
Jakarta Raya
Muhammad Latief
JAKARTA
Studi dari Internasional International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) menemukan bahwa persepsi warga atas ketimpangan meningkat, meski Indonesia sudah mengimplementasikan Sustainable Development Goals (SDGs) selama tiga tahun, Kamis.
Peneliti Infid Bagus Takwin mengatakan indeks ketimpangan naik dari 5,6 poin pada 2017 menjadi 6 pada tahun ini. Ini artinya, warga menilai mereka mengalami ketimpangan pada enam dari 10 ranah ketimpangan yang ditanyakan.
Ketimpangan paling tinggi dirasakan pada soal penghasilan (73 persen), kesempatan mendapat pekerjaan (67 persen) harta benda yang dimiliki (63 persen) dan rumah tempat tinggal (62 persen).
Warga juga merasa sumber ketimpangan lain adalah kesempatan dan tingkat pendidikan (56 persen), kesejahteraan keluarga (55 persen), kualitas lingkungan tempat tinggal (55 persen), hukum (53 persen), keterlibatan dalam politik (49 persen) dan kesehatan (39 persen).
Survei dilakukan dengan mewawancarai 2.041 responden pada 34 provinsi, dengan margin error 2,5 persen.
“Mengukur persepsi ini penting karena bisa merasakan ‘sense of justice’ warga, semakin tinggi ketimpangan maka mereka merasa diperlakukan tidak sebagaimana mestinya,” ujar Bagus saat menggelar konferensi pers “Tiga Tahun SDGs di Indonesia,” di Jakarta.
Menurut Bagus, persepsi soal ketimapangan juga bisa berbeda dengan indikator ekonomi makro yang dikeluarkan pemerintah. Contohnya, meski angka gini rasio diklaim pemerintah sudah turun, namun masih banyak warga yang merasa tingkat ketimpangan masih tinggi.
Ini karena mereka melihat di sekeliling mereka banyak rumah yang lebih bagus, tetangga memiliki harta benda dalam jumlah yang lebih banyak, namun tidak bisa memilikinya karena tidak mempunyai uang untuk membeli.
“Ada barang di sekitar mereka, tapi tidak mampu membeli. Ini yang bisa dirasa sebagai ketimpangan,” ujar Bagus.
Persepsi ketimpangan ini akan membuat masyarakat menganggap pemerintah gagal memenuhi harapan mereka. Sebaliknya bagi pemerintah, persepsi tentang ketimpangan bisa menjadi alat ukur untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan dalam pembangunan.
Menurut Bagus, ketimpangan perlu dibahas secara serius karena termasuk salah satu tujuan SDGs ke 10 yaitu “mengurangi ketidaksetaraan baik di dalam sebuah negara maupun di antara negara-negara di dunia.”
Secara khusus, Infid juga menyurvei presepsi ketimpangan pada tiga kabupaten paling miskin di Indonesia, Kabupaten Dompu,Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Kabupaten Pangkajene, Sulawesi Selatan.
Di Kabupaten Timur Tengah Selatan indeks ketimpangannya lebih tinggi dari indeks nasional yaitu 9, artinya warga memersepsi ada ketimpangan pada 9 ranah dari 10 ranah. Sedangkan di Kabupaten Dompu indeksnya 6 dan di Pangkajene 3.
Tiga sumber ketimpangan paling tinggi di tiga daerah tertinggal tersebut adalah penghasilan, kesempatan mendapatkan pekerjaan, dan harta benda yang dimiliki.
“Kalau pernah datang ke Timur Tengah Selatan, ketimpangan ini begitu nyata,” ujar dia.
Di Kota Soe, ibukota Timur Tengah Selatan bahkan dikenal sebagai kota busung lapar. Saat musim kemarau, warga terbiasa merasakan lapar dan bayi-bayi yang lahir pada musim tersebut bisa dipastikan akan kekurangan gizi.
Penghasilan mereka juga jauh dari kebutuhan, bahkan untuk memenuhi air bersih mereka harus berhutang.
“Itu nyata, mereka banyak utang karena buat beli air bersih,” ujar Bagus.
“Ada potensi tambang mangan, tapi belum diolah dengan baik.”
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro dalam pidato kunci kegiatan tersebut mengatakan meski menghadapi tantangan yang tidak mudah, berbagai indikator utama SDGS terkait kesejahteraan dan pemerataan menunjukkan perbaikan yang melegakan.
Antara lain penduduk yang berada di bawah kemiskinan ekstrem dan garis kemiskinan nasional telah turun satu digit. Namun di sisi lain, tantanganya adalah jumlah penduduk yang agak miskin (moderate poor) dan berada dalam posisi rentan masih cukup tinggi.
“Dibanding negara ASEAN lainnya, penduduk dalam kategori aman dan berada di kelompok kelas menengah juga masih terbatas,” ujar dia.
Menurut Menteri Bambang, pekerjaan rumah pemerintah adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan penduduk hingga di atas garis aman dan bahkan menjadi kelas menengah.
“Inilah kunci membangun keadilan ekonomi, kesejahteraan bersama dan sekaligus menghindarkan diri dari middle income trap.”
Siti Khoirun Ni’mah, Program Manajer Infid mengatakan merujuk pada hasil survei tersebut, maka diperlukan kerja sama dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong penurunan ketimpangan.
Menurut dia, SDGs menargetkan penurunan ketimpangan melalui pertumbuhan pendapatan 40 persen penduduk termiskin lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.