Ratusan surat untuk UNHCR dari pengungsi Afghanistan yang tak berbalas
Di depan pintu markas UNHCR Jakarta, Mehdi menunggu keajaiban suatu saat salah satu surat yang dikirimnya akan dibalas oleh badan PBB yang mengurusi pengungsi itu

Jakarta Raya
Megiza Asmail
JAKARTA
Mohammad Mehdi dan Mahmood duduk tepekur di luar pintu belakang Menara Ravindo di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Sejak pukul 07.30 WIB mereka duduk beralaskan sepotong terpal, tanpa atap pun penutup kepala.
Tak jauh dari tempat mereka duduk, sembilan tenda yang warnanya sudah mulai kusam diisap matahari berdiri. Di baliknya, beberapa pria berteduh, melindungi diri dari sengatan mentari.
Pada Rabu siang yang terik itu, Mehdi bersila sambil mengepit sebuah tas hitam kumal. Secarik kertas bertuliskan permohonan dan harapan bersemayam di dalamnya.
Pria berusia 27 tahun itu menunjukkan kepada Anadolu Agency, sebuah surat yang akan dititipkannya kepada petugas keamanan gedung sore hari nanti. Di pojok kiri atas tertulis "UNHCR Office" sebagai si penerima.
Surat kali itu adalah surat ke-200 yang dikirimkan oleh Mehdi. Pria kebangsaan Afghanistan itu sengaja selalu mencantumkan berapa jumlah surat yang telah dikirimkannya kepada badan PBB yang menangani masalah pengungsi tersebut.
Sejak 198 hari lalu menggelandang di trotoar Jalan Kebon Sirih Barat I, Mehdi bercerita, dia selalu melayangkan surat permintaan bantuan kepada UNHCR.
Isinya memohon mendapatkan bantuan, baik itu pendampingan untuk diproses lebih lanjut ke International Organisation for Migration (IOM) maupun secara ekonomi.
“Saya mau minta financial assistance untuk bisa beli makan dan tinggal di rumah dan juga membantu saya untuk diproses pindah kenegaraan,” ujar Mehdi.
Masuk ke Indonesia melalui Medan, Sumatera Utara, dengan menggunakan perahu dari Malaysia pada 2013 silam, kemudian terdampar bersama pengasingan imigran di Bogor, Jawa Barat, Mehdi berharap dapat diproses lebih cepat dengan menunggu di depan markas UNHCR di Jakarta.
Menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta pada Oktober 2017, pria yang besar di tanah Pakistan ini mengaku tak mengantongi sepeser uang kala itu. Selama tiga hari dia tidak makan dan minum. Musim penghujan kala itu pun kian membuat hidupnya bagai menjelang mati.
“Saya selama tiga hari minum saja dari air kran di masjid. Tiap malam hujan saya berteduh di teras kantor seberang situ,” tunjuk dia. “Tidur pun dalam keadaan berdiri. Tidak bisa duduk karena terendam air.”
Pada hari keempat, Mehdi bercerita, beberapa warga sekitar mengulurkan tangan, memberi kardus untuk dia merebahkan badan serta kelambu agar tak digerogoti nyamuk pada saat tidur malam.
Hari berganti hari, beberapa warga datang memberi makanan. Hingga akhirnya ada seorang wanita kaya, kata Mehdi, datang membawa tenda untuk dia dan pengungsi yang lain berteduh. Sejak itu, Mehdi, Mahmood, beserta pengungsi Afghanistan lainnya menetap di Kebon Sirih.
Mehdi dan Mahmood menyebut orang Indonesia sangat baik terhadap para pengungsi. Beberapa ada juga yang datang untuk memberi uang untuk mereka.
“Alhamdulillah, uangnya bisa buat beli makan atau buat saya beli kertas untuk kirim surat ke UNHCR,” aku Mehdi.
Selain untuk mengisi perut dan sebagai modal bersurat kepada UNHCR, Mehdi mengaku uang sedekah orang Indonesia disimpannya untuk membayar toilet umum.
“Kalau mau mandi di toilet umum, kalau ada uang saya bayar Rp2000, kalau saya tidak punya uang, saya tidak bayar. Tapi kalau ada Rp1000 ya saya cuma kasih Rp1000. Saya malu. Kadang menahan untuk tidak ke toilet,” kata dia.
Uang pemberian dari warga diakui Mehdi tak selalu didapatkannya setiap hari. Kadang satu minggu sekali, kadang dia sampai lupa kapan terakhir kali memegang uang.
Kini, hingga entah kapan, Mehdi bertekad akan terus duduk di depan pintu pagar markas UNHCR. Surat harian bertuliskan tangannya sudah siap dibuatnya tiap pagi untuk kemudian dititipkan kepada petugas keamanan.
Sepanjang hari, Mehdi akan duduk di muka pagar itu. Sebotol air mineral menjadi amunisinya untuk tetap bernapas setidaknya hingga pukul 18.30 petang -- kala petugas keamanan keluar dan mengunci gerbang.
Mehdi bilang, besar harapan dia bahwa si petugas keamanan benar-benar meneruskan ratusan suratnya untuk pihak UNHCR. Meski, dia menyayangkan kerja UNHCR yang sangat lambat dan terus menunda-nunda nasib baik menghampirinya.
“UNHCR ini seperti mama-papa buat saya, buat refugee. Tapi sebenarnya UNHCR itu ada buat apa? Kalau katanya jangan tinggal di sini, jangan tidur di sini, kalau saya tidak punya apa-apa, lalu saya harus ke mana? Karena itu saya mohon bantuan UNHCR,” sebut Mehdi.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.