Ekonomi, Nasional

DPR gerak cepat sahkan revisi UU KPK

Peneliti Formappi Lucius Karus mencatat pembahasan revisi UU KPK ini merupakan tercepat yang pernah terjadi di DPR

Erric Permana  | 17.09.2019 - Update : 18.09.2019
DPR gerak cepat sahkan revisi UU KPK Ilustrasi: Sidang Paripurna anggota DPR-RI. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA 

Di akhir masa jabatannya pada 1 Oktober 2019, DPR periode 2014 - 2019 secara resmi telah mengesahkan revisi Undang - Undang (UU) No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan demikian, maka rancangan revisi UU yang mendapatkan penolakan dari masyarakat itu akan segera berlaku, maksimal 30 hari setelah disahkan di DPR RI.

Pengesahan tersebut dilakukan dalam rapat sidang paripurna DPR yang diselenggarakan pada Selasa.

Padahal dalam agenda sidang paripurna yang diterima jurnalis pada Selasa, tidak ada pembahasan untuk mengesahkan revisi UU KPK.

Sebelum disahkan menjadi undang - undang, pada Senin malam Badan Legislasi DPR dan Pemerintah secara mendadak membahas sejumlah pasal dalam revisi undang - undang KPK untuk dibawa ke paripurna dan disahkan menjadi undang - undang.

Jurnalis yang meliput di Gedung MPR/DPR RI awalnya tidak mengetahui adanya pembahasan tersebut.

Berdasarkan laporan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Atga, dalam rapat pembahasan malam tadi, tujuh fraksi yakni PDI Perjuangan, PPP, PKB, PAN, Nasional Demokrat, Golkar, dan Hanura setuju seluruh poin dalam rancangan UU.

Dua fraksi, yakni Partai Gerindra dan PKS, menyatakan menolak salah satu poin dalam rancangan revisi undang - undang itu, yakni mengenai penunjukkan Dewan Pengawas KPK oleh Presiden.

Kedua partai itu menginginkan agar Dewan Pengawas KPK melalui uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan DPR.

Sementara Partai Demokrat tidak bersikap karena masih ingin berkonsultasi dengan pimpinan partai.

Ketua Baleg DPR RI Supratman dalam sidang paripurna menjelaskan bahwa UU tentang KPK perlu direvisi karena kinerja KPK saat ini dinilai masih lemah.

"Dalam perkembangannya kinerja pemberantasan korupsi dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antara penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf KPK," ujar Supratman, pada Selasa.

Usai menyampaikan laporan mengenai pendapat fraksi - fraksi partai di DPR, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang meminta persetujuan kepada fraksi dan anggota DPR yang hadir untuk mengesahkan menjadi UU.

"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap RUU perubahan kedua tentang KPK dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" tanya Fahri.

"Setuju," ujar anggota DPR yang hadir.

Sebelumnya, pembahasan revisi UU KPK telah menjadi polemik sejak paripurna DPR beberapa waktu lalu yang mengesahkan agar UU tersebut direvisi dan menjadi inisiatif DPR RI.

Padahal, revisi UU KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019.

Pemerintah melalui surat yang dikirimkan Presiden Joko Widodo kepada DPR setuju untuk merevisi UU.

Presiden menilai UU KPK perlu direvisi karena aturan tersebut telah berumur 17 tahun.

Namun Joko Widodo memberikan sejumlah catatan di antaranya tidak menyetujui empat poin usulan DPR yakni mengenai kewajiban KPK meminta izin terlebih dahulu kepada pengadilan untuk melakukan penyadapan.

"KPK cukup memperloleh izin dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta pada Jumat pekan lalu.

Jokowi juga tak setuju dengan poin mengenai penyidik dan penyelidik KPK yang harus berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Dalam Surat Persetujuan Presiden kepada DPR, kata Jokowi, penyelidik dan penyidik KPK bisa berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain.

"Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," tambah dia.

Selain itu, pemerintah juga tidak setuju jika KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam proses penuntutan.

"Sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi," jelas dia.

Dia melanjutkan pemerintah juga menolak usulan DPR yang mengatur mengenai pengelolaan LHKPN yang bisa dilakukan di kementerian/lembaga lain.

"Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," jelas dia.

Meski demikian, Presiden Presiden Joko Widodo menyatakan setuju dengan sejumlah poin dalam revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diusulkan oleh DPR.

Namun, Jokowi -- sapaan akrab Joko Widodo -- mengklaim memiliki perbedaan dalam sejumlah poin revisi UU KPK dan telah dituangkan dalam Surat Presiden kepada DPR.

Poin yang disetujui oleh pemerintah di antaranya tentang adanya Dewan Pengawas KPK, Jokowi menilai semua lembaga negara seperti Presiden RI, Mahkamah Agung serta DPR bekerja dalam prinsip saling mengawasi untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang.

Jokowi menegaskan setuju dengan pemberian kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan.

Penegakan hukum harus memiliki prinsip hak asasi manusia (HAM), jelas Jokowi.

"Kalau RUU DPR memberikan maksimal 1 tahun untuk mengeluarkan SP3, kami minta 2 tahun supaya memberikan waktu memadai KPK yang penting ada kewenangan KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan atau pun tidak digunakan," tegas dia.

Presiden Joko Widdo juga setuju dengan menjadikan pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dia mencontohkan lembaga independen lain seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pengawas Pemilu dan juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) seluruh pegawainya merupakan PNS atau PPPK.

Menanggapi revisi tersebut, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai DPR terlihat sangat tergesa-gesa dalam mengesahkan revisi UU tersebut.

Peneliti Formappi Lucius Karus mencatat pembahasan RUU ini merupakan yang tercepat yang pernah terjadi di DPR.

"Proses pembahasan hanya seminggu untuk revisi satu UU," kata Lucius kepada Anadolu Agency melalui sambungan telepon.

Dia menilai banyak prosedur standar proses pembahasan UU yang hingga kini tidak diperlihatkan oleh DPR di antaranya naskah akademik yang tidak bisa ditunjukkan oleh DPR.

Singkatnya, waktu pembahasan dan pengesahan revisi UU ini berpotensi menghasilkan produk yang tidak berkualitas serta rentan digugat Mahkamah Konstitusi.

"Juga rentan menjadi muara transaksi politik," pungkas dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.