Turki dalam sistem presidensial: Lebih leluasa berantas terorisme
Presiden Recep Tayyip Erdogan akan mudah menetapkan kebijakan pertahanan dan keamanan tanpa hadangan parlemen, kata pengamat Timur Tengah dari Indonesia

Jakarta Raya
Pizaro Gozali
JAKARTA
Tanggal 16 April 2017 menjadi hari bersejarah bagi Turki. Hari itu, rakyat Turki memilih dalam sebuah referendum, apakah pemerintahan negara Ottoman tersebut bakal beralih ke sistem presidensial atau tetap dalam sistem parlementer.
Hasilnya mengejutkan. Sebanyak 51,4 persen suara menyatakan memilih sistem pemerintahan presidensial, mengalahkan mereka yang ingin tetap berada dalam sistem parlementer dengan jumlah 48,6 persen.
Meski menang tipis, polling tersebut memperlihatkan rakyat Turki mendukung perubahan konstitusi untuk memperluas kekuasaan presiden.
"Bersama rakyat, kita telah menyadari reformasi paling penting dalam sejarah kami," kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Dari hasil referendum ini, posisi perdana menteri akan dihapuskan. Kekuatan eksekutif dialihkan ke presiden yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Usai kemenangannya dalam pemilu 24 Juni 2018, Presiden Erdogan kembali menegaskan pernyataan serupa.
“Turki mencetak sejarah setelah resmi beralih ke sistem pemerintahan presidensial yang baru,” kata Erdogan dalam pidato pengukuhannya sebagai Presiden terpilih.
Lebih lanjut, Erdogan mengatakan Turki telah meninggalkan sistem yang merugikan negara secara politik, sosial, dan ekonomi.
"Kami akan mencoba untuk menjadi bangsa yang layak dengan kesadaran bahwa kita adalah presiden tidak hanya bagi mereka yang memilih kami, tetapi juga untuk 81 juta warga Turki," kata Erdogan.
Pengamat politik Turki Alfan Alfian, doktor dari Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, menanggapi positif perubahan konstitusi di Turki ini.
Menurut dia, perubahan tersebut merupakan keniscayaan melihat tantangan Turki hari ini.
“Secara teori, sistem presidensial memiliki kelebihan dalam menjamin stabilitas politik ketimbang sistem parlementer,” ujar Alfian kepada Anadolu Agency, Selasa.
Melalui sistem presidensial, pemerintah akan stabil dan tidak mudah dijatuhkan.
Bahkan dalam merespons ancaman dari luar negeri, Erdogan akan lebih cepat bergerak tanpa perlu mendapatkan hadangan parlemen.
"Dalam sistem presidensial, pertahanan dan keamanan memang wilayahnya presiden," ujar dosen Universitas Nasional ini.
Tantangan terbesar dari oposisi
Menurut Alfian, tantangan Erdogan terbesar saat ini justru bagaimana mengelola kekuatan oposisi di Parlemen.
Apalagi, kata Alfian, politik Turki tidak bisa lepas dari faksional yang tajam antara petahana dengan oposisi.
Ini terjadi karena Turki adalah negara yang masih memberikan ruang besar bagi oposisionalisme dalam politik.
Menurut Alfian, kondisi Turki berbeda dengan oposisi di Indonesia yang masih kerap berkoalisi dengan pemerintah dalam isu bersama.
“Banyak orang mengatakan Indonesia itu sistem presidensial rasa parlementer atau presidensial setengah hati,” kata penulis buku “Militer dan Politik Turki: Pergeseran Politik dan Terpinggirnya Militer Pasca-AKP” ini.
Berdasarkan hasil pemilu 24 Juni, Partai Keadilan Pembangunan (AK) yang berkuasa di Turki memenangkan 295 kursi di parlemen. Partai Gerakan Nasionalis (MHP), mitra AKP dalam Aliansi Kerakyatan, meraih 49 kursi, menjadikan suara koalisi partai tersebut memimpin mayoritas di parlemen sebesar 53,6 persen.
Sementara dari partai oposisi utama, Partai Rakyat Republik (CHP) hanya memenangkan 146 kursi, diikuti Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang menjadi oposisi terbesar kedua di parlemen dengan 67 kursi. Sisa kursi di parlemen diraih Partai Iyi yang akan memasuki parlemen untuk pertama kalinya dengan 43 kursi.
Alfan juga menyebut tantangan lain di Turki adalah adanya fenomena “negara dalam negara”, yang dalam ilmu politik disebut deep state.
