Budaya, Analisis, Nasional

REPORTASE: Aspirasi Papua menjelang otonomi khusus berakhir

Dana otonomi khusus Papua belum benar-benar dirasakan rakyat di level bawah, pembangunan jalan kampung dan komunitas desa masih mengandalkan dana desa

Hayati Nupus  | 19.09.2019 - Update : 25.09.2019
REPORTASE: Aspirasi Papua menjelang otonomi khusus berakhir Kantor Majelis Rakyat Papua tampak porak poranda setelah dibakar massa di Kotaraja, Jayapura, Papua, pada Sabtu, 7 September 2019. Ribuan massa demonstrasi pada 29 Agustus 2019 yang menentang rasialisme berujung kerusuhan dan aksi vandalisme dengan membakar gedung pemerintah dan pertokoan. (Hayati Nupus-Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAYAPURA

Selepas demonstrasi massal berbuntut kerusuhan, Papua mulai berbenah. Setidaknya dilihat dari kota Jayapura, Papua, dan daerah sekitarnya.

Seperti disaksikan Anadolu Agency awal September lalu, aktivitas warga kembali hidup. Mama-mama kembali menggelar lapak di pasar, siswa kembali bersekolah dan warga Jayapura kembali bekerja.

Namun beberapa gedung dan fasilitas publik yang dibakar tidak bisa menyembunyikan bekas-bekas kerusuhan hebat di sini.

Gedung Bea Cukai, gedung Komisi Pemilihan Umum Daerah, kantor Telkom dan komplek pertokoan tampak berjelaga setelah dibakar massa.

Bahkan kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di kawasan Kota Raja, Jayapura, ikut menjadi sasaran.

Kantor perwakilan tokoh adat dan suku-suku di Papua itu nyaris rata dengan tanah, hanya tersisa tembok di sekelilingnya. Seisi gedung itu ludes terbakar.

Alat berat mulai membersihkan puing-puing pertokoan yang terbakar. Namun, dua bangkai mobil yang menjadi puing masih dibiarkan mangkrak di depan kantor Bea Cukai Provinsi Papua di Jayapura.

Kerusuhan di Papua meledak pada pertengahan Agustus, sebagai reaksi atas umpatan rasial terhadap mahasiswa asal tanah Papua yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, seminggu sebelumnya. Selain Jayapura, demonstrasi yang berujung kerusuhan juga meletus di beberapa daerah di Papua dan Papua Barat.

Presiden Joko Widodo telah bertemu dengan 61 tokoh asal Papua, di Istana Negara, Jakarta pada 10 September lalu, guna menyerap aspirasi.

Namun pertemuan itu mendapatkan reaksi beragam. Gubernur Papua Lukas Enembe, seperti cukup ramai diberitakan, menyatakan 61 orang warga Papua tersebut tidak mewakili masyarakat Papua.

Aspirasi rakyat Papua memang sangat penting digali oleh pemerintah pusat. Bukan saja karena kerusuhan mudah meletup, namun karena Jakarta sebagai pemerintah pusat memiliki kontrak politik dengan Papua dalam kerangka otonomi khusus sejak 2001.

Dan 'kontrak politik' itu akan berakhir dua tahun lagi, pada 2021, berdasarkan UU tentang Otonomi Khusus Papua.

Apakah warga Papua masih menginginkan skema otonomi khusus? Apakah otonomi khusus itu membawa banyak perbaikan bagi rakyat Papua? Di sinilah penting diketahui aspirasi dan kesaksian warga Papua.

Berakhirnya otonomi khusus akan berimplikasi pada terhentinya dana otsus sebesar triliunan rupiah yang mengalir ke tanah Papua setiap tahun.

Otonomi khusus berlaku di Papua sejak 2002 berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Kemudian disusul otsus untuk Papua Barat tahun 2008, bersamaan dengan otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Menyusul kebijakan itu, Indonesia mengalokasikan dana otonomi khusus kepada Papua dan Papua Barat yang harus digunakan untuk pembangunan bidang kesehatan minimal 30 persen dan bidang pendidikan sebesar 15 persen.

