Analisis

Pilkada 2018: Memanasi mesin politik menuju pertarungan puncak

Pilkada serentak 2018 yang digelar hari ini dianggap sebagai pemanasan menjelang pemilihan presiden tahun depan

Muhammad Nazarudin Latief  | 27.06.2018 - Update : 28.06.2018
Pilkada 2018: Memanasi mesin politik menuju pertarungan puncak

Jakarta Raya

Muhammad Latief

JAKARTA

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar serentak di 171 daerah pada hari ini, 27 Juni, disebut-sebut sebagai pemanasan akhir menjelang pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden tahun depan.

Salah satu alasannya, besarnya jumlah pemilih yang memberikan suara pada pesta demokrasi kali ini. Pilkada yang digelar pada 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota itu sama dengan 36 persen jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.

Jika dilihat dari jumlah pemilih, di tujuh provinsi besar yang menggelar Pilkada seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan jumlahnya penduduknya mencapai 159 juta atau 61 persen jumlah penduduk Indonesia.

Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojuddin Abbas, mengatakan Pilkada menjadi kesempatan bagi partai menguatkan dukungan menghadapi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun depan.

Menurut Abbas, inilah kesempatan partai untuk masuk kantong-kantong suara, mengumpulkan logistik dan membangun jaringan pemenangan hingga seluruh pelosok daerah pemilih.

“Pilkada ini mempunyai efek langsung pada Pileg dan Pilpres tahun depan. Partai bertaruh cukup besar dan memanfaatkan momen ini secara maksimal,” ujar dia saat dihubungi Anadolu Agency.

Menurut dia, wilayah politik paling penting adalah Pulau Jawa. Merujuk Pilpres 2014, ada sejumlah 108, 9 juta pemilih di pulau paling padat di Indonesia ini. Rincinya, di DKI Jakarta 7 juta, Banten 7,9 juta, Jawa Barat 33 juta, Jawa Tengah 27,3 juta, Jawa Timur 30,6 juta dan Daerah Istimewa Yogyakarta 2,7 juta. Jumlah ini setara dengan 58 persen total pemilih di Indonesia.

Maka, kemenangan pada provinsi yang menggelar pemilihan gubernur tahun ini yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, bisa menjadi ukuran kemenangan secara nasional.

Survei SMRC, pemenang Pilgub di Jawa Barat adalah Ridwan Kamil, di Jawa Tengah adalah Ganjar Pranowo dan di Jawa Timur adalah Khofifah Indar Parawangsa.

Direktur Populi Centre, Usep Saiful Ahyar, mengatakan hasil pilkada bisa mengubah atau memperkuat konfigurasi politik nasional saat ini, yaitu kompetisi antara kelompok pengusung Presiden Joko Widodo dan partai-partai oposisi yang dipimpin oleh Prabowo Subiyanto.

Di Jabar misalnya, jika benar prediksi bahwa Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul yang diusung oleh Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menang, maka rivalitas saat ini akan berlanjut.

Kondisi yang sama terjadi jika pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang diusung Gerindra dan PKS.

Lain cerita jika pasangan Deddy Mizwar dan Dedy Mulyadi yang diusung Demokrat dan Golkar menang, maka ada kemungkinan akan ada kompetitor baru yang diusung oleh Partai Demokrat.

Apalagi lagi jika kandidat Demokrat di Jawa Timur, yakni Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak unggul, maka partai yang didirikan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini akan semakin percaya diri menghadapi pemilihan presiden.

Pada dasarnya, kata Usep, sejak awal koalisi pilkada diarahkan untuk pembentukan koalisi di tingkat nasional menghadapi pemilihan presiden. Jadi secara umum, koalisi dalam Pilkada ini memang merujuk pada konfigurasi politik nasional, meski pada beberapa daerah terdapat “penyimpangan koalisi”.

“Pilkada ini rasa Pilpres. Dari sisi koalisi sudah diarahkan untuk Pilpres meski tidak semua berhasil. Setidaknya ada upaya pertarungan yang berbau Pilpres,” ujar dia.

Di Jabar misalnya, pasangan Sudrajat-Syaikhu sudah menggunakan isu “2019 ganti presiden” sebagai upaya pemenangan Pilkada. Upaya ini terlihat saat debat kandidat yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar, saat itu pasangan ini mengeluarkan kaos yang bertuliskan #2019gantipresiden.

Di Jawa Tengah, pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah yang diusung koalisi Partai Gerindra, PKB, PAN dan PKS memfokuskan kampanyenya dengan mengkritik program-program pemerintah Jawa Tengah yang kini dipimpin oleh calon inkumben Ganjar Pranowo yang diusung PDIP, PPP, NasDem dan Demokrat.

Sudirman juga meminta bantuan figur-fugur dari kelompok yang diasosiasikan sebagai “rival Jokowi” seperti Gubernur DKI Anies Baswedan, pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Riziek Shihab dan tentu saja Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Sebaliknya, Ganjar Pranowo berusaha menempatkan Sudirman di kalangan oposisi.

Di Jawa Timur, Gerindra dan PKS tidak bisa mengusung calon sendiri. Kedua partai ini merapat ke pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang sudah diusung oleh PDIP dan PKB.

Menurut Usep, dinamika lokal yang "menyimpang” dari konfigurasi politik nasional seperti di Jawa Timur sangat mungkin terjadi. Ada kondisi yang mengharuskan elite partai-partai tingkat nasional menyesuaikan diri dengan dinamika lokal.

“Misalnya PKS di bagian timur Indonesia tentu akan menyesuaikan dengan kondisi lokal. Tidak seperti di bagian barat Indonesia, partai ini konsisten dengan mengusung calon dari kalangan tertentu,” ujar dia.

Namun secara garis besar, partai-partai masih fokus pada rivalitas Pilpres sebagai tujuan utama. Apalagi, Pilpres tahun depan berbarengan dengan Pileg, maka kemungkinan besar akan ada keseragaman isu pada dua pemilihan tersebut.

Survei SMRC juga menunjukkan kecenderungan Pilkada rasa Pilpres ini. Pendukung Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul, Hasanudin-Anton Charliyan serta Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi paling banyak mendukung Joko Widodo. Sementara pendukung pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu mendukung Prabowo Subianto.

Hal ini membuktikan irisan pendukung antara calon partai koalisi pendukung pemerintah dan partai oposisi juga terjadi di daerah.

Di Jawa Tengah, Jokowi unggul atas Prabowo baik pada massa pendukung Ganjar-Taj Yasin maupun pada pendukung Sudirman-Ida. Namun demikian, dukungan untuk Jokowi di Jawa Tengah lebih kuat pada pemilih Ganjar-Taj Yasin.

“Belum ada tokoh lain yang popularitasnya melebihi Jokowi dan Prabowo saat ini,” ujar Abbas.

Politik uang, politik identitas

Sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hariyadi, mengatakan Pilkada serentak ini masih menghadapi dua persoalan lama, yaitu politik uang dan kapitalisasi politik identitas.

Selain itu, potensi gugat-menggugat pasca pemilihan juga kuat, karena sebelum pemungutan suara pun sudah ramai tudingan netralitas aparat pemerintah dan penyelenggara Pemilu.

“Di beberapa tempat, akan diperlakukan seperti pemilihan di Jakarta dengan politik identitas yang kuat, meski dalam kadar yang lebih rendah,” ujar dia.

Kapitalisasi politik identitas dan politik uang, menurut dia, berbahaya bagi demokrasi dan masyarakat, karena kandidat yang tidak mempunyai program baik bisa mengalahkan kandidat yang lebih berkualitas dengan menggoreng isu primordial.

Menurut Hariyadi, dampak lanjutan dari politik identitas adalah terbelahnya masyarakat menjadi oposisi dan pendukung, yang sulit untuk dipersatukan.

Di lain pihak, politik uang membuat kandidat merasa membeli suara pemilih, sehingga tidak perlu bertanggungjawab dengan memberikan program-program yang berkualitas. Selain itu, potensi korupsi juga besar karena ingin “mengembalikan modal” yang banyak dikeluarkan saat pencalonan.

Kolega Hariyadi, Luthfi Makhasin, mengatakan kualitas pemilu dan demokrasi di Indonesia akan terus buruk jika kedua masalah itu masih ada. Pemilu hanya menghasilkan mobilisasi suara, bukan partisipasi masyarakat dalam menentukan masa depan bangsanya.

Dengan temuan seperti ini, indeks demokrasi Indonesia tidak beranjak dari rata-rata negara dunia ketiga seperti di Afrika maupun Amerika Latin.

Namun, untuk mengatasi persoalan ini juga tidak mudah. Negara-negara Amerika Latin yang sudah memulai demokrasi pada dekade 70-an, belum juga bisa menyelesaikan persoalan vote buying hingga kini.

“Kita yang baru memulai demokrasi pada dekade 90-an masih belum bisa menghadapi persoalan ini,” ujar dia.

Menurut dia, kedua persoalan itu masih ada dalam demokrasi Indonesia karena mahalnya biaya politik di negeri ini. Selain itu, pola rekrutmen politik juga sangat elitis, sehingga sulit bagi masyarakat biasa untuk masuk ke lingkaran politik.

“Jadi untuk menghilangkan kedua masalah ini perlu waktu agak panjang. Perlu generasi baru agar dua isu murahan itu bisa hilang,” ujar dia.

Menurut Lutfhi, salah satu caranya adalah dengan konsep partisipasi dana publik dalam pencalonan kandidat. Menurutnya, seorang kandidat pemimpin daerah, anggota legislatif maupun pemimpin nasional tidak dibiarkan untuk mencari dana sendiri membiayai kampanyenya. Namun, pendukungnya juga membantu mencari dana. Dengan demikian, kecenderungan penyalahgunaan vote buying akan lebih kecil.

Dua tokoh politik, Jokowi dan Prabowo Subianto, sebenarnya sudah memulai cari ini namun terhambat adanya ketidakpercayaan masyarakat.

“Langkah keduanya bagus, tapi kurang memadai. Karena masyarakat masih apatis, ada persepsi bahwa menjadi pemimpin politik itu banyak duit, jadi kenapa harus minta ke publik,” ujar dia.

Antisipasi Kerawanan

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah memetakan beberapa kerawanan yang bisa terjadi saat pemungutan suara Pilkada.

Anggota Bawaslu, Mohammad Afiffuddin, mengatakan pihaknya telah memetakan potensi kerawanan yang muncul di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kerawanan ini bisa mengganggu proses pemungutan dan perhitungan suara, sehingga berdampak pada hilangnya hak pilih, mempengaruhi pilihan dan mempengaruhi hasil pemilihan.

Menurut dia, masalah yang bisa dihadapi di TPS adalah akurasi data, penggunaan hak pilih atau hilangnya hak pilih, politik uang, lalu netralitas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan pemungutan suara.

“Persoalan akurasi data pemilih paling potensial terjadi di 91.979 TPS atau 24 persen dari total TPS. Berikutnya adalah penggunaan hak pilih atau hilangnya hak pilih yang bisa terjadi pada 80.073 TPS atau 21 persen,” ujar Afiffuddin.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın