Keluarga korban 1998: Penunjukan Prabowo sebagai menhan menyakiti kami
“Kasus 1998 kan sudah diproses, diperiksa, Pak Prabowo tidak terlibat. Ini tidak relevan lagi, dan sudah beberapa kali dibahas,” kata Dasco ketika dihubungi Anadolu

Jakarta Raya
JAKARTA
Keluarga korban kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu menyatakan kecewa terhadap keputusan Presiden Joko Widodo menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan RI.
Paian Siahaan, ayah dari mahasiswa Perbanas bernama Ucok Munandar Siahaan yang hilang karena menentang Orde Baru, menilai keputusan itu menghambat penuntasan kasus pelanggaran HAM yang menimpa anaknya.
Prabowo memiliki rekam jejak sebagai terduga pelanggar HAM terkait kasus penculikan aktivis dan mahasiswa menjelang demonstrasi anti-pemerintah pada 1998.
Keputusan itu juga mengikis harapan keluarga korban terhadap komitmen yang digaungkan Jokowi terkait isu ini pada 2014 lalu.
“Prabowo menjadi menteri pertahanan ini sangat menyakiti kami, khususnya kami keluarga korban tahun 1997-1998 karena itu lah dasar pemecatan Prabowo dari militer,” kata Paian di Jakarta, Kamis.
“Tidak mungkin kasus ini bisa dituntaskan dengan adanya pelaku (pelanggar HAM) di pemerintahan,” lanjut dia.
Ucok Munandar hilang sejak Mei 1998 dan belum diketahui nasibnya hingga saat ini.
Menurut Paian, salah satu teman kos Ucok melihat mahasiswa Perbanas itu dijemput oleh seseorang tidak dikenal pada malam hari, Mei 1998 lalu.
Prabowo saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus dan diduga bertanggung jawab atas penghilangan paksa 23 aktivis pro demokrasi lewat perintah kepada satuan khusus Kopassus, Tim Mawar.
Sembilan orang telah kembali, namun 13 orang lainnya termasuk Ucok belum diketahui nasibnya hingga kini.
“Status hukum dari anak kami harus jelas, di kartu keluarga masih tetap ada,” kata Paian.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga mengecam penunjukan Prabowo.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Dimas Bagus Arya mengatakan keputusan itu memperlihatkan lemahnya keberpihakan pemerintahan Jokowi pada penegakan HAM.
Langkah Jokowi merangkul Prabowo, yang merupakan lawan politiknya pada dua kali pemilu, menunjukkan roman politik transaksional.
Jokowi dianggap telah “menembus batas” hingga harus mengangkat lawan politiknya sekaligus terduga pelanggar HAM ke dalam kabinet.
“Itu menciptakan distorsi politik yang, menurut kami, bisa mengancam masa depan penuntasan pelanggaran HAM menjadi lebih terjal lagi,” kata Dimas.
Dia juga menyinggung pencapaian Indonesia yang baru saja terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB.
Sebab penunjukan Prabowo justru dianggap mengukuhkan rantai impunitas dalam penegakan HAM di Indonesia.
“Ironis karena malah mengangkat menhan yang diduga melanggar HAM,” ujar Dimas.
Sudah diadili
Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menilai tuduhan dan kekecewaan terkait dugaan pelanggaran HAM oleh Prabowo tidak relevan.
“Kasus 1998 kan sudah diproses, diperiksa, Pak Prabowo tidak terlibat. Ini tidak relevan lagi, dan sudah beberapa kali dibahas,” kata Patria ketika dihubungi Anadolu.
Menurut dia, Gerindra mendukung komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Pasti dong (mendukung), semua masalah pelanggaran HAM masa lalu tetap jadi tugas pemerintah untuk diselesaikan, seperti yang disampaikan Pak Jokowi,” kata dia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.