Harga rokok harus naik Rp 25 ribu per bungkus
“Industri rokok untung besar saat ini, tapi 30 tahun lagi jadi beban negara,” kata badan penasihat presiden

Jakarta
Muhammad Latief
JAKARTA
Pemerintah diminta tidak ragu-ragu menaikkan harga jual eceran rokok hingga rata-rata sekitar Rp 25 ribu per bungkus, demikian diungkapkan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kesehatan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Budi Hidayat, Jumat.
“Harga paling efektif untuk mengendalikan konsumsi. Yang belum pernah merokok jadi tidak merokok dan yang sudah merokok berhenti,” kata Budi. Dengan harga minimal Rp 25 ribu itu, Budi menghitung pemerintah bisa menekan angka kemiskinan hingga 2 juta jiwa, dan menurunkan jumlah perokok sampai 4 juta jiwa.
Selama ini, pemerintah hanya menaikkan cukai rokok 10%, yang menurut Budi malah memperparah kondisi masyarakat. Pembeli rokok bukannya menurunkan konsumsi mereka, namun malah menaikkan konsumsi rokok per kapita per bulan.
Supaya penambahan harga rokok memberikan efek positif bagi masyarakat, Budi menyarankan pemerintah berani menaikkan biaya cukai rokok sebesar 113 sampai 200 persen. “Kalau di bawah itu malah menaikkan angka kemiskinan,” sebut Budi.
Pihaknya melakukan simulasi. Pada saat harga rokok naik 10% menjadi Rp 11 ribu, angka kemiskinan naik sebanyak 0,16%. Saat harga cukai dinaikkan 60%, angka kemiskinan turut naik 0,47%.
Selama ini, kata Budi, pemerintah sering ragu menaikkan harga rokok karena takut kehilangan pemasukan cukai. Perhitungan pemerintah, bila rokok legal mahal, akan ada kemungkinan lonjakan rokok ilegal. Alasan pemerintah itu, kata Budi, tak masuk akal karena barang-barang ilegal, termasuk rokok, bisa diatasi dengan penegakan hukum.
Selain itu, menurut Budi, jumlah produksi rokok ilegal sebenarnya jauh di bawah produksi legal. Misalnya pada 2012, ketika produksi legal mencapai 203 miliar batang, rokok ilegal hanya 18 miliar batang. Kerugian akibat rokok ilegal ini sebesar Rp 8,1 triliun, namun dana cukai yang dikumpulkan pemerintah masih mencapai Rp 90,55 triliun.
Masih menurut Budi, menaikkan harga rokok juga tak akan memengaruhi inflasi, karena kenaikan harga rokok selama ini masih jauh di bawah kenaikan pendapatan rata-rata masyarakat. Tahun 2010, cukai rokok menyumbang 10,7% pendapatan per kapita, sementara pada 2015 sumbangan cukai rokok hanya 9,5%.
“Rokok adalah komoditi yang tak bisa serta merta mempengaruhi tingkat inflasi negara secara drastis, tak seperti kenaikan BBM,” ujar Budi.
Penasihat Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Hasbullah Thabarani mengatakan, sekitar 35% penyakit-penyakit yang ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berhubungan dengan konsumsi rokok. “Seperti kardiovaskular dan hemodialisis. Hal ini menjelaskan bahwa rokok mulai menjadi ancaman besar bagi kesehatan masyarakat,” kata Hasbullah.
Di sisi lain, industri rokok menikmati keuntungan besar-besaran dari pasar Indonesia. Misalnya, PT HM Sampoerna yang menikmati penjualan bersih pada 2016 sebesar Rp 95,4 triliun, naik dari tahun sebelumnya yaitu Rp 88,9 triliun dan Rp 74,9 triliun. PT Gudang Garam Tbk juga menikmati penjualan bersih sebesar Rp 76,3 triliun pada 2016, naik dari sebelumnya Rp 70,4 triliun dan Rp 65,3 triliun.
“Bangsa ini terancam rokok. Ada industri yang dapat untung besar [dari rokok], tapi akibatnya 30 tahun kemudian jadi beban negara.”
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.