Selain dana tersebut, Papua dan Papua Barat mendapatkan dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, dana otonomi khusus (Otsus) untuk Papua dan Papua Barat dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 sebesar Rp28,8 triliun. Selain itu, sejak 2015 sampai 2020 (RAPBN), Pemerintah Pusat mengalokasikan dana Otsus hingga Rp46,69 triliun, mengutip data dari Katadata.

Total dana Otsus Papua dan Papua Barat sejak 2002 hingga 2019 mencapai Rp75,49 triliun (USD5,3 miliar).

Setiap tahun dana Otsus yang dinikmati Papua sekitar Rp5 triliun, sedangkan Papua Barat (sejak 2008) menikmati sekitar Rp2,5 triliun, tidak termasuk dana tambahan infrastruktur sekitar Rp1 triliun.

Mengejar ketertinggalan dengan otonomi khusus

Meski telah berlangsung belasan tahun, hasil otonomi khusus belum memuaskan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib.

Timotius belum merasa lega sepenuhnya. Sebab pembangunan sumber daya manusia Papua masih jauh tertinggal.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua versi Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 hanya 60,06, menempati peringkat terbawah sekaligus jauh tertinggal ketimbang wilayah lainnya.

Sedangkan IPM Papua Barat versi BPS pada 2018 sebesar 63,74.

IPM Papua dan Papua Barat jauh di bawah Jakarta yang mencapai 80,47, atau Jogyakarta yang sebesar 79,53.

“Beasiswa putra daerah sudah dikucurkan, namun IPM kita masih terburuk se-Indonesia,” keluh Timotius kepada Anadolu Agency di Jayapura, Papua, beberapa waktu lalu.

Pasalnya, meski Otonomi Khusus telah berlaku selama 18 tahun di Papua, masih ada sederet agenda besar yang belum rampung hingga sekarang, kata Timotius.

Di antaranya, pembangunan sumber daya manusia (SDM) Papua. Dia berharap pembangunan SDM warga Papua tak hanya menyoal intelektualitas namun sekaligus pengembangan moral.

Timotius mengatakan ada banyak orang Papua yang memperoleh beasiswa pendidikan ke luar daerah dari dana otonomi khusus, itu namun begitu lulus dan menjadi pejabat, dia ikut-ikutan korupsi.

“Intelek tapi moralnya tidak bagus, dia tidak akan melihat pembangunan secara utuh,” kata Timotius.

Dia menilai anak-anak Papua yang sedang belajar perlu dikenalkan dengan pola kehidupan asrama, agar intelektual sekaligus moral mereka berkembang lebih baik.

Soal ekonomi, Timotius mengusulkan perlunya membangun perekonomian terintegrasi di Papua, dari sektor alam dan pertambangan hingga non pertambangan, dari hulu ke hilir. Perlu pengembangan klaster usaha pertanian dan peternakan sesuai potensi daerah masing-masing. 

“Warga dapat berkebun, beternak, kemudian perusahaan datang menyerap produknya. Kalau sekarang, sekian ribu pegawai Freeport makan dari perusahaannya orang Jakarta. Sekian ribu telur, kacang, didatangkan dari luar Papua,” urai Timotius.

MRP adalah institusi yang dibentuk berdasarkan aturan otonomi khusus. MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua dengan kewenangan memberikan perlindungan hak sesuai adat-budaya, pemberdayaan perempuan, dan kerukunan beragama.

Lain lagi penuturan Walikota Jayapura Benhur Tommy Mano. Benhur merasakan betul manfaat otonomi khusus. Sudah lebih dari 150 putra Kota Jayapura memperoleh beasiswa yang didanai dari dana otonomi khusus.

Empat di antaranya bahkan memperoleh beasiswa studi di Universitas Satyawacana, Jawa Tengah, dan salah satu kampus di Amerika.

“Keempatnya sudah selesai studi,” kata Benhur, bangga.

Dengan dana otonomi khusus, lanjut Benhur, Pemerintah Kota Jayapura dapat mengerahkan dokter spesialis ke 13 Puskesmas.

Juga mengucurkan dana stimulan bagi orang asli Papua untuk mengembangkan usaha seperti ikan asap, roti dan buah-buahan.

“Maka kami berharap dana Otsus terus berlanjut, Jayapura masih perlu,” kata Benhur.

