Budaya

Meladang di impitan hutan beton

Di antara pemukiman padat penduduk, pabrik, dan proyek apartemen, para petani Pulo Gadung memanen kangkung

Megiza Asmail  | 18.10.2017 - Update : 19.10.2017
Meladang di impitan hutan beton Petani sayur di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, memanen kangkung untuk dijual ke Pasar Klender, 18 Oktober 2017. Meski tidak mendapat untung besar, para petani sayur ini tetap mencari penyambung hidup dari menanam kangkung, bayam, dan kemangi. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Jakarta

Megiza Asmail

JAKARTA

Kira-kira 17 kilometer dari hutan beton Ibu Kota, terbentang berhektar-hektar lahan persawahan. Jauh dari identitas metropolis, pemandangan petani-petani menanam bibit atau memanen di sawah terlihat jelas di Kelurahan Jatinegara, Jakarta Timur.

Tentu saja pemandangannya tidak seperti di desa dengan petani yang sedang menuai padi-padi yang menguning. Petani yang terlihat bekerja di hamparan sawah Jakarta adalah para peladang sayuran.

Kangkung, bayam, dan kemangi tumbuh subur di petakan-petakan sawah di tengah-tengah kawasan Industri Pulo Gadung.

Di antara impitan permukiman padat penduduk, pabrik-pabrik, hingga proyek bangunan apartemen, Waryan, 64, jadi salah satu petani sayuran yang memanfaatkan lahan kosong di Jakarta.

Dia bercerita, sudah sejak tahun 1999 menyewa lahan kosong di belakang Perkampungan Industri Kecil (PIK). Kala itu, dia membayar sewa untuk menggarap lahan kepada kepala lingkungan setempat. Sejak 18 tahun lalu itu Waryan hidup sebagai petani sayur di belantara Jakarta.

“Ada 1,5 hektare yang saya tanam kangkung, bayam, dan kemangi,” kata Waryan.

Meski punya hak untuk mengolah lahan seluas itu, dia mengaku, hanya bekerja dengan dua keluarganya yang lain.
Setiap harinya, Waryan bekerja mulai dari jam 08.00 pagi hingga 16.00 sore. Namun tak jarang juga dia mulai menanam bibit sayuran pada pukul 01.00 malam. Meski bekerja sejak dini hari, baginya hasil penjualan kangkung atau bayam hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Jika dihitung per harinya, dengan tiga orang yang bekerja, mereka bisa mengumpulkan 100 gabung kangkung. Setiap satu gabung kangkung terdiri dari 20 ikat kangkung.

“Satu gabung itu harganya Rp8000. Murah. Yah, hasilnya juga cuma buat makan sehari-hari saja. Tinggal saja masih di gubuk,” kata Waryan menunjuk rumah bedeng tak jauh dari lahan sawahnya.

Uang penjualan itu didapatkan Waryan setelah dia mengantar sayuran itu ke Pasar Klender. Namun, kata dia, tak jarang juga pedagang sayur keliling yang membeli kangkung langsung dengan menyambangi dia di sawah.

Berbeda dengan Waryan yang menggunakan lahan dari tanah yang dibelinya saat pertama kali merantau ke Jakarta, Ima, 53, mengaku masih harus membayar sewa lahan sekitar Rp7-10 juta per tahun.

“Selain bayar tanah per tahun, ada juga uang rokok setahun. Ya sepetak itu uang rokoknya Rp300 ribu, diminta enam bulan sekali sih,” aku dia.

Selain uang itu, mereka juga harus menanggung pembelian pupuk, bibit, sampai tali untuk mengikat kangkung.

“Yah, jadi petani ini enggak ada untungnya,” kata Ima.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın