Analisis, Nasional

Polusi hoaks di tengah gerakan vaksinasi korona

Ada 3 golongan penyebar berita bohong; kelompok anti-vaksin berlatar agama, orang-orang yang punya bias anti Cina atau anti Barat, dan mereka yang percaya teori konspirasi

Ika Ningtyas  | 25.01.2021 - Update : 03.02.2021
Polusi hoaks di tengah gerakan vaksinasi korona Seorang pekerja kesehatan menujukkan vaksin Covid-19 Sinovac di Puskesmas, di Pekanbaru, Riau, Indonesia pada 14 Januari 2021. (Dedy Sutisna - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

BANYUWANGI

Yenny Octawangi makin bimbang setelah mendapat terusan informasi di nomor Whatsappnya, pertengahan Januari lalu. 

Pesan tersebut berisi kabar tentang vaksin Covid-19 yang mengandung bahan-bahan haram.

Pesan seperti itu bukan kali pertama diterima oleh ibu dengan tiga anak tersebut.

Beragam kabar mulai video, foto dan tautan berita, beredar di beberapa grup Whatsapp yang dia ikuti.

Ada yang menyebut vaksin menanamkan cip di tubuh manusia, hingga menimbulkan kematian pada puluhan orang. Yenny tak tahu kebenaran atas semua informasi itu.

Tapi yang pasti, semua informasi tersebut mengubah persepsinya tentang vaksin.

“Saya khawatir dan takut kalau nanti divaksin,” kata perempuan asal Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, kepada Anadolu Agency, Sabtu.

Informasi yang diterima Yenny bagian dari derasnya hoaks seputar vaksin Covid-19.

Selama pandemi, hoaks telah menjadi salah satu tantangan serius untuk menangani pandemi virus korona jenis baru.

Kini, saat beberapa negara termasuk Indonesia memulai program vaksinasi Covid-19, hoaks kembali menderas di berbagai media sosial.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendokumentasikan, sejak Oktober 2020 hingga 18 Januari 2021, ada 70 hoaks soal vaksin Covid-19.

Sedangkan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi masyarakat sipil yang bergerak untuk melawan kabar bohong, mencatat, hoaks seputar vaksin Covid-19 mencapai 80 hoaks, sejak Maret tahun lalu hingga 23 Januari 2021.

Peningkatan jumlah hoaks seputar vaksin Covid-19 tampak terjadi pada Januari 2021, menyusul dimulainya program vaksinasi pada 13 Januari lalu.

Pada 1 hingga 18 Januari 2021, Kominfo mencatat 22 hoaks beredar.

Sedangkan data Mafindo, jumlah hoaks vaksin pada 1 hingga 23 Januari sebanyak 35, meningkat dua kali lipat dibandingkan bulan Desember yang mencapai 16 hoaks.

Beberapa hoaks yang cukup viral, misalnya, video pendek yang beredar di Facebook pada 19 Januari 2021.

Video dengan narasi bahwa vaksin Sinovac memakan korban santri dari Kabupaten Jember, Jawa Timur dibagikan 81 ribu kali dan mendapatkan komentar 6,9 ribu dari warganet.

Hasil pemeriksaan fakta Mafindo menunjukkan, video tersebut adalah peristiwa pada 28 Februari 2018.

Saat itu, puluhan santri pingsan di Pondok Pesantren Madinatul Ulum di Kecamatan Jenggawah karena dehidrasi usai disuntik vaksin difteri.

Contoh lain adalah video yang diklaim adanya cip dalam vaksin Sinovac yang bisa mengontrol manusia seumur hidup.

Padahal barcode yang dimaksud dalam vaksin Sinovac berguna untuk melacak agar vaksin diberikan kepada orang yang sesuai.

Anadolu Agency juga menemukan sejumlah akun Twitter dan Facebook membagikan kampanye anti-vaksin dengan narasi menyesatkan dan keliru seputar vaksin Covid-19 melalui tagar #TolakVaksin.

Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengidentifikasi ada tiga kelompok utama yang menyebarkan hoaks vaksin Covid-19.

Pertama, kelompok anti-vaksin yang berlatar belakang agama. Kedua, kelompok yang punya bias anti Cina atau anti Barat.

“Jadi bukan anti vaksin, tetapi anti Sinovac, atau anti Pfizer,” kata Septiaji dihubungi Anadolu Agency, Sabtu.

Kelompok ketiga adalah mereka yang awalnya bukan kelompok anti-vaksin, tetapi kemudian terpengaruh teori konspirasi Covid-19.

Mereka akhirnya menganggap bahwa vaksin Covid-19 tidak perlu dilakukan.

Gerakan anti-vaksin seperti yang disebut Septiaji sebenarnya merupakan fenomena lama dan global.

Executive Secretary Indonesian Technical Advisory Group on Immunisation (ITAGI) Julitasari Sundoro menjelaskan bahwa gerakan anti-vaksin sudah lahir sejak vaksin cacar dipakai pertama kali pada awal abad ke-18.

Gerakan tersebut makin berkembang secara global di era internet, disertai maraknya informasi yang menyesatkan tentang vaksin, baik oleh dokter dan tokoh publik yang anti-vaksin.

“Di saat vaksin makin populer, lahir komunitas dan pemahaman yang menolaknya yakni kaum anti-vaksin,” kata Julitasari dalam dialog virtual di Media Center Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional baru-baru ini.

Kampanye anti-vaksin sendiri pernah marak antara 2012 hingga 2018, di saat Indonesia menghadapi kejadian luar biasa (KLB) difteri.

Dampak dari buruknya strategi komunikasi pemerintah

Maraknya hoaks vaksin dapat menggerus tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin Covid-19.

Apalagi sebelum vaksinasi dimulai, sejumlah survei telah menunjukkan adanya masyarakat yang menolak vaksin atau ragu-ragu terhadap vaksin Covid-19.

Survei Laporcovid19.org yang diterbitkan 13 Oktober 2020, misalnya, hanya 31 persen responden menyatakan bersedia menerima vaksin Biofarma-Sinovac yang saat itu menjalani uji klinis fase tiga, dan sebanyak 69 persen responden menyatakan ragu-ragu hingga tidak bersedia.

Kemudian, hasil survei daring tentang Penerimaan Vaksin Covid-19 yang digelar Unicef, WHO, dan Kementerian Kesehatan, ada 8 persen responden yang menolak vaksin, dan 65 persen responden menyatakan bersedia menerima vaksin Covid-19 jika disediakan Pemerintah.

Survei ini dilakukan terhadap 115.000 responden dari 34 provinsi pada 19 hingga 30 September 2020.

Padahal untuk mempercepat penurunan pandemi Covid-19, setidaknya diperlukan cakupan imunisasi sebesar 70 persen agar ‘herd immunity’ atau kekebalan komunitas segera tercapai dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.

Inisiator LaporCovid-19, koalisi warga untuk berbagi informasi Covid-19, Ahmad Arif, mengatakan, masifnya hoaks akan memengaruhi persepsi warga terhadap vaksin dan pada akhirnya akan berdampak pada keberhasilan cakupan vaksinasi Covid-19.

Namun, menurut Arif, masifnya hoaks vaksin Covid-19 bukan hanya dipicu oleh gerakan anti-vaksin yang berlatar agama atau anti-sains seperti sebelum pandemi. Melainkan juga karena buruknya komunikasi pemerintah terkait vaksin Covid-19.

Sejak awal, kata dia, komunikasi kebijakan pemerintah tentang vaksin membingungkan dan akhirnya menimbulkan resistensi di masyarakat.

Seperti pengadaan vaksin Sinovac yang dilakukan sebelum hasil uji klinis Fase 3 keluar.

Selain itu, di saat target vaksinasi tahap awal pada tenaga kesehatan belum rampung, pemerintah sudah memunculkan wacana vaksin mandiri.

“Pemilihan influencer artis saat penyuntikan vaksin pertama, malah jadi blunder,” kata Arif kepada Anadolu Agency, Minggu.

Arif menjelaskan pemerintah harus mengubah strategi komunikasi soal vaksin agar kepercayaan masyarakat meningkat.

Respons pemerintah untuk meluruskan informasi yang sesat terkait vaksin, juga harus lebih cepat sebelum berkembang menjadi informasi liar di media sosial.

Akan tetapi dia mengingatkan, komunikasi pemerintah juga harus mampu menjelaskan bahwa vaksin hanya salah satu bagian untuk mengendalikan pandemi.

Upaya lain yang juga penting dilakukan pemerintah adalah meningkatkan testing, tracing dan treatment (3T).

“Vaksin tidak akan menyelesaikan masalah pandemi tanpa ditunjang 3T,” kata dia.

Hal senada juga disampaikan Fajar Junaedi Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Meski maraknya hoaks vaksin Covid-19 disumbang oleh polarisasi politik saat Pemilihan Presiden 2019, namun juga diakibatkan oleh komunikasi publik pemerintah yang buruk sejak awal pandemi.

“Komunikasi publik yang buruk telah menyebabkan meluasnya beragam informasi yang saling sengkarut,” kata Fajar dihubungi Anadolu Agency, Senin.

Di tengah sengkarut informasi itu, kata Fajar, literasi media di masyarakat masih rendah. Sehingga masyarakat cenderung memercayai berita-berita yang clickbait dan kabar bohong yang disebarluaskan melalui media sosial.

Dampaknya, kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah untuk mengatasi pandemi, termasuk soal vaksin, menjadi turun.

Oleh karena itu, Fajar mengatakan, untuk mengembalikan kepercayaan itu, pemerintah harus segera mengintegrasikan komunikasi publik untuk sosialisasi vaksin dan menghindari kesalahan-kesalahan dalam komunikasi publik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.

Juru bicara pemerintah untuk vaksinasi Covid-19 Siti Nadia Tarmizi mengatakan penolakan terhadap vaksin Covid-19 bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan di banyak negara lain.

Pemerintah Indonesia, kata dia, sudah mengantisipasi munculnya penolakan itu. Apalagi, Indonesia pernah menghadapi tantangan adanya penolakan yang sama saat imunisasi vaksin polio atau rubela.

“Kami sudah antisipasi, karena vaksinasi bukan yang pertama dilakukan di Indonesia,” kata dia.

Salah satu strategi yang dilakukan, kata dia, dengan lebih banyak memberikan informasi tentang vaksin yang berbasis fakta dan sains.

Beberapa situs pemerintah seperti Covid19.go.id dan laman Kominfo.go.id menjadi saluran utama untuk menangkal hoaks terkait vaksin atau Covid-19 secara umum.

Selain menggunakan internet, sosialisasi secara konvensional tetap dilakukan seperti melibatkan puskesmas, tokoh agama dan aparat desa. Termasuk menerbitkan poster, leaflet dan banner di masyarakat.

Siti meyakini hoaks vaksin Covid-19 tidak memengaruhi persepsi masyarakat untuk imunisasi rutin. Turunnya cakupan imunisasi rutin selama pandemi, lebih karena disebabkan keengganan masyarakat untuk mengakses pusat layanan kesehatan.

Upaya menangkal hoaks vaksin Covid-19, juga gencar dilakukan oleh organisasi nonpemerintah dan media.

Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, mengatakan, Indonesia telah memiliki ekosistem periksa fakta yang cukup kuat untuk membantu masyarakat mendapatkan fakta.

Mafindo sendiri memiliki situs periksa fakta di Turnbackhoax.id dan Chatbot Kalimasada.

Selain itu, kata Septiaji, sejumlah media arus utama telah memiliki kanal periksa fakta yang bekerja sama dengan platform seperti Facebook untuk menandai informasi hoaks yang beredar.

“Sejak 2018, juga ada situs cekfakta.com, hasil kolaborasi Mafindo dengan 24 media siber, didukung Aliansi Jurnalis Independen dan Asosiasi Media Siber Indonesia,” kata dia.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.