Sedangkan Bupati Merauke Frederikus Gebze berpendapat, otonomi khusus memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi orang asli Papua untuk mengembangkan diri.

Salah satunya lewat jalur politik. Sejauh ini, lanjut Gebze, posisi gubernur, bupati dan sejumlah jabatan strategis sudah diampu oleh orang asli Papua. Meski posisi wakil bupati dan walikota dapat diisi oleh pendatang.

Sayangnya, kata Gebze, kebijakan afirmasi itu tak berlaku untuk posisi anggota legislatif. “Hasil Pileg kemarin lebih dari 28 yang lolos adalah saudara kita [pendatang].”

Gebze mengakui, butuh waktu yang panjang untuk mengembangkan keahlian orang asli Papua untuk mengejar ketertinggalan.

Gebze menyerahkan keberlanjutan otonomi khusus Papua kepada Pemerintah Pusat. Namun dia berharap kebijakan itu tetap berlanjut, dengan program pembangunan yang lebih baik.

“Untuk menepis kesenjangan dan ketidakadilan. Akumulasi ketidakadilan itulah yang memicu demonstrasi besar-besaran di Papua dan Manokwari,” kata Gebze.


Pembangunan belum sampai ke bawah

Sementara Kepala Suku La Pago Jayawijaya, Yesaya Kenelang, mengkritisi bahwa dana otonomi khusus di Papua amat besar namun hanya mengalir ke kantong segelintir elite.

“Tidak sampai ke masyarakat di pelosok, mereka mengeluh, makanya terlontar untuk merdeka,” kata Yesaya.

Bantuan yang terasa hingga masyarakat di belahan pegunungan Papua, ujar Yesaya, justru dari program Dana Desa.

Bersumber dari bantuan itu, warga membangun jalan kampung, membangun rumah sehat, dan komunitas usaha seperti ternak babi, ayam, atau perkebunan.

Aktivis Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia Habelino Sawaki mengatakan kesenjangan struktur ekonomi, sosial dan politik menjadi pemicu konflik di Papua, termasuk dengan adanya gerakan separatisme.

Protes besar-besar terhadap umpatan rasisme yang muncul di Surabaya, hanya sebagai pemicu dari masalah kesenjangan dan marjinalisasi itu.

Habelino menilai banyak persoalan belum juga tuntas menjelang berakhirnya kebijakan Otsus.

Habelino mengatakan, orang Papua jauh tertinggal ketimbang suku lain di Indonesia di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Tak heran bila sektor perekonomian di Papua, lanjut Habelino, banyak dikuasai oleh pendatang dari Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.

“Kalau tidak ada afirmasi, orang Papua tidak akan berkembang dan maju dari non-Papua yang sudah maju sejak lama,” kata dia.

Selain itu, lanjut Habelino, ada sederet poin dalam UU Otonomi Khusus Papua yang perlu dibenahi. Salah satunya soal tak adanya instrumen penggunaan dana.

Kekosongan aturan ini membuat dana Otsus rawan dikorupsi dan akhirnya pembangunan Papua lewat kebijakan afirmasi gagal.

“Ini orang Jakarta kasih Otsus tapi menjebak kita, karena tak ada instrumen penggunaan dana, ini menjadi rawan,” kata dia.

Habelino juga menekankan perlunya merumuskan bagaimana menciptakan konektivitas antara UU Otonomi khusus dengan UU yang ada di Papua, yaitu Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi).

Jika mengikuti logika hukum, ketika UU otonomi khusus disahkan, artinya seluruh aturan lain yang berlaku terkait Papua menjadi lex general atau tidak mengikat, kecuali soal keuangan, keagamaan dan militer.

“Begitu disahkan, UU ini adalah al-Quran dan al-Kitab bagi Papua, aturan lain harus dikesampingkan,” kata dia.

Membangun Papua memang membutuhkan upaya yang besar. Apalah artinya jika pemerintah pusat memberikan Otonomi khusus, namun kebijakan itu sekadar untuk menyenangkan sebagian elit Papua.

Tantangannya, bagaimana Otsus benar-benar dirasakan dampaknya oleh masyarakat Papua di tingkat paling bawah, seperti dikatakan Kepala Suku La Pago, Jayawijaya.


* Umar Idris berkontribusi dalam tulisan ini

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.