Budaya

Hikayat Arab mencecah Indonesia

Kedatangan ikhwan dari tanah Arab ke negeri rempah ini mulanya untuk urusan dagang; perkawinan silang membuat mereka tinggal lebih lama

03.08.2017 - Update : 04.08.2017
Hikayat Arab mencecah Indonesia ilustrasi - Mesjid Raya Baiturrahman di Aceh. Salah satu daerah yang pertama kali didatangi pedagang asal Arab ke Indonesia adalah Kepulauan Banda, Maluku, dan Aceh. ( Adem Şalvarcıoğlu - Anadolu Agency )

Regional

Iqbal Musyaffa

JAKARTA

Definisi asal-muasal keturunan Arab yang pertama kali datang ke Indonesia ternyata berbeda dengan pemikiran orang kebanyakan. Terlebih, masyarakat kita sering berpikir Arab adalah Arab Saudi. Maka logis saja ketika mereka menganggap keturunan Arab di Indonesia berasal dari sana.

Padahal, “Orang Arab yang ada di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya berasal dari Hadramaut,” terang Adil Alba, peneliti dari Menara Center, sebuah organisasi yang mempelajari dan meneliti tentang keturunan Arab di Indonesia.

Hadramaut sendiri merujuk pada sebuah area di selatan Yaman, yang konon merupakan negara asal dan tempat tinggal nabi Hud dan nabi Saleh.

Bangsa Hadramaut adalah pedagang rempah yang andal. Mereka merupakan keturunan pelaut yang mendominasi rute maritim di Samudra Hindia. Di abad keempat, sebut Adil, mereka masuk ke Tanah Air melalui wilayah utara Sumatra untuk urusan dagang.

Saat itu, Indonesia belum menjadi satu negara, melainkan beberapa kerajaan berbeda. Di Arab pun, masa itu adalah “sebelum masa kerasulan Muhammad SAW,” kata Adil.

Menyadur dari situs Jalur Rempah, kapal-kapal pedagang Arab ini merapat di Kepulauan Banda untuk membeli cengkeh dari Maluku, yang kemudian dijual kembali ke kawasan Mediterania dan Eropa dengan harga tinggi.

Layaknya pelaut zaman itu, para pedagang menggantungkan angin barat dan timur untuk berlayar. Tak jarang, mereka harus menunggu selama beberapa bulan di wilayah Indonesia sebelum angkat sauh kembali ke negaranya.

Diperkirakan, inilah yang membuat asimilasi itu cepat terjadi. Para pedagang Arab yang mayoritas adalah laki-laki lajang kemudian menikahi perempuan pribumi, yang lalu menghasilkan warga Indonesia keturunan Arab di tanah pertiwi.

“Perkampungan Arab yang pertama di Indonesia [bernama] Fansur, yang ada Deli Serdang, Sumatra Utara,” kisah Adil. 

Dari Barus ke timur

Sesungguhnya, di dalam peta Indonesia modern, kota yang disebut “Fansur” oleh orang Arab itu bernama Barus. Hasil penelitian dengan pendekatan arkeologi-sejarah yang tertulis di prasasti Lobu Tua menunjukkan, Barus di zaman itu adalah pusat banda niaga.

Berita soal terkenalnya Barus di dunia internasional bahkan diamini oleh ditemukannya peta kuno abad ke-2 yang dibuat oleh Claudius Ptolemeus, gubernur di Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir.

Dalam peta itu disebutkan bahwa di pesisir barat Sumatra terdapat kota Barossai yang menghasilkan wewangian yang di pasar lokal dikenal dengan kapur barus.

Sekitar tahun 627 M hingga 1 Hijriah, para pedagang Arab yang masuk ke Barus sudah memeluk agama Islam. Di jazirah Arab, Nabi Muhammad sudah mulai melakukan dakwah Islam secara terbuka dari Makkah.

Dari Barus, bangsa Arab menyebar ke arah timur, yaitu ke arah Sulawesi hingga Batavia. Menurut Adil, kedatangan pada penjajah kemudian mengubah peta penyebaran bangsa Arab. “Karena Batavia dijadikan sebagai pusat ekonomi dan politik,” kata dia.

Mereka melakukan perjalanan lewat laut. Maka, pelabuhan menjadi tempat kumpul-kumpul mereka. Jika di daerah itu belum ada masjid, sebut Adil, “Mereka membangunnya. Setelah ada masjid, mereka menggelar diskusi dan menjadikannya pusat kegiatan bersama.”

Era penjajahan Belanda menjadi babak baru bagi bangsa Arab di Indonesia. “Mereka juga memiliki jiwa nasionalis dalam berpolitik, yang diikuti perkembangan seni dan olah raga,” ceritanya.

Pengaruh Arab lain

Pengaruh Arab, kata Adil, juga tampak dalam beberapa arsitektur perumahan di Indonesia. Penataan eksterior dan interior rumah mereka didasari oleh hadis Nabi Muhammad.

Walau tak terlalu banyak menyumbang pada konteks ornamen untuk bangunan di Indonesia, “Pengaruh terbesarnya justru pada zonasi bangunan,” kata Adil.

Misalnya, papar dia, kamar mandi yang terpisah dari bangunan utama, “Karena ada hadis yang menyebutkan bahwa WC [kamar mandi] adalah tempatnya iblis.”

Contoh lain, adanya dua pintu masuk di rumah. “Pintu utama digunakan untuk masuk tamu pria, sedangkan tamu wanita masuk dari pintu samping,” lanjutnya.

Selain rumah, pengaruh Arab yang masih bisa kita rasakan sekarang adalah di bidang kuliner. Sebelum masuk ke wilayah Nusantara, bangsa Arab melewati Asia Tengah sehingga makanan yang mereka bawa ke Indonesia merupakan perpaduan makanan khas Arab dan India atau Afganistan. Adil bilang, “Seperti nasi kebuli, roti maryam, bahkan teh dan kopi.”

Menariknya, silsilah keturunan Arab di Indonesia bisa ditilik dari nama marga mereka. Keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut – seperti kebanyakan peranakan Arab di Indonesia – kebanyakan memiliki marga Alaydrous, Bawazier, Al Kathiri, Sungkar, Al Habsyi, dan sebagainya.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın