Dorong PLTSa, Pemerintah Daerah harus beri tipping fee
Pembangkit listrik sampah adalah solusi energi sekaligus mengatasi masalah lingkungan, sehingga investor harus dipermudah

Jakarta Raya
Muhammad Latief
JAKARTA
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pemerintah daerah untuk memberikan kemudahan bagi investor untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan PLTSa merupakan salah satu pengembangan dari Energi Baru Terbarukan dengan target bauran sebesar 23 persen pada 2025.
Kemudahan yang bisa diberikan pemerintah daerah adalah kelonggaran pada aturan tipping fee atau biaya pengelolaan sampah yang dibayarkan pada investor.
“Pemerintah daerah harus pro aktif dan tipping fee dikasih, sehingga PLTSa bisa jalan,” ujar dia dalam siaran pers tentang Rapat Koordinasi Nasional tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, di Jakarta Selasa.
Menteri Jonan berharap, semua kota besar di Indonesia memanfaatkan tipping fee untuk pembangkit listrik.
Menurut dia, proyeksi kebutuhan listrik nasional semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah memperkirakan, dalam 10 tahun mendatang, konsumsi listrik per kapita naik dua kali lipat.
Karena itu, menurut Menteri Jonan, pemerintah berusaha mewujudkan rasio elektrifikasi nasional 100 persen dan menargetkan bauran energi berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) di tahun 2025 mencapai 23 persen.
Menurut Menteri Jonan, konsep pengelolaan energi saat ini telah berubah. Energi tidak lagi hanya sebagai komoditas semata namun sebagai modal pembangunan.
Sampah, lanjut dia, sebenarnya bukan isu utama energi melainkan masalah lingkungan hidup. Karena itu, mendorong pengelolaan sampah menjadi listrik di daerah-daerah adalah salah satu upaya menyelesaikan masalah lingkungan hidup.
Pihaknya berkomitmen terhadap isu ini dengan menugaskan PLN sebagai pembeli listrik yang dihasilkan dari PLTSa.
Di Indonesia, investasi dalam pembangkit energi listrik terus membaik. Peringkat terbaru kemudahan berbisnis ease of doing business dari World Bank bidang listrik menempatkan Indonesia dari peringkat 49 pada 2017 menjadi menjadi peringkat 38 pada 2018.
"Target akhir Pemerintahan ini, diupayakan bisa dibawah 25," ujar Menteri Jonan.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi pada 2017 mencapai 94,83 persen. Artinya, masih ada 5,17 persen atau 3,1 juta total rumah tangga di Indonesia yang belum mendapatkan aliran listrik.
Pembangkit listrik di Indonesia didominasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batu bara yaitu 24.883 MW atau 48 persen dari total kapasitas pembangkit di dalam negeri 52.231 MW.
Kemudian PLTGU berbahan bakar gas sebesar 11.262 MW atau 22 persen, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang berbahan bakar solar sebesar 5.771 MW atau 11 persen, serta pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan pembangkit listrik tenaga mesin dan gas (PLTMG) sebesar 3.944 MW atau 8 persen.
Sementara itu, sisanya sekitar 12 persen berasal dari pembangkit listrik terbarukan sebesar 6.370 MW yang terdiri atas PLTS, PLTA, PLTMH, PLTBio, dan PLTP.
Analis senior Global Subsidies Initiative dari International Institute for Sustainable Development (IISD) Richard Bridle mengatakan salah satu hambatan pengembangan EBT di Indonesia adalah besarnya keberpihakan pemerintah untuk bahan bakar fosil khususnya batu bara.
Selain itu, lanjur Bridle, harga yang ditawarkan untuk listrik EBT tidak menarik secara bisnis.
Karena itu, laju bauran energi Indonesia hingga kini masih pada angka 10 persen dan belum ada perkembangan berarti.
Bridle khawatir, jika kondisi seperti ini terus, maka target bauran 23 persen pada 2025 tidak akan tercapai.
“Regulasi investasi harus dipermudah. Ini adalah langkah pertama untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan serta mendatangkan investasi,” ujar dia dalam pernyataan resmi yang diterima Anadolu Agency.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.