untuk bisa menumbuhkan investasi, proyek dan penemuan baru.

Pertamina juga menyambut baik. Menurut perusahaan milik negara ini, fleksibilitas kontrak bagi hasil akan memudahkan kontraktor, mereka bisa memilih skema yang sesuai dengan kondisi lapangan migas yang dikelola.

PT Medco Energi Internasional juga menyambut baik wacana ini karena pelaku industri hulu sektor migas memerlukan fleksibilitas kontrak sehingga dapat memberikan keekonomian yang menarik investasi. 

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.