Analisis

Tak pernah mudah tentukan jumlah pemilih di Indonesia

Kunci akurasi harus ada integrasi data kependudukan sehingga tersedia sumber data yang akurat dan reliabel

Muhammad Nazarudin Latief  | 10.09.2018 - Update : 12.09.2018
Tak pernah mudah tentukan jumlah pemilih di Indonesia

Jakarta Raya

Muhammad Latief

JAKARTA

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu akhirnya menetapkan sebanyak 187 juta warga negara Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri berhak memberikan suara pada Pemilihan Presiden (pilpres) maupun pemilihan anggota legislatif (pileg) 2019 mendatang.

Namun karena Daftar Pemilih Tetap (DPT) ini belum sempurna, KPU diwajibkan untuk menyempurnakannya selama 10 hari ke depan. Lembaga independen ini harus menyisir nama-nama yang dianggap dicatat dua kali atau pemilih ganda dalam daftar tersebut seperti temuan sejumlah partai dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“DPT hasil perbaikan akan diumumkan ke publik pada 16 September,” ujar komisioner KPU Viryan Aziz, Rabu pekan lalu di Jakarta.

Menentukan pemilih di negara berpenduduk 265 juta jiwa, jumlah terbesar ke empat di dunia, ini tidak pernah mudah. KPU harus memastikan tiap warga negara yang sudah memenuhi syarat bisa mendapatkan hak pilihnya.

Penetapan DPT untuk Pemilu 2019 ini mendapat tantangan dari koalisi partai pengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mereka menyerahkan daftar 25 juta pemilih yang diduga dicatat dua kali (pemilih ganda) dari 137 juta pemilih pada Daftar Pemilih Sementara (DPS).

Karena dugaan itu, koalisi yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) meminta KPU tidak terburu-buru mengesahkan DPT. KPU disarankan melakukan pengecekan ulang dan memperbaikinya, baru setelah itu boleh disahkan.

Temuan Bawaslu kurang lebih sama. Setelah mencocokkan nama dan alamat pemilih seperti dalam data base Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan DPT, mereka menemukan pemilih ganda sebanyak 131.363 orang dari sampel 76 kabupaten/kota.

“Jumlah pemilih ganda tersebut menunjukkan tidak akuratnya data pemilih,” ujar Ketua BawasIu Abhan, pekan lalu.

"Jumlah DPT ganda bisa bertambah bisa berkurang kemungkinan. Mungkin DPT ganda pada 76 kabupaten bisa kurang tapi yang selebihnya dari 76 ke 514 (kabupaten atau kota) ini mungkin ada tambahan."

Bawaslu akan terus menyisir data pemilih ganda hingga ke 514 kota dan kabupaten di 34 provinsi dalam waktu 10 hari sejak ditetapkan. Selama lima hari Bawaslu akan mengecek data pemilih di kecamatan. Setelah itu 2 hari akan merekapitulasi hasil pengecekan di kota dan kabupaten.

Selalu jadi masalah

Direktur riset The Indonesia Institute (TII) Arfianto Purbolaksono mengungkapkan DPT selalu menjadi masalah pemilu dari waktu ke waktu. Dalam catatannya, DPT Pemilu 2009 bermasalah karena ada dugaan jumlah pemilih tidak terdaftar dan “pemilih siluman” yang mencapai 31 juta.

“Pemilih siluman” adalah sebutan untuk pemilih yang sudah meninggal, sudah lama pindah, belum berhak memilih, pemilih yang terdaftar daerah lain, dan pemilih yang sudah bekerja sebagai anggota TNI/Polri yang belum dihapus. TNI/Polri di Indonesia tidak mempunyai hak pilih dalam Pemilu.

Kemudian pada Pemilu dan Pipres 2014, Bawaslu mempermasalahkan data-data pemilih yang berubah drastis, dari data di tingkat DPT hingga pada sistem data informasi pemilih. Saat itu, jumlah calon pemilih dalam DPS (daftar pemilih sementara) sebanyak 187.977.268 orang namun dalam DPT berkurang menjadi 186.842.533 dan menjadi 186.351.165 setelah diolah dalam Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih).

Masalah dalam DPT ini sering kali menjadi dalil pasangan yang kalah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menyalahkan kesalahan pada DPT sebagai biang kekalahan pada kontestasi pilkada maupun pilpres. Sebagian besar gugatan ditolak oleh MK, yang artinya dalil kecurangan itu tidak terbukti. Sebagian dikabulkan yang artinya masalah DPT ini cukup signifikan hingga memengaruhi perolehan suara.

Pada Pilpres 2014, pasangan Prabowo Hatta saat menggugat kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) ke MK mendalilkan KPU melakukan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif dengan pengabaian Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) sebagai sumber penyusunan DPT.

Menurut mereka, ujung dari masalah ini adalah adanya manipulasi data DPT dan akhirnya berdampak sistemis hingga menimbulkan terjadinya kecurangan dalam Pilpres yang menguntungkan pasangan lawan.

Kasus terakhir, pada Pilkada serentak beberapa waktu lalu MK memerintahkan Pilkada ulang di Kabupaten Sampang Jawa Timur karena kejanggalan DPT. Menurut para hakim konstitusi, jumlah DPT yang ditetapkan oleh KPU Sampang tidak masuk akal, yaitu sebanyak 803.499 orang padahal jumlah penduduk kabupaten tersebut 844.872 orang. Ini artinya, 95 persen penduduk Sampang adalah orang dewasa yang berhak memilih. "Ini sulit diterima akal," ujar ketua MK Arief Hidayat dalam putusannya.

“Masalah daftar pemilih terjadi pada saat penyusunan daftar pemilih. Hal ini karena belum sinkronnya data KPU dengan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),” ujar Anto.

Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan DPT adalah legitimasi formal bagi pemilih agar bisa memberikan hak suaranya.

Jika namanya tercantum pada DPT, maka dia berhak memberikan suara, memilih salah satu kandidat dalam Pileg maupun Pilpres. Jika tidak, dia akan kesulitan memberikan suara. Sebenarnya, ada aturan yang mengizinkan pemegang KTP elektronik bisa memberikan suara meski tidak tercantum pada DPT.

Namun bagi partai politik, hal itu tidak tampak sesederhana itu. DPT juga menjadi acuan atau target konstituen untuk menyusun program-program kampanye khususnya yang bisa menggerakkan pemilih di wilayah tertentu, kata Titi. Sehingga, parpol akan kehilangan pedoman jika banyak nama konstituennya tak tercantum pada DPT.

Menurut Titi, partai politik berkepentingan agar semua basis konstituennya masuk dalam daftar tersebut, jika tidak berarti ada ancaman pengurangan suara.

Permasalahan pada DPT menurut Titi juga disikapi dengan politis. Menghilangnya atau berkurangnya pemilih pada suatu wilayah yang secara tradisional menjadi sumber dukungan partai tertentu dimaknai sebagai upaya sistematis mengurangi lumbung suara.

“Jadi kalau ada persoalan dalam DPT, ini selalu politis. Dikaitkan dengan upaya sistematik untuk mengalahkan kandidat atau partai tertentu,” ujar Titi.

Kekhawatiran soal kecurangan ini juga yang melatarbelakangi Sekjen PKS Mustafa Kamal melaporkan dugaan 25 juta pemilih ganda dalam DPS yang disusun oleh KPU. Menurut dia, angka 25 juta ini sangat besar mencapai 18 persen suara pemilih Pilpres, setara dengan 104 kursi di DPR.

DPT ganda dan suara palsu menurut Mustafa akan merusak kualitas Pemilu yang akan datang. Menurut dia di sinilah independensi, kejujuran dan keterbukaan KPU diuji, yaitu bagaimana respons mereka saat mendapat laporan tentang adanya potensi kecurangan.

Biang keladinya data kependudukan

Menurut Titi, menentukan DPT yang lengkap berdasarkan nama dan alamat pada negara berpenduduk 265 juta ini bukan persoalan sederhana, bahkan sungguh rumit. KPU harus memilih satu per satu dari jumlah tersebut penduduk memenuhi syarat agar memiliki hak pilih, misalnya sudah berumur setidaknya 17 tahun atau sudah menikah. Kemudian bukan anggota TNI/Polri dan tidak sedang dicabut hak pilihnya oleh pengadilan.

“Itu jumlah yang sangat besar. Amerika, India itu tidak punya data pemilih secanggih kita,” ujar dia.

Perumusan ini bertambah rumit karena KU bukanlah institusi tunggal yang menyusun DPT dari hulu hingga hilir. KPU harus mendapatkan data dari institusi lain dalam hal ini pemerintah untuk “dimutakhirkan”, sehingga tidak ada seorang warga pun yang kehilangan hak pilihnya atau orang yang tidak berhak malah mendapatkan hak pilih atau seorang warga terdaftar beberapa kali.

“Pemutakhiran data oleh KPU itu bergantung dari sumber data pemerintah yang hingga saat ini belum terintegrasi secara optimal,” ujar Titi.

Belum lagi soal data pemilih sektoral, misalnya para penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang datanya juga belum terkelola dengan baik, pekerja migran dan penyandang disabilitas.

Selain itu, ada kebiasaan tidak baik di masyarakat yang hanya tertib melaporkan kelahiran. Namun jika ada kepindahan, kematian atau pergantian profesi, warga agak enggan melapor.

Akibatnya dalam DPR, ada warga yang sudah meninggal tapi tercatat masih hidup atau ada warga yang tercatat di dua tempat berbeda atau warga.

“Padahal KPU tidak boleh tergesa-gesa menghapus data pemilih, karena berisiko menghilangkah hak pilih.”

Baik Titi maupun Afrianto sepakat harus ada perbaikan pada sistem data kependudukan. Situasi saat ini, kata mereka pun sudah jauh lebih baik dengan perekaman KTP elektronik, meski belum merata pencetakannya.

Selain itu, harus ada partisipasi dari partai politik maupun masyarakat saat KPU sedang melakukan coklit (pencocokan dan penelitian) Data Pemilih Sementara (DCS) ke rumah-rumah penduduk.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.