Budaya, Nasional

Tionghoa, kebhinnekaan bangsa Indonesia

Indonesia yang beragam memperoleh warisan kolonial berupa segregasi etnis yang belum selesai hingga kini, salah satunya terhadap etnis Tionghoa

Hayati Nupus  | 16.11.2018 - Update : 21.11.2018
Tionghoa, kebhinnekaan bangsa Indonesia Pakar kebhinekaan Indonesia Yudi Latif (kedua dari kiri), sosiolog Indonesia Ariel Haryanto dan sejarawan peneliti etnis Tionghoa Didi Kwartanada setelah diskusi berjudul Peranakan Tionghoa dalam Kebhinekaan Bangsa Indonesia di Jakarta, Kamis 15 November 2018. (Hayati Nupus - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Sosiolog Indonesia mengatakan bahwa kebangsaan Indonesia selama 50 tahun terakhir berbeda dengan kebangsaan ketika negara ini berdiri pada 1945.

Sosiolog sekaligus pengajar di The Australian National University Ariel Heryanto mengatakan bahwa kebangsaan Indonesia saat ini cacat oleh isu primordial dan SARA.

Salah satu kelompok yang mendapat tekanan SARA itu adalah Tionghoa, ujar Ariel, etnis yang berasal dari China daratan kemudian bermigrasi ke Indonesia dan telah berakulturasi dengan warga setempat sejak lama.

Pada saat negara ini berdiri, kata kebangsaan Indonesia dipahami sebagai proyek masa depan, bekerja bersama untuk kehidupan yang adil dan setara.

“Sekarang berbeda, kebangsaan seakan warisan leluhur, yang dianggap tidak memiliki hak waris tidak boleh mengambil bagian,” ujar Ariel, dalam diskusi berjudul Peranakan Tionghoa dalam Kebhinnekaan Bangsa Indonesia, Kamis, di Jakarta.

- Dikriminasi subur jelang pemilu

Diskriminasi SARA itu, kata Ariel, terutama muncul menjelang gelaran pemilu. Isu SARA digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan kelompok lawan.

Ariel memetakan ada sederet warisan sejarah yang menunjukkan kiprah etnis Tionghoa bagi kebangsaan Indonesia. Salah satunya adalah koran Sin Po, koran pertama yang mencetak nama Indonesia menggantikan nama Hindia Belanda.

Koran ini, ujar Ariel, juga dipuji karena menerbitkan notasi lengkap lirik lagu dengan bahasa Indonesia.

Setelah itu, kata Ariel, barulah Edward Douwes Dekker mempopulerkan nama Indonesia.

Sejarawan peneliti etnis Tionghoa Didi Kwartanada mengatakan definisi Peranakan berbeda dari zaman ke zaman. Pada abad 16 hingga awal abad 19, kata Peranakan digunkana untuk orang Tionghoa yang masuk ke agama Islam. Mereka tersebar di Batavia, Makassar dan Madura.

Lama kelamaan, lanjut Didi, orang Peranakan itu berakulturasi ke mayoritas dan menjadi pribumi.

Namun di masa kolonial, tambah Didi, penjajah Belanda mensegregasi status hukum orang-orang yang tinggal di nusantara menjadi tiga bagian, yaitu Eropa, Timur asing seperti Arab, Tionghoa dan India, serta pribumi.

Setelah Indonesia merdeka, kata Didi, segregasi itu belum hilang, bahkan kian menguat. Hal itu tampak ketika reformasi 1998, orang Tionghoa menjadi salah satu obyek kekerasan.

Padahal, ujar Didi, kebhinekaan merupakan keniscayaan dan modal kemajuan Indonesia.

Sejak berdiri, kata Didi, Indonesia sudah beragam. Ada lebih dari 300 kelompok etnis di Indonesia.

- Perlu ruang perjumpaan orang Tionghoa dan etnis lainnya

Pakar kebhinekaan Indonesia Yudi Latif mengatakan saat ditekan, identitas orang atau sekelompok orang akan kian menguat.

Begitu pula dengan etnis Tionghoa, lanjut Yudi. Ketika memperoleh tekanan, mereka akan kian berlindung pada identitas ketionghoaannya itu.

Indonesia, ujar Yudi, terdiri dari beragam elemen, salah satu pembentuknya adalah ketimuran.

Awal pendatang tiba di nusantara, mereka diterima oleh warga kepulauan secara alamiah dan membentuk akulturasi yang damai. Namun politik penjajahan memecah masyarakat atas golongan tertentu sehingga terjadi proses segregasi dan belum pulih hingga kini.

Lembaga Eijkman pernah meneliti soal muasal ras Indonesia dan tak menemukan kesimpulan.

“Sulit menemukan satu ras orang Indonesia, karena sudah kawin-mawin dengan etnis lain,” kaa Yudi,” ujar dia.

Seperti komunitas lainnya, menurut Yudi, komunitas Tionghoa juga hadir di Indonesia dan bisa berperan lebih untuk perkembangan dan kemajuan bangsa.

“Kalau mereka inklusif, mereka seolah dipandang berbeda,” kata dia.

Yudi memetakan perlunya ada ruang-ruang perjumpaan bagi orang Tionghoa dan etnis lainnya. Baik lewat politik, sekolah, organisasi masyarakat atau kebudayaan.

“Dari kalangan Tionghoanya pun harus aktif mengambil bagian dalam proses perjumpaan itu, agar lama-lama rasa asing itu hilang dan menjadi familiar,” kata Yudi.

Jika sudah dianggap sebagai bagian bersama kehidupan bangsa, setalah itu harus ada komitmen bersama untuk mengembangkan pancasila sebagai moral publik.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın