Analisis, Nasional

Rencana revisi UU TNI demi lowongan kerja bagi perwira tuai kontroversi

Menurut Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, sekitar 500 perwira menengah dan 150 perwira tinggi saat ini masih menganggur

Erric Permana  | 12.02.2019 - Update : 13.02.2019
Rencana revisi UU TNI demi lowongan kerja bagi perwira tuai kontroversi Pasukan Angkatan Darat Indonesia sedang berbaris dalam acara ulang tahun TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke-72 pada 5 Oktober 2017 di Banda Aceh, Aceh, Indonesia. Ulang tahun TNI ke-72 adalah acara terbesar yang menunjukkan alat utama sistem persenjataan angkatan laut, darat dan udara. ( Junaidi Hanafiah - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

Erric Permana

JAKARTA 

Pada pekan lalu, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto menyatakan niatnya untuk merevisi UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Bagian yang akan direvisi salah satunya yakni pasal 47 yang mengatur mengenai jabatan sipil di kementerian/lembaga yang bisa diisi oleh perwira tinggi TNI aktif.

Pasal ini menjelaskan mengenai TNI wajib mengundurkan diri dari TNI atau pensiun dari dinas untuk bisa menduduki jabatan sipil.

Pasal itu juga mengatur mengenai kementerian/lembaga yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif, seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan SAR Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Selain itu, pasal lain yang akan direvisi dalam UU tersebut juga menyangkut perpanjangan batas usia pensiun anggota TNI setingkat Tamtama dan Bintara dari 53 tahun menjadi 58 tahun.

Rencana revisi pasal 47 tersebut dilakukan, kata Panglima TNI, agar permasalahan banyaknya perwira tinggi menganggur bisa diatasi.

Menurut Hadi ada sekitar 500 perwira menengah dan 150 perwira tinggi yang saat ini masih menganggur.

"Kita menginginkan lembaga kementerian yang bisa diduduki TNI aktif itu eselon satu dan dua tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya. Sehingga Kolonel bisa masuk di sana," ujar Panglima TNI.

Dia mengharapkan revisi UU tersebut dapat menyerap perwira menengah dan tinggi yang saat ini tidak memiliki jabatan.

Namun, wacana revisi itu menuai kontroversi, khususnya dari kalangan pegiat HAM.

Potensi Peran Ganda TNI

Pegiat HAM menilai revisi tersebut berpotensi mengembalikan peran ganda TNI seperti pada era Orde Baru.

Pada saat itu, TNI bisa menduduki jabatan sipil serta mengendalikan politik.

Komisioner Komnas HAM Chairul Anam menilai rencana revisi UU TNI tidak sejalan dengan amanat reformasi 1998.

"Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil berpotensi mengembalikan fungsi kekaryaan TNI, yang dulu berasal dari doktrin dwifungsi,” ujar Chairul Anam melalui keterangan resminya.

Anam menambahkan peran ganda tersebut telah dihapus di awal reformasi dengan tujuan mengembalikan profesionalitas TNI sebagai aparat pertahanan negara.

Dia menilai upaya mengembalikan TNI aktif kurang relevan dalam perkembangan sistem demokrasi yang telah berjalan.

Bahkan, kata Anam, dapat dinilai kemunduran dalam upaya negara melaksanakan reformasi.

Upaya untuk melakukan revisi UU TNI untuk memberikan ruang legal juga dinilai kurang tepat dengan amanat reformasi TNI, kata dia.

"Ini akan mengganggu upaya membangun TNI profersional dan memastikan sistem negara demokratis berdasar hukum dan HAM," jelas Anam.

Dalam konteks lain, kata dia, juga akan membuat masalah serius terkait penegakan hukum.

Apalagi jika anggota TNI aktif tersebut ditempatkan pada jabatan sipil dan melakukan tindak pidana.

"Pasti akan terjadi tarik menarik yurisdiksi antara peradilan militer dan umum, bahkan penerapan koneksitas pun akan mengalami masalah," jelas dia

Tidak hanya Komnas HAM, LSM HAM Imparsial menilai rencana penempatan militer aktif pada jabatan sipil melalui revisi UU TNI tidak tepat.

Senada dengan Anam, Direktur Imparsia Al Araf mengatakan penempatan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI yang sudah dihapus sejak reformasi.

"Hal ini tentu tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan dapat mengganggu tata sistem pemerintahan yang demokratis," kata dia.

Reformasi TNI mensyaratkan militer tidak lagi berpolitik dan salah satu cerminnya adalah militer aktif tidak lagi menduduki jabatan politik seperti di DPR, Gubernur, Bupati, jabatan di kementerian dan lainnya, kata dia.

Sejak UU TNI disahkan kata Al Araf, militer aktif hanya menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti kementerian pertahanan, kementerian politik, hukum dan intelijen negara dan lainnya, yang diatur dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI.

Dalam konteks itu, kata Al Araf, rencana perluasan agar militer aktif bisa menduduki jabatan di kementerian lain perlu dikaji dan dipertimbangkan.

"Jangan sampai hal itu tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan mengembalikan fungsi kekaryaan yang sudah dihapus," jelas dia.

Dalam konteks kependidikan, Al Araf menyarankan agar prajurit yang masuk Sekolah Staf dan Komando (Sesko TNI) dibatasi.

“Harus benar-benar jumlahnya, jangan sampai menimbulkan penumpukan di perwira menengah dan jenderal,” jelas dia.

TNI juga harus mengedepankan sistem merit dalam mempromosikan jabatan seorang perwira, kata dia.

“Naiknya jabatan perwira itu harus berbasis kompetensi, jangan karena pengaruh politik atau sebagainya,” kata Al Araf.

Sementara opsi keempat adalah memperluas jabatan fungsi khusus tempur seperti di Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat) ketimbang wacana menempatkan militer aktif di jabatan-jabatan sipil.

Selain itu kata di opsi lain yang berkembang, yakni memensiunkan dini sejumlah perwira menengah TNI.

Mereka yang terpilih nantinya kata dia bisa mengikuti program penyesuaian di beberapa kementerian untuk nantinya menduduki jabatan tertentu

“Tapi ini bisa masalah, pertama mereka mau atau tidak, kedua jabatannya lebih menggiurkan atau tidak. Namun ini perlu dipikirkan,” ujar dia.

Berbeda dengan pegiat HAM, Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie menilai rencana Panglima TNI itu tidak berhubungan dengan dwifungsi TNI seperti yang terjadi pada era Orde Baru.

"Tidak ada hubungannya sama sekali dengan dwifungsi tetapi hubungannya dengan kekaryaan TNI di ranah sipil," kata Connie.

Connie yakin Panglima TNI akan menempatkan anggota dengan keahlian yang berkaitan dengan kementerian/lembaga yang dituju dan memiliki rekam jejak yang jelas.

"Kalau di TNI track record seseorang jelas, pendidikan, karakter, pribadi itu jelas jadi jangan dianggap si A ditaruh di tempat yang tidak ada hubungannya saya rasa panglima dan jajarannya tidak bodoh dan tidak seteledor itu," tambah dia.

Dia heran mengenai penolakan wacana revisi UU TNI itu.

Padahal, kata dia, jumlah politisi di kementerian/lembaga lebih banyak dibandingkan TNI.

"Ketika partai apa pun itu mengacak-acak kementerian lembaga kenapa TNI yang punya pengalaman pendidikan, organisasi, kepemimpinan malah diragukan masuk K/L terkait," tambah dia.

Meski setuju, Connie memberikan catatan kepada TNI.

Sebaiknya, kata dia, TNI yang bertugas di kementerian/lembaga dan masih berkaitan dengan TNI/Polri untuk tidak mengundurkan diri dari dinas aktif.

"Misalnya berkaitan dengan bencana, Doni Munardo, beliau kalau ada apa-apa pasti akan berhubungan TNI tersebut untuk bantuan. Nah jabatan seperti beliau tidak boleh lepas TNI-nya supaya jelas garis komandonya," jelas dia.

Sementara untuk TNI yang bertugas di kementerian/lembaga tidak berkaitan dengan TNI/Polri untuk mengundurkan diri dari dinas aktif

"Tapi jika TNI bertugas di kementerian/lembaga tidak banyak terlibat dengan hubungan TNI Polri ya sudah jadi sipil saja. Ada konsekuensi saja agar tidak ada kecurigaan kepada masyarakat," jelas dia.

Dia menyarankan beberapa hal jika wacana untuk merevisi UU itu ditolak, seperti menaikkan strata satuan di semua matra serta membangun TNI yang profesional dengan menyediakan alutsista yang mencukupi.

Tetapi, kata dia, cara tersebut membutuhkan infrastruktur dan anggaran yang cukup tinggi.

"Kalau mau TNI profesional bangun tentara profesional tapi sangat mahal. Kalau paranoid dengan dwifungsi, bikin saja tentara dengan mainan yang cukup dengan tugas yang jelas," tambah dia.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Abdul Haris Al Anzhori tidak mau mengomentari wacana Panglima TNI itu.

Politisi PKS ini menegaskan hingga saat ini revisi UU TNI tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019 ataupun menjadi prioritas parlemen.

Dia juga menyatakan hingga saat ini belum ada surat dari pemerintah mengenai permintaan untuk merevisi UU itu.

"Saya tidak mau berpolemik," pungkas dia.

Bantah dwifungsi

Protes para pegiat HAM yang menyebut kembalinya dwifungsi itu pun ramai-ramai dibantah oleh pemerintah dan TNI.

TNI menegaskan rencananya merevisi UU nomor 34 tentang TNI dengan memberikan jabatan kepada anggotanya di kementerian/lembaga tidak untuk menghidupkan kembali dwifungsi atau peran ganda Angkatan Bersenjata RI.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Sisriadi mengatakan jabatan yang diberikan kepada perwira tinggi TNI di kementerian/lembaga tersebut tidak berkaitan dengan jabatan ataupun peran dalam ranah politik.

Menurut dia, jabatan yang akan diisi oleh perwira tersebut merupakan jabatan yang berkaitan dalam ranah sosial untuk membantu masyarakat.

"Dwifungsi jadi masuk ke ranah politik tapi kalo di ranah sosial tidak salah kan misalnya Babinsa mengajar, Babinsa ikut bantu petani boleh disalahkan?" jelas Sisriadi di Jakarta.

Dia menyebut rencana tersebut telah bergulir sejak lama, tetapi sering kali menimbulkan polemik.

Posisi yang membutuhkan perwira TNI pun merupakan permintaan dari kementerian/lembaga karena kapasitas dan kemampuan perwiranya, kata dia.

Dia mencontohkan Badan Keamanan Laut selama ini menggunakan Peraturan Presiden untuk menjadikan perwira tinggi TNI sebagai pemimpin institusi itu.

Kepala Staf Kantor Presiden Moeldoko membantah mengenai dwifungsi itu.

Menurut dia, penambahan jabatan untuk perwira di kementerian/lembaga tidak berkaitan dengan sosial dan politik.

"Jadi pandangan tentang kembali pada dwifungsi itu pandangan kurang tepat. Jadi jangan hanya komentar tapi dilihat dulu referensinya," tegas Moeldoko.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın