
Jakarta Raya
JAKARTA
Belum lama ini dalam video sidang kabinet paripurna pada 18 Juni lalu, Presiden Joko Widodo menunjukkan amarahnya di hadapan para menteri kabinet dan pimpinan lembaga negara.
Video berdurasi 10 menit itu, baru dirilis oleh Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden pada 28 Juni lalu dengan alasan rapat tertutup itu berisi pidato yang penting dan perlu diketahui masyarakat.
Dalam video itu, Jokowi -- sapaan akrab Presiden Joko Widodo -- menunjukkan kekecewaannya terhadap sebagian menterinya yang dinilai tidak punya 'sense of crisis' dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19.
"Saya lihat, masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ, ini apa tidak punya perasaan? Suasana ini krisis," tegas Jokowi dalam rapat yang dihadiri oleh seluruh Menteri Kabinet Indonesia Maju.
Salah satu indikatornya ialah pencairan anggaran di kementerian yang masih sangat kecil, sehingga Jokowi menilai sang menteri, sebagai kuasa anggaran di kementerian, tidak punya ‘sense of crisis’.
Anggaran sektor kesehatan sebesar Rp75 triliun baru dicairkan sekitar 1,35 persen atau Rp1,01 triliun.
"Pembayaran tunjangan untuk dokter, dokter spesialis, untuk tenaga medis, segera keluarkan. Belanja untuk peralatan segera keluarkan ini sudah disediakan Rp75 triliun seperti itu," kata dia.
Selain anggaran kementerian kesehatan, Jokowi juga menyebut pencairan anggaran Kementerian Sosial masih kecil.
Kementerian Sosial menjadi komandan pelaksana program jaring pengaman sosial. Mengutip data Kementerian Keuangan per 19 Juni, dari anggaran jaring pengaman sosial sebesar Rp172 triliun, baru terealisasi Rp59,77 triliun atau sebesar 34,75 persen.
Meski sudah di atas 30 persen, presiden Jokowi ingin pencairan anggaran tersebut mendekati 100 persen, seperti disampaikan pada pidatonya di rapat kabinet.
"Meskipun sudah lumayan, tapi baru lumayan. Ini extraordinary, harusnya 100 persen," tegas Jokowi.
Dia juga meminta stimulus ekonomi untuk membantu usaha kecil dan mikro segera dirilis. "Jangan biarkan mereka mati dulu baru kita bantu, nggak ada artinya," jelas dia.
Meski tidak secara tegas menyebut Kementerian Koperasi dan UMKM, namun ujaran presiden agar UMKM tidak dibiarkan mati telah berulangkali disampaikan di depan publik.
Anggaran Covid-19 macet
Dari riset Anadolu dan wawancara sejumlah narasumber, kecilnya pencairan anggaran tidak hanya terjadi di dua kementerian tersebut.
Mengutip data Kementerian Keuangan per 19 Juni 2020, anggaran Padat Karya yang dijalankan oleh empat kementerian masih seret. Dari total anggaran Rp18,56 triliun, baru dicairkan sebesar Rp3,88 triliun atau hanya 20,9 persen.
Empat kementerian yang menjalankan program padat karya semasa pandemi Covid-19 ialah Kementerian Pekerjaan Umum (Rp11,21 triliun), Kementerian Perhubungan (Rp6,08 triliun), Kementerian Pertanian (Rp1,25 triliun), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Rp15,73 miliar).
Berdasarkan penelusuran Anadolu, anggaran lain yang masih macet ialah pencairan program subsidi bunga kredit. Program senilai Rp35 triliun untuk membantu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terimbas Covid-19 itu masih terhambat dengan belum terbitnya petunjuk teknis atau juknis, menurut seorang pemilik Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang dihubungi Anadolu Agency, Rabu.
Para pelaku industri keuangan, seperti perusahaan pembiayaan dan BPR, membutuhkan kepastian teknis yang seharusnya diatur di dalam juknis. Soal teknis, antara lain, siapa mengajukan subsidi bunga kredit, apakah perusahaan atau nasabah; pengajuan subsidi ditujukan ke mana, apakah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, ataukah Kementerian Koperasi dan UMKM; dan jalur teknis pengajuan untuk nasabah perusahaan dan individu.
Pemilik BPR dan asosiasi pembiayaan mengatakan, pernah ada sosialisasi oleh OJK, namun masalah juknis ini tak kunjung mendapat jawaban. “Kami hanya ditanya siapa saja nasabah yang akan mengajukan subsidi bunga kredit,” kata seorang pemilik BPR, kepada Anadolu, tanpa mau ditulis identitasnya.
Dana program subsidi bunga kredit juga sulit dimanfaatkan karena persyaratannya cukup sulit. Antara lain, bank harus membukakan rekening virtual account di bank umum agar dana dari pemerintah diterima langsung oleh nasabah.
Akibat belum adanya petunjuk teknis, sebuah bank pelat merah, bahkan mengenakan double bunga kepada nasabah kredit usaha rakyat (KUR) yang ingin mendapatkan subsidi bunga kredit. Nasabah diberikan penundaan pembayaran cicilan selama enam bulan, sejak April hingga September.
Namun selama penundaan itu, nasabah diminta untuk membayar bunga saja. Setelah penundaan berakhir pada September 2020, mulai Oktober 2020, nasabah diminta membayar pokok sekaligus bunga seperti sediakala, ketika belum terjadi pandemi Covid-19.
Menteri sudah sering ditegur
Dalam pidato tersebut, Presiden Jokowi mengatakan tak akan segan-segan mengganti atau reshuffle menteri yang dinilai tidak cukup maksimal bekerja selama pandemi Covid-19. Spekulasi pun tertuju kepada menteri kesehatan, menteri sosial, dan menteri koperasi dan UMKM.
Menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Presiden Joko Widodo telah berulangkali menegur menteri yang terkait langsung dengan penanganan Covid-19.
"Makannya penekanan saat ini [pada rapat sidang kabinet paripruna] lebih keras," kata Moeldoko di kantornya pada Senin.
Moeldoko mengakui ada sejumlah kementerian yang menjadi perhatian Jokowi.
"Memang kita dialami ada persoalaan di bidang kesehatan yang perlu dikomunikasikan. Sinergi BPJS, Pemda dan Menteri Kesehatan. Kedua, persoalaan pendataan para tenaga medis karena ini tidak boleh salah sasaran. Ketiga, soal regulasi yang lama," tambah Moeldoko.
Selain itu kata Moeldoko, permasalahan bantuan sosial dan stimulus ekonomi ke usaha kecil dan menengah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo.
Mengenai ancaman reshuffle, Moeldoko tidak menampiknya. “Presiden Joko Widodo bisa mengambil resiko apapun,” kata dia.
Tanggapan beragam
Pengamat politik Djayadi Hanan menilai, kegusaran presiden di dalam rapat kabinet yang diunggah melalui video resmi menunjukkan presiden sedang menerapkan strategi “going public”.
Tujuannya ialah memperoleh dukungan publik yang luas sekaligus untuk melihat reaksi publik terhadap substansi dan implikasi dari isi video itu.
Djayadi menilai, ada dua makna yang ingin disampaikan presiden dari video itu. Pertama, presiden ingin menunjukkan ke publik bahwa dia bekerja keras, dan tantangan yang dia hadapi bukan hanya badai Covid-19, tapi juga dia mengalami kesulitan dengan tim nya sendiri.
“Ini penting disampaikan karena setelah empat bulan, sejak Maret, belum ada kemajuan berarti dalam masalah kesehatan dan masalah ekonomi. Laporan kasus positif covid 19 terus melonjak,” kata Djayadi kepada Anadolu.
Catatan Anadolu, sejak 23 Juni, kasus Covid-19 secara harian perlahan naik di atas 1.000 kasus dan mencapai puncaknya pada 27 Juni sebesar 1.385 kasus.
Pada Rabu ini, kasus harian kembali melonjak sebesar 1.385 kasus, sehingga total kasus menjadi 57.770 sejak diumumkan pada 2 Maret lalu.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menganggap amarah yang diumbar bukan merupakan hal yang dibutuhkan publik saat ini.
Menurut Arya, masyarakat saat ini hanya membutuhkan bagaimana efektivitas program dan juga pencapaian apa yang sudah berhasil dilakukan pemerintah.
"Kalau tidak perform tinggal reshuffle, tidak ada siginifikansinya diumbar ke publik, gak ada pentingnya juga," ujar Arya Fernandes, kepada Anadolu Agency melalui sambungan telepon pada Selasa.
Arya menilai, dengan dibukanya video rapat kabinet, isu reshuffle secara langsung menyeruak ke masyarakat.
Namun bagi Arya, jika presiden akan mengganti menteri, langkah tersebut tidak tepat dalam kondisi pandemi sekarang. Kinerja menteri semakin tidak maksimal, dan partai politik akan mengamankan posisi menterinya di kabinet.
"Manuver saling sikut itu akan terjadi," kata Arya.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor mengatakan, kemarahan presiden yang diunggah dalam video menunjukkan koalisi partai politik di kabinet belum efektif, karena menteri yang ada tidak memiliki kinerja yang memuaskan, bagi Jokowi sendiri maupun masyarakat.
“Dan presiden yang memarahi menteri, belum tentu akan membuat menterinya memiliki kinerja lebih baik,” kata Firman kepada Anadolu Agency.
Bagi presiden, kata Firman, video rapat tersebut diunggah untuk menunjukkan Presiden Jokowi memiliki perhatian penuh dalam penanganan Covid-19.
“Namun masyarakat sekarang telah pintar, mereka sudah sangat well-informed, sehingga diam-diam sudah memiliki kesimpulan sendiri,” kata Firman.
Firman mengatakan, presiden dan timnya serta para menterinya harus segera memperbaiki kinerjanya. Bagi presiden sendiri, perlu memberikan guidance yang lebih jelas kepada para menterinya agar program-program dapat berjalan lebih cepat.
“Masalahnya juga guidance yang diberikan selama tidak komperhensif,” kata Firman.
Senada dengan Firman, dosen politik Universitas Islam Negeri (UIN) yang juga kandidat doktor ilmu politik dan kebijakan publik Universitas Queensland Australia, Faisal Nurdin mengatakan terhambatnya penanganan Covid-19 di Indonesia karena lemahnya implementasi kebijakan di tingkat pusat dan daerah.
“Implementasi kebijakan terhambat oleh lemahnya operasional kebijakan pada level pengambilan kebijakan dan level teknis, Bahasa operasionalnya masih belum sama,” kata Faisal kepada Anadolu.
Selain itu, faktor penghambat lainnya ialah belum sinkronnya implementasi kebijakan antar kementerian dan lembaga pemerintah, dan lemahnya koordinasi antara gugus tugas Covid-19 dengan pelaksana teknis.
Singkatnya, kata Faisal, presiden tidak cukup hanya menekankan sisi peraturan saja untuk melakukan akselerasi dalam manajemen penanganan krisis.
“Presiden harus tegas menginstruksikan para menteri dan kepala daerah untuk mengimplementasi dengan bahasa operasional yang lebih jelas untuk mendobrak birokrasi yang rumit di pusat dan daerah,” tambah Faisal.
Meski penanganan Covid-19 di Indonesia masih mendapatkan sorotan luas, karena kasus baru masih tinggi, popularitas Presiden Jokowi masih aman.
Menurut Djayadi Hanan, dalam berbagai survei, tingkat kepuasan publik dan kepercayaan kepada presiden masih tinggi, masih di atas 67 persen.
“Jadi dukungan kepada presiden masih cukup besar,” kata Djayadi.