Budaya, Nasional

Wanita Ubud, memahat kayu demi lanjutkan tradisi

Sebagian kaum pria di Desa Mas, Ubud, telah beralih profesi menjadi buruh bangunan. Kaum wanita pun menggantikan peran sebagai pemahat patung kayu

Megiza Soeharto Asmail  | 10.07.2018 - Update : 20.07.2018
Wanita Ubud, memahat kayu demi lanjutkan tradisi Ibu-ibu memahat patung kayu di Desa Mas, Ubud, Bali, 8 Juli 2018. Kaum wanita di desa ini menjadi pemahat kayu untuk membantu ekonomi keluarga setelah para kepala keluarga memilih untuk mencari penghasilan sebagai buruh bangunan. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Bali

Megiza Asmail

UBUD, Bali 

Di halaman belakang sebuah rumah di Banjar Kawan di Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, lima wanita berusia nyaris separuh abad itu duduk santai di lantai semen kusam yang sebagian sisinya sudah berlumut.

Tangan Iloh Mantili (42) memegang pahat lurus, palu dan sebongkah kayu potong berwarna putih berukuran 12 centimeter. Dia memahat kayu itu tanpa mengukurnya lagi. Tak ada coretan pensil yang digoreskan di kayu tersebut sebagai sketsa.

“Ndak, ndak pakai ukur lagi, karena sudah hafal. Kecuali kalau dapat [jenis] pohon baru yang enggak biasa, baru diukur lagi,” kata Iloh saat ditemui Anadolu Agency, Minggu pekan lalu.

Tidak sampai satu jam, bongkahan kayu panggal buaya (Zanthoxyllum Rhetsa) itu berubah wujud seperti patung Budha bermeditasi. Belum sempurna, hanya menyerupai. Pasalnya masih ada beberapa tahapan lagi yang harus dilalui patung sebelum akhirnya layak untuk dipajang.

Iloh menjelaskan, ada tiga tahapan pembuatan patung kayu. Empat wanita lain di halaman belakang rumah itu pun punya tugas yang berbeda-beda. Pertama, kata Iloh, adalah memahat kayu potong, yang menjadi tugas dia.

“Itu agak lama. Setelah dipahat, kayu dihaluskan dengan ampelas. Kemudian pembuatan bagian kepala. Baru digosok lagi sampai halus. Digosok pun ndak bisa pakai ampelas murah. Kalau ampelasnya murah, enggak terlalu bagus hasilnya,” tutur Iloh.

Sambil menggebuk-gebukan palu di tangan kanan ke bongkol pahat lurus di tangan kirinya, Iloh bercerita sudah memahat patung kayu sejak remaja. Dia pun menikah dengan seorang pria yang juga besar dari keluarga pematung kayu.

Namun, sejak satu dekade lalu, kaum pria di desa ini telah beralih profesi sebagai buruh bangunan. Demi membantu ekonomi keluarga dan mengisi waktu luang, kaum wanita pun mengambil alat pahat dan menyisihkan waktu untuk membuat patung kayu setiap harinya.

“Ya kami kerjakan ini setelah selesai masak saja. Sekitar jam 9 pagi. Biasanya selesai sampai jam 5 sore. Lumayan [hasilnya] buat belanja,” kata Iloh sambil tertawa.

Dia mengatakan, dalam satu hari dia dan beberapa temannya dapat menghasilkan lima patung Budha berukuran 12 centimeter. Nantinya, patung-patung kayu tersebut dibawa ke toko seni alias Art Shop.

“Kalau dijual dari sini satunya 12 ribu rupiah. Tapi kami ndak tahu berapa harga dijual di Art Shop,” ujar Iloh.

Untuk membuat patung kayu memang membutuhkan keterampilan kedua tangan, perhatian terhadap detail hingga kesabaran. Meski demikian, hal itu ternyata tidak membuat Ni Made Siki (47) urung ambil bagian untuk ikut mengerjakan pembuatan patung.

Tangan kanan Siki yang patah karena tertabrak mobil saat sedang mengayuh sepeda pada tahun 1993 silam, tidak membuatnya bermalas-malasan di dalam rumah.

Sama seperti Iloh, dia pun mengisi waktu luang dengan mengerjakan patung-patung kayu. Jika Iloh bertugas sebagai pemahat, maka dengan keterbatasannya, Siki hanya dapat berperan di tahapan terakhir pembuatan patung yakni menghaluskan.

“Kalau saya hanya bisa ngamplas. Ya, gosok-gosok saja. Saya ngerjakan ini sejak sepuluh tahun lalu,” sebut Siki.

Kabupaten Gianyar telah lama dikenal sebagai penghasil kerajinan ukuran kayu tradisional yang namanya sudah tersiar di mancanegara. Ukiran kayu berukuran besar karya pemahat asal Gianyar pun banyak yang dihargai belasan hingga puluhan juta.

Dengan budaya sebagai pemahat atau pematung kayu yang turun menurun itu pemerintah Indonesia setiap tahunnya memberi perhatian kepada desa-desa seni di Bali, yang di antaranya banyak terdapat di Bali.

Berdayakan masyarakat dengan dana desa

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo dalam kunjungannya ke Desa Singakerta di Ubud pada akhir pekan lalu mengatakan infrastruktur di Kabupaten Gianyar sudah relatif mencukupi.

Karena itu, Menteri Eko menyarankan pemerintah daerah dapat mengonsentrasikan dana desa ke pemberdayaan ekonomi dan masyarakat.

“Lebih fokus ke pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan masyarakat, dan bagaimana menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata Menteri Eko.

Dana desa di Kabupaten Gianyar pun, kata Menteri Eko sudah tersalurkan ke desa-desa sebanyak 100 persen pada tahap satu dan dua.

“Dana desa diprioritaskan untuk membangun ekonomi desa sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” imbuhnya.

Dalam meningkatkan perekonomian desa berbasis wisata, Menteri Eko juga mengingatkan agar pemerintah kabupaten untuk membuat peraturan daerah soal pengelolaan sampah.

Dia menyebut, warga dan juga pemerintah setempat harus mulai mengurangi penggunaan minuman kemasan plastik. Produksi sampah plastik, kata Menteri Eko, dapat menurunkan jumlah wisatawan dan memengaruhi penghasilan warga desa.

“Kalau banyak sampah tentu wisatawan akan malas berkunjung,” kata Menteri Eko.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.