
Jakarta Raya
Muhammad latief
JAKARTA
Kemitraan ekonomi komprehensif (Comprehensive economic partnership agreement/CEPA) Indonesia-Australia akan mempersiapkan pelaku bisnis masuk ke pasar global, bukan sekadar saling menguasai pasar di kedua negara, ujar pejabat senior Kementerian Perdagangan, Jumat.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo mengatakan kerja sama dua negara dengan ekonomi terbesar di Pasifik Selatan menjadi angin segar dalam situasi dunia yang serba tidak menentu.
“Ini upaya berintegrasi dan bermitra, tidak hanya soal pasar bagi kedua negara. Tapi kerja sama ini sebagai basis untuk masuk pasar ketiga,” ujar Iman dalam konferensi pers, di Jakarta.
Meski tidak menjelaskan situasi dunia yang dimaksud, kata Imam, namun perdagangan global belakangan diwarnai aksi proteksionisme yang menguat terutama oleh Amerika Serikat.
Langkah ini menyebabkan perang dagang dengan banyak negara dan membuat kondisi ekonomi global penuh risiko, kata dia.
Menurut Iman, Indonesia-Australia CEPA ini membawa keduanya siap masuk pada rantai produk global dan berkompetisi di dalamnya.
Bukan saja liberalisasi perdagangan barang, jasa dan investasi namun sekaligus membangun economic power house yaitu menggabungkan kekuatan kedua negara untuk menghadapi pasar global, tambah dia.
Salah satu sektor penting yang akan digarap bersama yaitu industri besi dan baja, ujar Imam.
Australia adalah satu-satu negara di dunia yang mendapatkan pengecualian dari kebijakan tarif kenaikan tarif impor produk baja dan aluminium Amerika Serikat, kata Imam.
“Butuh investasi sektor-sektor yang disepakati untuk memasuki pasar dunia. Kita tidak secara khusus menargetkan pasar kita masing-masing,” ujar dia.
Imam mengatakan secara umum perjanjian ini berhasil membebaskan sekitar 7.000 pos tarif berbagai produk asal Indonesia.
Saat perjanjian diimplementasikan, maka tarif produk asal Indonesia menjadi nol persen, kata dia.
Namun, kata Imam, hal serupa tidak serta-merta terjadi di Indonesia. Tidak semua barang dari Australia masuk ke Indonesia dengan tarif nol persen.
Beberapa produk yang berpeluang mendapatkan pasar besar di Australia di antaranya adalah otomotif, khususnya kendaraan elektrik dan hibrid.
Ini karena industri otomotif Australia sudah mati setelah Holden memutuskan menghentikan produksi, ujar Imam.
Menurut dia, Dalam sektor otomotif, Indonesia tidak sekadar mendapatkan pasar namun juga bisa mengambil teknologi yang ditinggalkan Holden.
Di sektor tekstil dan produk tekstil, tambah Imam, Indonesia berhasil menyamakan level of playing field dengan Malaysia dan Vietnam setelah mendapatkan tarif nol persen dari sebelumnya 5 persen.
Kedua negara kompetitor tersebut sudah terlebih dahulu mendapatkan fasilitas pembebasan tarif, kata Imam.
Sektor berikutnya adalah herbisida dan pestisida, kata Imam. Dengan bea masuk nol persen ini, produk Indonesia bisa menjadi alternatif dari pemasok lama yaitu Malaysia dan Tiongkok.
“Impor Australia untuk dua produk ini cukup besar, tapi peranan Indonesia masih terbatas. Kurang dari 10 persen pangsa pasar,” ujar dia.
Kerja sama ini juga memuat klausul yang unik, yaitu pertukaran tenaga kerja antar perusahaan dalam rangka transfer of knowledge, kata Imam.
Selain itu, dia menambahkan bahwa di bidang pendidikan tinggi dan vokasi juga diatur dalam perjanjian tersebut.
“Ada tambahan 4.100 visa kerja untuk WNI,” ujar dia.
Wakil Ketua Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pengusaha sudah terlibat sejak lama dalam perundingan perjanjian ini.
Karena itu, pada intinya sudah siap menghadapi implementasinya.
Australia, menurut Shinta, akan masuk dengan komoditas unggulan mereka seperti gandum dan sapi.
Pengusaha Indonesia membutuhkan gandum dan gula rafinasi sebagai bahan baku yang dibutuhkan industri manufaktur, kata Shinta.
Sektor investasi paling penting diperhatikan, karena tidak ada komitmen pasti jumlah yang masuk ke Indonesia, tambah dia.
“Ini adalah tugas kita untuk menyiapkan proyek di Indonesia agar mereka tertarik berinvestasi,” ujar Shinta.
Pada 2017, jumlah arus modal masuk (FDI) Australia di Indonesia mencapai USD513 juta, dengan sektor unggulan adalah pertambangan, tanaman pangan dan perkebunan, industri logam dasar dan barang logam, dan hotel serta restoran.
Dengan perjanjian ini, Shinta menjelaskan bahwa Australia juga bisa masuk pada sektor pendidikan, kesehatan dan pariwisata. Australia kini sangat tertarik dengan konsep pariwisata terintegrasi.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.