“Ini yang unik dari tradisi politik Turki,” kata Alfian.
Deep state atau negara bayangan, kata Alfian, diperankan oleh kelompok Gulen di Turki. Mereka menyusup ke institusi militer dan pemerintahan Turki.
Namun seiring berjalannya waktu, Alfian menilai kelompok yang disebut Turki sebagai Organisasi Teroris Fetullah (FETO) ini sudah tak lagi bisa berbuat banyak pasca kudeta.
“Mereka sudah berakhir,” kata Alfian.
Namun, Alfian menilai tradisi deep state tak lantas hilang dengan berakhirnya kelompok FETO.
Ancaman kudeta itu bisa kembali muncul dari tubuh militer.
Meski, Alfian memprediksi militer Turki tidak akan bisa ikut campur dalam politik dan secara mendadak melakukan kudeta.
Erdogan sendiri telah menunjuk mantan panglima militer Turki Hulusi Akar sebagai Menteri Pertahanan.
Akar dikenal jenderal yang loyal kepada Erdogan dan kunci di balik kegagalan kudeta kelompok FETO.
Akar juga otak di balik keberhasilan Turki dalam operasi Perisai Eufrat melawan Daesh dan operasi Ranting Zaitun memberangus kelompok teroris PKK di Afrin.
Menurut pengamat internasional lulusan Turki Sya'roni Rofii, Akar adalah orang yang besar di dunia militer dan memiliki karier yang terstruktur dari bawah sampai jabatan panglima.
Posisi Akar di Menteri Pertahanan Nasional, kata Sya’roni, akan membantu Erdogan menyingkirkan pihak militer yang tidak loyal.
Leluasa memberantas terorisme
Usai pemilu, Presiden Erdogan sendiri menegaskan kembali sikapnya bahwa perang melawan terorisme akan terus menjadi "pertarungan terbesar" di Turki.
"Pada periode yang akan datang, pertarungan terbesar kami adalah melawan terorisme," kata Erdogan.
Erdogan, yang menekankan keberhasilan militer Turki di Jarabulus dan Afrin selama Operasi Perisai Eufrat dan Operasi Ranting Zaitun, mengatakan peningkatan jumlah pasukan komando dan pasukan khusus akan berkontribusi terhadap keberhasilan Turki dalam perang melawan terorisme.
"Kami akan memusnahkan terorisme dengan menginjak-injaknya sehingga bangsa ini menemukan kedamaian," janji Erdogan.
Pengamat Timur Tengah Yon Machmudi mengatakan terpilihnya Erdogan dalam sistem presidensial akan membawa langkah maju bagi Turki dalam pemberantasan terorisme.
Erdogan, kata Yon, tidak akan mengalami jalan berliku untuk menetapkan kebijakan keamanan ancaman terorisme sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.
“Turki akan leluasa untuk mengambil keputusan yang dianggap perlu dalam hal menyelesaikan persoalan-persoalan keamanan,” jelas Ketua Prodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia ini kepada Anadolu Agency, Selasa.
Salah satu tantangan itu datang dari kelompok teror PKK. Menurut Yon, Turki harus bisa menyampaikan secara tegas kepada AS untuk tidak main mata dengan PKK.
Sebab dukungan AS kepada PKK sangat mengganggu keamanan Turki.
“Amerika dan Turki saling bergantung dan tidak ada dominasi satu sama lain,” kata Yon. “Amerika harus menghargai sikap Turki dalam usaha untuk memerangi terorisme.”
Yon pun mengharapkan Turki bisa tetap menggandeng negara-negara Arab untuk melawan ancaman terorisme kawasan seperti Daesh.
Meskipun, kata Yon, respons Arab cenderung dingin ketika melihat Turki muncul sebagai kekuatan baru di Timur Tengah.
“Ini bisa dilakukan agar kawasan Timur Tengah menjadi lebih damai dan Turki jadi bagian penting di Timur Tengah,” jelas Yon.
Menteri Pertahanan Hulusi Akar sendiri berharap Turki terus melanjutkan hubungan baiknya dengan negara-negara tetangga.
"Kami ingin melanjutkan hidup dalam damai, makmur, dan aman dalam hubungan persahabatan yang harmonis dengan tetangga kami," kata Akar setelah disumpah di parlemen.
"Kami akan melanjutkan perjuangan kami dengan ambisi dan tekad untuk memastikan bahwa hak dan kepentingan bangsa kami tidak membahayakan."
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.