Rindu remaja Rohingya akan sekolah
Nurazizah siap menagih haknya untuk memperoleh pendidikan formal, setinggi-tingginya

Regional
Megiza Asmail
MAKASSAR
Enam tahun sudah Nurazizah melewati masa remaja tak seperti perempuan muda seumurnya. Ribuan hari dilalui dengan penuh kecamuk di kepala. Pertanyaan tentang kapan dia mendapatkan kehidupan yang layak selalu berputar-putar di pikirannya, setiap hari.
Seorang anak memang tidak punya hak untuk memilih dilahirkan dari keluarga seperti apa. Sama halnya dengan Azizah. Lahir pada 2001 lalu, saat kedua orang tuanya dalam pelarian dari Myanmar ke Malaysia pun tak bisa dihindarinya. Tapi kini, beranjak dewasa, Azizah bertekad untuk mengelak dari nasib menjalani kehidupan yang tidak jelas.
Menjadi keturunan Rohingya memang membuat hak-haknya sebagai anak direnggut. Namun, perempuan berkulit kecokelatan ini mengaku bakal terus mencari jalan untuk mendapatkan haknya sebagai manusia. Di usia yang akan menginjak 16 tahun pada 2 Oktober mendatang, Azizah mengaku siap untuk menagih haknya kepada dunia.
Cara pertama yang ditempuh Azizah demi menggugat haknya adalah dengan turun langsung dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan kerabatnya sesama Rohingya, pada 26 Juli lalu di depan Menara Bosowa. Demonstrasi saat itu ditujukan kepada organisasi dunia yang mengurus masalah imigran dan pengungsi, International Organization for Migration (IOM) dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), yang bermarkas di gedung tersebut.
Kala itu, memang ada beberapa wanita dewasa yang ikut dalam demonstrasi. Tapi hanya Azizah yang berdiri dan unjuk suara di depan barisan. “Waktu itu ada yang menyemangati saya untuk jadi orator. Saya ditarik ke depan. Itu aksi yang pertama buat saya. Saya merasa memang sudah waktunya untuk bicara,” ujar Azizah ditemui di Wisma MSM, Makassar, Sulawesi Selatan, pekan lalu.
Unjuk rasa hari itu memang berakhir dengan tidak memuaskan. Pihak UNHCR dan IOM enggan menemui para Rohingya. Belasan orang yang dianggap sebagai provokator karena mencoba memaksa masuk ke dalam gedung diamankan oleh aparat Kepolisian Resor Kota Besar Makassar.
Setelah aksi tersebut, Azizah mengatakan, ada undangan untuk bertemu dari pihak UNHCR dan Imigrasi Indonesia. Dari 220 Rohingya yang tersebar di 13 wisma di Makassar, dipilih lima orang sebagai perwakilan untuk bertemu dua instansi tersebut. Nama Azizah salah satunya.
“Sudah diundi lima orang untuk bertemu UNHCR, dan nama saya sudah naik. Tapi ada yang bilang saya tidak bisa ikut karena di bawah umur. Jadi saya terpaksa tidak bisa ikut. Tapi nanti (nama) saya dijanjikan untuk dipilih lagi saat pertemuan dengan Gubernur Makassar,” katanya.
Menjadi orator dalam aksi kali itu, diakui Azizah, menjadi momen dia meneriakkan kegalauan atas kehidupannya. Baginya, jika dia tak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai kaum Rohingya, dia berharap masih punya pilihan untuk mendapat kesempatan mengenyam pendidikan seperti remaja pada umumnya.
“Saya ingin sekolah. Tapi kami hanya bisa sekolah sampai SD. Saya ingin belajar dan dapat ijazah agar bisa bekerja. Saya ingin minta kepada UNHCR dan IOM, jangan rusak hidup kami yang masih muda ini dengan tidak boleh bersekolah, hidup kami masih panjang,” ungkapnya.
Selama hidupnya, Azizah hanya sempat mengenyam bangku pendidikan formal selama tujuh tahun. Itu pun kala dia bersama Ibu dan Ayahnya menjadi pengungsi di Malaysia. Azizah sempat duduk di bangku Sekolah Dasar hingga kelas 4, namun tanpa jaminan mendapat ijazah di akhir pendidikan.
Statusnya sebagai siswa kemudian terputus ketika ayahnya mengajak melarikan diri dari Malaysia ke Medan, Sumatera Utara, pada 2011 silam. Dua tahun sebelum itu, Ibu Azizah meninggal dunia dan dimakamkan di Malaysia.
Di usianya yang baru 10 tahun Azizah hidup di Medan tanpa bisa mengenakan seragam sekolah. Padahal dia sempat berharap, pelariannya ke Indonesia bisa membuatnya mendapatkan hak akan pendidikan formal. “Sama saja ternyata di Indonesia. Saya kira bakalan berbeda,” ujarnya datar.
Dua tahun menetap di Medan, Azizah bersama ayah dan seorang adiknya dipindahkan ke Makassar. Pada 2013, berbekal uang simpanan dari bekerja ilegal di Malaysia, ayah Azizah menyetor uang sejumlah Rp 25 juta ke seorang agen yang mengaku bisa meloloskan jalan pelarian mereka ke Australia.
