Budaya

Menengok persemayaman Sikumbang milik PTDI

Pesawat buatan ‘pemakan singkong’ ini dipensiunkan di Museum Mandala Dirgantara, Yogyakarta

Hayati Nupus  | 18.10.2017 - Update : 19.10.2017
Menengok persemayaman Sikumbang milik PTDI Sikumbang, pesawat karya Mayor Nurtanio Prianggoadisurjo yang menjadi awal rintisan terbentuknya PT Dirgantara Indonesia. (Hayati Nupus - Anadolu Agency)

Yogyakarta

Hayati Nupus

YOGYAKARTA

Mayor Nurtanio Prianggoadisurjo, pada 1953 menjabat sebagai Kepala Jawatan Teknik Udara (Lanud) Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Dia bukanlah lulusan sekolah teknik bergengsi.

Di masa pendudukan Jepang, Nutanio hanya mengenyam sekolah menengah tinggi teknik Kogyo Senmon Gakko, di mana dia belajar tentang dasar-dasar aerodinamika. Namun kecintaannya pada dunia dirgantara membuat sejarah mencatat namanya sebagai salah satu perintis industri penerbangan Indonesia.

Delapan tahun setelah Indonesia merdeka, Nurtanio mengembangkan pesawat all metal pertama milik negara bersama 25 orang teknisi di Lanud Sastranegara. Butuh waktu hingga setahun untuk membuat Sikumbang, begitu pesawat ini dinamai.

“Ini pesawat karya pemakan singkong,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Hadi Tjahjanto saat mengantarkan Sikumbang N-200 ke tempat persemayamannya di Museum Pusat TNI Angkatan Udara (AU) Mandala Dirgantara, Yogyakarta, Selasa.

Hadi menjelaskan, Sikumbang yang bertenaga kuda dibuat khusus untuk armada counter insurgency, pesawat tempur serang darat.

Pesawat ini pertama kali uji terbang pada 1 Agustus 1954 di Lanud Sastranegara Bandung.

Masa itu, penerbangan perdana Sikumbang jadi sensasi masyarakat internasional.

“[Beritanya] dipublikasikan oleh pers penerbangan dari luar negeri seperti Inggris, Jepang, dan Filipina,” kata Hadi bangga.

Bagaimana tidak bangga? Sikumbang sudah dilengkapi dengan senjata otomatis sehingga bisa menembak dari udara.

“NU-200 dikembangkan sebagai pesawat intai dan dipersenjatai,” kata Hadi.

Pesawat ini juga lah yang menjadi rintisan awal pembentukan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung, Jawa Barat.

Setelah lewat 200 jam terbang, Sikumbang dipamerkan di Bandara Kemayoran, lantas pensiun pada Februari 1955.

Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Hadi Tjahjanto saat mengantarkan Si Kumbang N-200 ke tempat persemayamannya di Museum Pusat TNI Angkatan Udara (AU) Mandala Dirgantara, Yogyakarta, 17 Oktober 2017. (Hayati Nupus - Anadolu Agency)

Selepas itu, kata Hadi, Nurtanio kembali mengembangkan jenis terbaru dengan seri NU-225. Pesawat ini merupakan pengembangan terbaru dengan nomor registrasi Sikumbang-02 dan mulai diterbangkan Nurtanio pada Maret 1977.

“Nama seri itu artinya pesawat ini bermesin seperti 225 tenaga kuda,” kata dia.

Puluhan tahun selepas itu, pada 2017 Indonesia kembali memproduksi pesawat sendiri, yaitu N-219.

N-219, kata Hadi, cocok untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dan membutuhkan transportasi yang cepat melalui udara.

“Kalau ada dana bisa diproduksi massal untuk penuhi kebutuhan wilayah terpencil. Untuk merajut nusantara,” kata Hadi.

Nurtanio gugur dalam kecelakaan pesawat ketika uji terbang pesawat Super Aero 46 pada 21 Maret 1966 di Bandung.

“Indonesia bangga memiliki sosok Nurtanio, ia awal perintis industri pesawat terbang Indonesia,” kata Hadi.

Sedangkan nasib Sikumbang, kini diserahkan oleh PTDI ke Museum Mandala Dirgantara, supaya bisa dinikmati oleh masyarakat luas.

Penyerahan ini diwakili oleh Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PTDI Sukatwikanto kepada Kepala Museum Mandala Dirgantara Kolonel Sus Dede Nasrudin.

Sikumbang kini menjadi koleksi ke-50 pesawat terbang yang ada di Museum Dirgantara.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın