Budaya, Nasional

Albino Ciburuy yang melawan mitos kutukan

Dianggap sebagai anak yang dikutuk membuat warga albino di sebuah kampung di Garut harus menunjukkan kemampuan mereka

Megiza Soeharto Asmail  | 14.08.2018 - Update : 15.08.2018
Albino Ciburuy yang melawan mitos kutukan Jajang Gunawan (3), salah satu keturunan albino bermain didepan rumahnya di kampung Ciburuy, kabupaten Garut, Jawa Barat, Indonesia pada 13 Agustus 2018. Terdapat sembilan orang Albino di kampung Ciburuy yang menjadikan kampung ini dengan tingkat albino tertinggi di Indonesia. (Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Megiza Asmail

GARUT, Jawa Barat

Menjadi minoritas karena warna kulit yang berbeda di tengah perkampungan diakui Isur Suryana (41) sebagai kondisi yang tidak mudah untuk dijalaninya. Terlebih beberapa mitos tak menyenangkan harus didengarnya karena lahir sebagai albino.

Kang Yana – sapaan Isur – mengaku sempat mengalami masa-masa yang menyebalkan karena harus menjalani hidup dengan mendengar sebutan tak enak. Mulai dari sebagai anak yang dikutuk sampai orang primitif.

Saat bertemu dengan Anadolu Agency, Kang Yana memang sempat enggan meladeni pertanyaan tentang kehidupannya sebagai seorang albino. Dia mengaku kecewa dengan pemberitaan beberapa media tentang keberadaan orang-orang albino di kampungnya dengan menjual mitos tak sedap didengar.

“Ya saya sempat diwawancara beberapa media. Tetapi ketika saya buka internet, saya sebal karena ternyata beritanya malah bilang macam-macam tentang kami. Kami disebut primitif sampai [sebagai orang yang] dikutuk,” kata Kang Yana di depan rumahnya, di Kampung Ciburuy, Desa Pamalayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Bapak dari tiga anak ini bercerita, ada beberapa mitos yang tersebar tentang albino di kampungnya itu. Salah satunya berkaitan dengan sebuah situs sejarah yang terdapat di dalam Kampung Ciburuy.

Situs Kabuyutan Ciburuy yang ditemukan pada tahun 1800-an, kata Kang Yana, ditemukan oleh tujuh orang warga Belanda. Para peneliti yang kemudian meninggal di area penemuan situs, konon membawa kutukan kepada siapa pun yang masuk ke dalam situs tanpa menggunakan sandal.

Kutukan itulah yang lantas berwujud dalam kelahiran anak-anak albino. Tak sampai di situ, ada juga dongeng tentang awal mula albino di Kampung CIburuy yang disebut-sebut disebabkan karena ada salah satu wanita desa yang kandungannya dipegang oleh warga Belanda kala itu.

“Dari kematian tujuh orang Belanda itu, ada juga mitos yang menyebut anak albino kedelapan yang lahir di antara perkampungan itu dipastikan meninggal dunia,” tutur Kang Yana.

Isur Suryana (41), salah satu keturunan albino mengerjakan cangkul yang merupakan kerajinan hasil karyanya di kampung Ciburuy, kabupaten Garut, Jawa Barat, pada 13 Agustus 2018. (Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency)

Terkait tentang Situs Kabuyutan Ciburuy, sejarah menyebut situs tersebut merupakan tempat istirahat Prabu Siliwangi. Sampai sekarang, beberapa benda-benda peninggalan raja seperti pusaka keris, hingga naskah kuno dari daun lontar dan nipah masih tersimpan di dalam situs.

Karena menjadi tempat peristirahatan keluarga Prabu Siliwangi itulah terdapat juga kisah tentang pernikahan ayahanda Prabu Siliwangi yang meminang permaisuri berdarah Belanda.

“Kalau mitos-mitos itu percaya 100 persen sih enggak. Kalau yang kutukan itu saya enggak percaya. Yang menurut saya kaitannya agak pas ya tentang permaisuri keturunan Belanda itu,” ujar dia.

Selain mitos tentang kutukan yang dibantahnya, Kang Yana juga menyebut tidak menyukai cerita tentang orang albino yang dianggap primitif. Dia mengungkapkan, orang dewasa di antara sembilan warga albino yang hidup di Kampung Ciburuy, bekerja laiknya warga kampung yang lain.

Bahkan, Kang Yana memiliki berbagai macam usaha yang dilakukan demi menghidupi keluarganya. Salah satunya adalah sebagai pandai besi. Membuat golok, cangkul dan perkakas lainnya yang terbuat dari baja menjadi salah satu keahlian Kang Yana.

Dia menuturkan, bahan yang digunakan untuk membuat perkakas tersebut berasal dari baja rongsok yang dikumpulkannya. “Lumayan, kalau golok bisa saya jual Rp50ribu. Kalau cangkul bisa sampai Rp100ribu,” kata laki-laki kelahiran 7 Juli 1977 itu.

Selain menghabiskan waktu di antara bara dan baja, Kang Yana juga dikenal mahir memperbaiki elektronik. Sebuah rumah kosong di depan tempat tinggalnya dia jadikan tempat penyimpanan onderdil elektronik seperti televisi dan radio.

Tidak sampai di situ, Kang Yana juga mencari nafkah dengan bermain orkes bersama warga dari kampung lain. Beberapa alat musik seperti gitar, bas dan organ, telah dikuasainya.

“Jadi kalau ada orang yang menganggap albino itu primitif, saya bilang itu tidak benar,” tukas dia.

Selain Kang Yana, di Kampung Ciburuy terdapat delapan warga lainnya yang mengalami kelainan genetik. Mereka adalah Lukman (3), Jajang Gunawan (3), Dewi Rasmana (13), Heri Agustin (15), Rosana (20), Firman (40), Asep (50) dan Ntar (60).

Kang Yana bercerita, anak-anak albino yang terdapat di kampung ini tidak semuanya lahir dari orang tua yang juga mengalami kelainan genetik. Hanya saja, kata dia, jika dirunut ke keturunan sebelumnya pasti ditemukan warga yang mengalami kondisi yang sama.

“Warga di kampung sini itu hitungannya semua satu keturunan. Jadi saya pikir pasti akan ada lagi yang lahir dengan kondisi albino,” kata dia.

Rosana (kanan) bersama adiknya Jajang Gunawan (kedua kiri), berbincang dengan tetangganya di kampung Ciburuy, kabupaten Garut, Jawa Barat, Indonesia pada 13 Agustus 2018. (Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency)

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın