Cukai rokok naik, industri tembakau kian tertekan
Kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok pada awal tahun depan dinilai tidak tepat di tengah kondisi ekonomi dan daya beli yang relatif lesu

Jakarta
Iqbal Musyaffa
JAKARTA
Para pelaku industri hasil olahan tembakau mengeluhkan penetapan cukai rokok yang baru-baru ini diumumkan bakal naik 10,04 persen pada 2018. Kebijakan ini dinilai dapat membuat industri olahan tembakau khususnya rokok kretek kian terhimpit.
Hal ini disampaikan oleh Sekrataris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aony Aziz. Ia mengatakan produksi tahunan rokok rata-rata turun 1 persen dalam beberapa tahun belakangan.
Industri pun menargetkan produksi tahun ini sama dengan tahun lalu yakni sebanyak 342 miliar batang. Namun, ia merasa hal tersebut sangat sulit direalisasi.
Hingga September, Hasan mengatakan pelaku industri rokok baru memproduksi sebanyak 237 miliar batang rokok. “Prediksi kami produksi tahun ini hanya 325 miliar batang,” ungkap dia, Selasa.
Kebijakan pemerintah menetapkan kenaikan cukai rokok pada awal tahun depan, menurut dia, tidak tepat di tengah kondisi ekonomi dan daya beli yang relatif lesu.
Penerimaan cukai negara pun menurut dia juga turut merosot seiring penurunan produksi rokok.
Ia menggambarkan peneriman cukai di tahun 2016 sebesar Rp 143,5 triliun turun dari penerimaan di tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 144,6 triliun.
Tahun ini, target penerimaan pemerintah dari cukai rokok sebesar Rp 147,54 triliun pun diakuinya sulit tercapai.
“Kenaikan cukai pada tahun depan akan membuat semakin banyak peredaran rokok ilegal,” tambah dia.
Peredaran rokok ilegal yang tidak memiliki pita cukai, menurut Hasan, terus menunjukkan tren meningkat.
Pada tahun 2016 sebanyak 12,1 persen rokok yang beredar adalah rokok ilegal tanpa cukai, naik dari tahun 2014 dengan peredaran rokok ilegal sebanyak 11,7 persen.
Kebijakan pemerintah terhadap industri pengolahan tembakau menurut dia lebih terfokus pada aspek pengendalian peredaran dan fiskal saja, tanpa memikirkan keberlangsungan industri rokok.
Terlebih lagi, tren konsumen rokok saat ini mulai bergeser dari sigaret kretek tangan menjadi sigaret kretek mesin dengan kadar nikotin dan tar yang lebih rendah. Hal itu membuat rokok jenis mild terus berkembang dan menggerus pasar rokok kretek dengan pangsa pasar 71,14 persen berbanding dengan 20,56 persen pada tahun 2016.
Di tempat yang sama tembakau yang digunakan untuk memenuhi permintaan sigaret kretek mesin adalah jenis Virginia yang tidak banyak diproduksi di dalam negeri.
Akibatnya, impor tembakau jenis ini meningkat dan tembakau lokal yang banyak digunakan untuk rokok kretek pun tidak terserap maksimal. “Pengurangan tenaga kerja pun susah dihindari karena produksi rokok mild menggunakan mesin,” urai dia.
Kendala lain yang dihadapi industri rokok dengan kenaikan cukai pada tahun depan adalah maraknya diversifikasi produk rokok seperti vape (rokok elektrik) yang tidak terkena cukai
Diketahui, barang kena cukai di Indonesia hanya untuk etanol, minuman beralkohol, dan hasil tembakau.
“Padahal, barang yang punya bahaya untuk publik perlu pengenaan cukai sehingga beban cukai terhadap industri rokok tidak terlalu besar,” ujar dia.
Ketua Umum Gappri Ismanu Sumiran meminta pemerintah mulai membatasi juga peredaran rokok elektrik tersebut melalui pengenaan cukai sebagaimana halnya rokok tembakau. “Harus ada regulasi yang mengatur hal tersebut,” tegas dia.
Meski begitu, dia belum melihat tren penggunaan vape di masyarakat menggerus pangsa pasar rokok tembakau secara signifikan. “Penurunan produksi rokok murni karena faktor ekonomi saja,” tukas Ismanu.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.