Ekonomi

Birokrasi rumit di Indonesia hambat legalitas pekerja migran

Bank Dunia menyarankan agar Indonesia meningkatkan koordinasi antar instansi dan “merampingkan prosedur birokrasi”.

Iqbal Musyaffa  | 09.10.2017 - Update : 10.10.2017
Birokrasi rumit di Indonesia hambat legalitas pekerja migran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal dipulangkan dari Malaysia ke Indonesia melalui Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, 23 Desember 2014. (Jefry Tarigan - Anadolu Agency)

Jakarta

Iqbal Musyaffa

JAKARTA

Bank Dunia mengatakan, birokrasi yang rumit di Indonesia sering menghambat legalitas bagi pekerja migran Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri, terutama di negara ASEAN.

Menurut Ekonom Bank Dunia bidang perlindungan sosial Mauro Testaverde, hambatan utama bagi pekerja migran Indonesia adalah kerumitan birokrasi. Bahkan, banyak pekerja migran Indonesia tidak memiliki dokumen resmi dari negara.

“Jadi birokrasi yang lebih rumit itu di Indonesia, bukan di negara penerimanya,” ungkap Mauro di Jakarta, Senin.

Mauro mengatakan, ada beberapa instansi di Indonesia yang memiliki duplikasi peran untuk pengelolaan tenaga kerja migran, seperti Kementerian Tenaga Kerja dan institusi lain seperti BNP2TKI.

Dia pun menyarankan agar Indonesia meningkatkan koordinasi antar instansi dan “merampingkan prosedur birokrasi”.

Filipina, ujar dia, memiliki sistem pendukung yang bagus sehingga dapat menjadi contoh bagi negara-negara tetangganya.

Menurut Bank Dunia, dari sekitar 7 juta orang pekerja migran di ASEAN, 18 persennya berasal dari Indonesia. Angka ini merupakan yang terbanyak kedua setelah Myanmar yang menyumbang 33 persen dari total pekerja migran di ASEAN. Sebanyak 96 persen atau 6,5 juta orang dari seluruh pekerja migran ini bekerja di Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Bank Dunia menyebut, rata-rata tingkat pendidikan para pekerja migran masih rendah.

“83 persen pekerja migran ASEAN memiliki pendidikan di bawah tingkat SMA,” ujar Mauro.

Ini pun terjadi kepada Indonesia. Sekitar 90 persen pekerja migran asal Indonesia memiliki tingkat pendidikan tidak sampai lulus SMA. Hanya sekitar 5 persen yang lulus SMA, sementara sebagian kecil lainnya memiliki pendidikan setingkat sarjana.

Tingkat pendidikan yang rendah ini berkaitan langsung dengan bidang pekerjaan yang dilakukannya di negara tujuan. Mereka pun tak dapat mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih baik.

“Mereka mencari peluang ekonomi di sektor konstruksi, perkebunan, dan jasa rumah tangga,” urai dia.

Mauro juga mengatakan, sebenarnya ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah mengambil langkah-langkah untuk memfasilitasi mobilitas pekerja, namun masih terbatas pada profesi dengan ketrampilan tinggi yang hanya mengisi 5 persen pekerjaan di ASEAN.

Oleh karena itu, perlu diterapkan kebijakan yang tepat di masing-masing negara untuk meningkatkan mobilitas pekerja migran yang mayoritas diisi oleh sektor nonformal.

Dengan pilihan kebijakan yang tepat, menurut dia, negara pengirim pekerja migran dapat memperoleh keuntungan ekonomi dari para pekerjanya sekaligus bisa memberikan perlindungan kepada para pekerja migran.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın