Analisis, Nasional

Penyidikan kasus makar, penegakan hukum atau membungkam oposisi?

Dalam sebuah negara demokrasi, substansi ketentuan makar sebenarnya sudah tidak relevan

Muhammad Nazarudin Latief  | 28.05.2019 - Update : 29.05.2019
Penyidikan kasus makar, penegakan hukum atau membungkam oposisi? Polisi menembakkan gas air mata dalam bentrokan di dekat Pasar Tanah Abang pada 22 Mei 2019. Bentrokan ini dipicu protes hasil Pilpres 2019 di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). ( Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

Muhammad Latief

JAKARTA

Akhir-akhir ini polisi menetapkan sejumlah orang sebagai saksi maupun tersangka dengan tuduhan makar.

Salah satunya adalah mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen. Selain Kivlan masih banyak nama lain yang tersangkut pasal yang sama.

Kivlan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong dan makar.

KIvlan tersangkut perkara yang diatur dalam UU No. 1/1946 tentang KUHP Pasal 14 dan/atau Pasal 15 terhadap keamanan negara/makar UU No. 1/1946 tentang KUHP Pasal 107 juncto Pasal 87 dan/atau Pasal 163 bis juncto Pasal 107.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengonfirmasi hal ini.

“Ya, betul [Kivlan Zen sudah ditetapkan sebagai tersangka],” ujar Dedi kepada Anadolu Agency, Selasa.

Dedi mengatakan Kivlan Zen akan hadir pada Rabu pekan ini untuk memberikan keterangannya di Bareskrim Polri.

Selain Kivlan, barisan pendukung capres-cawapres Prabowo Subianto–Sandiaga Uno banyak yang “ditersangkakan” dan menjadi saksi sepanjang proses kontestasi Pilpres dan Pileg belakangan ini.

Terbaru adalah Dahnil Anzar Simanjuntak, anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga. Dahnil menjadi saksi atas dugaan makar di Polda Sumatera Utara.

Pola yang berlaku, polisi bertindak atas laporan seseorang. Proses penyidikan pun terkesan cukup cepat, dibandingkan kasus lain di kantor polisi yang dikenal terbilang lambat.

Pasal yang dituduhkan juga tidak jauh beda, yakni makar.

Kivlan memang sempat terlihat dalam sebuah video di media sosial yang berisi ajakan mendatangi Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Bawaslu.

"Tanggal 9 (Mei) kita merdeka, ikuti saya. Lapangan Banteng, tanggal 9 kita akan merdeka. Siapa pun yang menghalangi, kita lawan, datang ke Pemilu, Bawaslu, minta likuidasi Jokowi," kata Kivlan dalam video tersebut.

Kivlan sendiri sudah diperiksa polisi dalam kapasitas sebagai saksi dalam kasus tersebut.

Pitra Ramdhoni, kuasa hukum Kivlan, mengatakan kliennya sudah memberi klarifikasi bahwa tidak ada niatan makar dalam unjuk rasa 9 Mei tersebut.

Selain Kivlan, ada Lieus Sungkharisma yang ditangkap Senin di kediamannya di Jakarta Barat.

Selain itu ada Eggi Sudjana, advokat yang juga politikus Partai Amanat Nasional (PAN). Eggi dijerat dengan tuduhan sama.

Anggota Dewan Kehormatan PAN Amien Rais juga sempat dipanggil polisi menjadi saksi dalam kasus Eggi ini.  

Selain itu ada Bachtiar Nasir, seorang penceramah yang mendukung Prabowo-Sandi. Berbeda halnya dengan pendukung Prabowo-Sandiaga lainnya, Bachtiar dijerat dengan pasal pencucian uang. 

Bernuansa politis

Pengamat hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan penuntutan pidana makar belakangan ini bukan semata kasus hukum, tapi lebih bernuansa politik.

“Itu tuduhan dikenakan pada aktivis oposisi,” ujar dia.

Pengertian makar, dalam Pasal 104,106 & 107 KUHP pada intinya bisa diartikan ingin membunuh presiden dan wakil presiden dan ingin memisahkan diri dari wilayah negara dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.

“Dalam konteks negara demokrasi substansi ketentuan makar ini sebenarnya sudah tidak relevan. Apalagi dikaitkan dengan keinginan menjatuhkan presiden atau perebutan kekuasaan,” ujar Fickar.

“Ini karena konstitusi kita sudah menyediakan mekanisme untuk memakzulkan atau menjatuhkan presiden dan wakil presiden. Demikian juga pemilu yang bisa bisa diletakkan sebagai mekanisme mengganti pemerintahan.”

Menurut Fickar penerapan pasal makar secara substantif lebih tepat diterapkan pada tindakan bersifat teror yang sudah diatur dalam UU Terorisme.

Penerapan pasal makar berdasarkan KUHP sudah ketinggalan zaman, karena pasal itu merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda yang dimaksudkan melindungi pemerintahan kerajaan atau ratu Belanda, ujar Fickar.

Sejauh ini, tuduhan makar yang pernah dikeluarkan polisi tidak pernah berlanjut.

Beberapa waktu lalu polisi juga menangkap beberapa orang dengan tuduhan makar. Di antaranya Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas Rizal Kobar, Adityawarman dan musisi Ahmad Dhani.

“Tindakan penetapan tersangka makar pada saat ini patut disayangkan karena terkesan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan,” ujar Fickar.

“Terkesan ada upaya membungkam aspirasi masyarakat yang berbeda dengan pemerintah sekalipun dengan menggunakan proses hukum. Hukum itu tidak boleh mengadili pikiran dan pendapat warga negara.”

Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho mengatakan pasal-pasal makar adalah delik formil, bukan materiil.

Dengan demikian, dugaan makar bisa diadukan kendati peristiwanya belum tentu terjadi.

Hasutan mengenai ancaman terhadap presiden sudah bisa menjadi bukti awal terkait dugaan kasus makar, ujar Hibnu.

Karena itu, menurut Hibnu, dari beberapa orang yang sudah menjadi tersangka makar terekam dalam video mengeluarkan hasutan di media sosial, baik untuk menduduki KPU, Bawaslu maupun menggulingkan pemerintah dengan ungkapan "diskualifikasi Jokowi".

“Secara delik, ya delik formil-nya kena," ujar Hibnu.

Mereka juga bisa dianggap orang-orang yang memperlancar kejahatan makar kendati tidak melakukannya secara langsung sesuai Pasal 110 Ayat 2 KUHP.

Berbeda dengan Fickar, Hibnu memandang penangkapan dan penetapan sejumlah tokoh sebagai tersangka makar tidak berlebihan. Hal itu bisa dilihat sebagai upaya pencegahan agar tindakan makar tidak benar-benar terjadi.

Pada dasarnya, pasal makar bertujuan melindungi wibawa pemerintahan serta mencegah perpecahan.

“Dalam rangka menjaga keutuhan negara, penangkapan itu sudah tepat, tidak berlebihan. Nanti tergantung pembuktian, masuk kualifikasi atau tidak?" ujar Hibnu.

Mabes Polri seperti menyadari adanya pendapat masyarakat yang mempertanyakan netralitas polisi dalam menyidik berbagai kasus hukum terhadap para pendukung Prabowo-Sandiaga, dalam kasus makar maupun penyebaran berita bohong.

Dalam kasus penyebaran berita bohong atau hoax polisi menangkap 10 orang hanya dalam sepekan, antara 21 sampai 28 Mei 2019.

Dedy menegaskan bahwa dalam penindakan ini polisi tidak memiliki tendensi politis apapun dalam menangani kasus yang sedang ditangani.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın