
Jakarta Raya
JAKARTA
Pemerintah memberikan tiga alternatif bagi masyarakat yang tidak sepakat dengan UU Cipta Kerja untuk mengubah aturan tersebut, ujar Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukkam) Mahfud MD, Selasa.
Pertama kata Menteri Mahfud adalah judicial review yang saat ini sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jika masih ada masalah yang sangat substantif tapi tidak lolos dalam judicial review, karena hanya merupakan persoalan politik hukum, maka silahkan diusulkan untuk legislative review,” ujar dia dalam sebuah seminar daring yang digelar oleh Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama).
“Forum ini bisa memutuskan, apa yang mau dilegislative review apa yang mau dijudicial review.”
Pilihan ketiga kata Menteri Mahfud, pemerintah saat ini menyiapkan kelompok kerja untuk menampung pendapat masyarakat agar nanti masalah-masalah yang masih tersisa dimasukkan dalam peraturan perundangan turunan UU Cipta Kerja, baik di dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah.
“Itu jalan keluar yang bisa digunakan,” ujar dia.
Menurut dia ada juga opsi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), namun hal ini belum menjadi pilihan pemerintah.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga menjadi pembicara dalam acara itu mengatakan pemerintah berharap UU Cipta Kerja mendorong penciptaan lapangan kerja baru dengan meningkantkan investasi dan perlindungan pekerja.
“Setiap tahun ada 6,9 juta masyarakat butuh lapangan kerja baru. Ada 3,5 juta pekerja sudah dirumahkan, dan 3 juta angkatan kerja baru, jadi lebih dari 10 juta orang butuh kerja setiap tahun,” kata dia.
Pandemi Covid-19, kata dia memberi efek pada 29,12 juta orang rakyat Indonesia.
Sebanyak 2,56 juta orang jadi pengangguran, dikarenakan 35,6 persen perusahaan memilih mengurangi jumlah pegawainya.
Selain itu, sebanyak 70,53 persen kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang penghasilannya di bawah 1,8 juta per bulan mengalami penurunan pendapatan.
Pemerintah menurut Menteri Airlangga mau tidak mau, perlu mempertahankan dan menyediakan lapangan kerja dengan pemangkasan regulasi, karena banyak aturan yang menghambat penciptaan kerja.
“UU Cipta Kerja diharapkan menyelesaikan ini semua berbasis produktivitas sebagai daya ungkit perekonomian,” papar dia.
Pemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang terdiri 41 Rencana Peraturan Pemerintah (PP) dan tiga Rencana Perpres dengan melibatkan 19 Kementerian.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Tadjuddin Noer Effendi megnatakan UU Cipta Kerja ini berusaha membangun ekosistem investasi yang lebih baik.
Namun, menurut dia, secara demografi UU ini terlambat paling tidak 20 tahun.
“Seharusnya muncul 20 tahun lalu, saat ada perubahan besar demografi kita. Angka tenaga kerja meningkat dan aliran angkatan kerja kita dari pertanian ke industri juga meningkat,” kata dia.
Jika waktu itu ada aturan investasi ini sudah ada maka tidak ada keterlambatan transformasi masyarakat Indonesia, ujar dia.
Menurut dia proses transformasi ekonomi dan ketenagakerjaan serta peralihan angkatan kerja dari sektor pertanian ke industri dahulu seharusnya didukung oleh ekosistem investasi yang baik.
Setiap proses transformasi akan menyebabkan perubahan sosial dari budaya kerja, jaminan pekerjaan dan jaminan hari tua.
“Di negara kita itu tidak terjadi karena ekosistem investasi belum ada. Peralihan angkatan kerja kita dari pertanian bukanlah dominan ke industri namun ke sektor informal.
“Sebanyak 60 persen tenaga kerja kita di sektor informal, hanya 40 persen saja yang ke sektor formal,” kata dia.
Dampak dari angkatan kerja yang bekerja di sektor informal ini menjadikan pekerja kita lebih banyak menekuni pekerjaan dengan penghasilan rendah, jam kerja tidak teratur, tidak dilindungi UU, bahkan tidak mendapat bantuan dari pemerintah.
“Kondisi ini menyebabkan masalah pengangguran dan kemiskinan selalu tinggi,” kata dia.