Dampak pengetatan impor terasa mulai Oktober
Pembatasan impor bahan pangan bisa berdampak kenaikan harga dan inflasi

Jakarta Raya
Muhammad Latief
JAKARTA
Kebijakan pengetatan impor diperkirakan akan terasa dampaknya pada neraca perdagangan Oktober mendatang, ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Kamis.
Menteri Enggar mengungkapkan kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 menjadi 10 persen pada barang konsumsi impor tidak berpengaruh besar pada importir. Mereka hanya diminta melakukan impor sesuai jadwal dan kebutuhan.
Demikian juga pada inflasi. Ini karena pembatasan tidak dikenakan pada bahan baku dan barang tersebut mempunyai substitusi bikinan dalam negeri.
“Oktober mulai sedikit kelihatan di neraca perdagangan. Pada neraca Agustus yang akan diumukan September diperkirakan akan lebih baik. Terutama sektor non migas,” ujar Menteri Enggar saat menghadiri Konvensi internasional "Strategy and Innovation of Trade in the Digital Age" di Jakarta.
“Dampak pada inflasi tidak terlalu besar,” ujar dia.
Indonesia pada Selasa memutuskan untuk menaikkan tarif impor barang konsumsi antara 7,5 hingga 10 persen. Ini adalah upaya tekanan pada rupiah dengan membatasi impor, khususnya barang konsumsi yang belakangan melaju pesat.
Hingga Agustus, pertumbuhan impor mencapai 13,4 persen sedangkan ekspor hanya tumbuh 5,77 persen. Pertumbuhan impor barang konsumsi mencapai 16,46 persen dengan nilai USD15,77 miliar, sementara impor barang modal tumbuh 13,55 persen dengan nilai USD21,36 miliar dan impor bahan baku tumbuh 12,82 persen sebesar USD86,41 miliar.
Total kenaikan ini akan berlakju pada 1.147 komoditas impor yang nilainya pada 2017 sebesar USD6,6 miliar. Ini mengkhawatirkan karena hingga Agustus ini saja, total impor seluruh komoditas tersebut sudah mencapai USD5 miliar.
Dalam simulasi pemerintah, kebijakan ini akan menurunkan impor hingga 2 persen year on year.
Menurut Menteri Enggar, pemerintah tidak bisa memprediksi sampai kapan kebijakan ini berlaku, karena situasi global juga tidak bisa diperkirakan.
Karena itu, pilihan paling tepat adalah mengembangkan produksi domestik dan mengurangi impor barang yang sudah tersedia substitusinya di dalam negeri.
“Ini semua hands on, kita kendalikan. Situasi ekonomi Indonesia fundamentalnya tidak ada masalah. GDP bagus, inflasi terkendali. (Inflasi) September besok juga insya allah terkendali,” ujar Menteri Enggar.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan pembatasan impor pada satu sisi bisa menjadi bumerang untuk pemerintah, terutama membuat daya beli masyarakat melemah karena pembatasan ini juga mencakup barang konsumsi mereka.
Data Badan Pusat Statistin (BPS) pada Mei 2018, impor barang konsumsi mencapai USD 1,73 miliar. Sementara itu nilai impor barang modal dan bahan baku penolong adalah USD2,81 miliar dan USD13,11 miliar.
“Nilai impor barang konsumsi masih lebih kecil ketimbang impor barang modal dan bahan baku penolong. Jika kebijakan ini jadi diberlakukan, maka akan ada pembatasan terhadap konsumsi masyarakat,” ujar dia.
Kebijakan ini, menurut Hizkia berisiko, apalagi menjelang akhir tahun, saat permintaan barang konsumsi meningkat.
“Dikhawatirkan harga akan kembali naik dan tidak bisa dijangkau. Berkurangnya impor bukan hanya akan mengurangi suplai, tetapi juga akan mendistorsi kompetisi di pasar,” jelas Hizkia.
Menurut Hizkia, sebaiknya pemerintah tidak membatasi impor pada barang-barang yang dikonsumsi dan dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya pangan. Hal ini dikhawatirkan akan merugikan masyarakat karena hargnya akan meningkat.
Selain itu, pemerintah sebaiknya juga melihat pertumbuhan ekonomi yang bisa dihasilkan dari perdagangan internasional. Saat produksi dan kualitas komoditas yang dihasilkan dari dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, di situlah impor berperan untuk menstabilkan harga dan memastikan masyarakat bisa mengakses bahan pangan dengan harga terjangkau.