Namun, harapan bisa mendapat kehidupan yang lebih baik putus di tengah jalan. Azizah dan keluarganya ditangkap polisi saat sedang menunggu kedatangan si agen di sebuah perkampungan di kawasan Bulukumba, Sulawesi Selatan. “Ada 36 orang waktu itu yang tertangkap. Agennya ini orang Indonesia, tapi aksennya bukan orang Makassar,” tutur Azizah.
Pasca penangkapan itu, Azizah sempat hidup di kamp tahanan pengungsi di Makassar, hingga akhirnya dibebaskan dan ditempatkan di wisma pengungsi. Melewati ratusan hari di kamp, tidak membuat rasa haus akan ilmu surut dari hati Azizah.
“Karena saya putus sekolah, jadi saya hanya bisa les saja. Belajar Bahasa Inggris, seminggu dua kali selama enam bulan. Saya ingin belajar Bahasa Inggris supaya bisa komunikasi dengan lancar kalau nanti pindah ke negara ketiga,” katanya.
Kursus Bahasa Inggris itu diberikan gratis oleh pihak IOM untuk imigran. Namun mereka hanya bisa mengikuti sampai tingkat dasar selesai.
Azizah bercerita, dari ratusan pengungsi Rohingya di Makassar, sekitar tujuh orang di antaranya seumur dengan dia. Namun, mereka tidak punya keinginan untuk dapat bersekolah lagi, seperti yang dirasakannya. Alasan lain adalah orang tua teman-teman Azizah itu tak mengizinkan anak-anak mereka mencari ilmu.
“Beberapa dari mereka bilang malas, bilang belajar itu membosankan. Tapi Bapak suruh saya belajar terus. Bapak bilang, ‘karena kami hidup tidak punya mobil atau harta, jadinya ilmu adalah satu-satunya harta yang bisa kami miliki’,” cerita Azizah.
Ditanya mengenai pemberdayaan pengungsi yang disediakan oleh UNHCR, Azizah menanggapinya dengan penuh kekecewaan. Meski dalam misinya UNHCR menyebut memberikan pelatihan kemandirian untuk para pengungsi, Azizah mengaku tidak pernah mendapatkan pelatihan apapun.
“Pelatihan apa? Pelatihan tidak pernah ada untuk Rohingya. Yang mendapatkan akses pelatihan itu hanya imigran dari negara lain seperti Afghanistan, Iran, dan Pakistan,” ujarnya.
Hasrat menjadi politisi di Myanmar
Meski antusias mempelajari Bahasa Inggris demi dapat berkomunikasi dengan lancar di negara yang akan ditempatinya kelak, Azizah mengaku sangat tertarik untuk membaca buku-buku atau tulisan tentang kasus hukum dan politik.
“Saya senangnya buku-buku hukum. Tapi harganya terlalu mahal sekali, jadi saya tidak bisa beli, hanya bisa membacanya di toko buku. Tidak tahu kenapa saya suka hukum dan politik. Mungkin, karena banyak yang bilang saya cocoknya sebagai politisi. Soalnya, kalau ada yang tanya sesuatu, saya bisa jawab dengan detail,” aku Azizah.
Selain bernafsu melahap buku hukum dan politik, Azizah pun ingin bisa membaca buku lainnya seperti buku-buku yang menceritakan kisah inspirasi atau sejarah. “Saya ingin baca buku yang ada teladannya juga. Saya senang baca tentang Mahatma Gandhi. Semua kata-katanya sangat masuk akal dan sangat bisa dibilang masuk di hati,” imbuhnya.
Hasrat membara untuk mengenyam pendidikan yang dirasakan Azizah saat ini tidak dilakukan semata untuk masa depan yang lebih cerah di negara selanjutnya. Ada satu mimpi yang tidak akan pernah padam, yang diletakkan baik-baik di kepalanya.
“Saya harus balik ke Myanmar, karena itu tanah Ibu dan Bapak. Jadi saya harus berjuang keras untuk itu. Target pertama saya adalah bisa pindah ke negara ketiga. Di sana saya akan belajar. Untuk jadi politisi, kan, saya harus tahu tentang hukum. Nantinya, saya ingin bisa menyelesaikan masalah pengungsi seperti ini dengan menggunakan mulut, seperti politisi yang pintar,” kata Azizah.
Diincar banyak pria Myanmar dan Makassar
Sebagai perempuan muda, sosok Azizah memang terlihat menarik. Meski berpenampilan sederhana, dia selalu percaya diri saat berbicara di tengah pria-pria Rohingya yang berumur di atasnya.
Walau belum menginjakkan usia 17 tahun, Azizah ternyata sudah diincar beberapa laki-laki untuk dijadikan kekasih hingga menjadi istri. Sejak keluar dari kamp tahanan 2015 lalu, terhitung lebih dari sepuluh pria sudah mengajaknya berpacaran hingga melamar melalui ayahnya.
“Ada yang mengajak nikah, pacaran, tunangan, sampai jadi istri. Kalau ada laki-laki yang tiba-tiba ajak chat, saya diamkan. Bapak suruh saya jauh-jauh dulu sama laki-laki. Bapak bilang ‘kamu ini sekarang musafir, belajar dulu. Insya Allah kalau dapat negara ketiga dan kamu bisa belajar lagi, kamu bisa dapat laki-laki yang kamu inginkan',” tuturnya.