Analisis

OPINI - Menelisik hubungan ekonomi Prancis yang tidak adil dengan Afrika

Bahkan 60 tahun setelah kemerdekaan, negara bekas jajahan Prancis di Afrika diharuskan menyetor 50 persen dari cadangan devisanya kepada Prancis

Rhany Chairunissa Rufinaldo  | 11.12.2020 - Update : 21.12.2020
OPINI - Menelisik hubungan ekonomi Prancis yang tidak adil dengan Afrika Benua Afrika. (Foto file - Anadolu Agency)

Morocco

Mohamed Badine El Yattioui

* Penulis adalah profesor di Departemen Hubungan Internasional Universitas Amerika Puebla (Meksiko).

RABAT, Maroko 

Selama beberapa dekade, telah terjadi perdebatan seputar hubungan ekonomi antara Prancis dan negara-negara bekas koloninya di Afrika.

Sampai saat ini Presiden Prancis Emmanuel Macron belum berminat untuk mengakhiri hubungan yang tidak setara dan tidak adil karena negaranya terus mengontrol perdagangan dan mata uang bekas jajahan tersebut.

Pemeliharaan Prancis atas dominasi ekonominya memungkinkannya memperpanjang dominasi politik. Dan perdagangan adalah salah satu penyebab terjadinya penjajahan Prancis di kawasan Afrika.

Di kawasan Arab Maghrib, pelabuhan Tunis dan Aljazair penting untuk melakukan transit dan keduanya sudah ada sejak era Ottoman.

Namun, kolonisasi Prancis menciptakan sejumlah pelabuhan, yang paling terkenal adalah Casablanca di Maroko, yang pembangunannya didorong oleh kamar dagang Prancis untuk meningkatkan volume perdagangan.

Pada awal abad ke-19, Afrika sub-Sahara masih diisolasi oleh penghalang alami seperti Gurun Sahara dan lautan.

Komunikasi sulit dilakukan di luar jalur karavan dan sungai. Untuk itu, kantor Prancis di Saint Louis dan Goree di Senegal sangat penting artinya bagi perdagangan Prancis saat itu.

Berakhirnya perdagangan budak memberi jalan pada perdagangan bahan mentah seperti kacang tanah, minyak sawit, kayu, permen karet, kop, dan bahan berharga dari Afrika oleh bangsa Eropa.

Keinginan untuk mengontrol perdagangan internasional juga mencakup penguasaan jalur laut antara Afrika dan Asia.

Penjajahan terhadap Djibouti pada akhir abad ke-19 adalah taktik Inggris untuk menguasai Terusan Suez pada 1869.

Awal abad ke-20, dunia menyaksikan pembangunan jalur kereta api dari Dakar ibu kota Senegal ke Sudan dan kemudian ke Guinea, Pantai Gading dan Dahomey, yang sekarang menjadi Benin dan Togo.

Penulis Andre Gide dalam bukunya Voyage au Congo telah mendokumentasikan pelanggaran yang dilakukan oleh Prancis di Kongo saat membangun situs kereta api Kongo-Ocean pada 1927.

Buku tersebut merupakan dakwaan terhadap perlakuan tidak layak perusahaan komersial terhadap penduduk lokal.

Kembali ke kolonialisme

Setelah Depresi Hebat - kemerosotan ekonomi terburuk dalam sejarah industri dunia, yang berlangsung pada 1929-1939 - Prancis memilih untuk mundur dari tanah kolonialnya, karena preferensi perdagangan.

Pada 1950, negara-negara bekas kolonial Prancis mewakili 60 persen perdagangan luar negeri Prancis dan pada 1970, Afrika mewakili 8,7 persen dari ekspor Perancis, yang kemudian turun menjadi 5 persen pada 2015.

Hal ini memaksa Perancis untuk memikirkan kembali hubungannya dengan benua tersebut demi mempertahankan dominasinya.

Enam puluh tahun setelah kemerdekaan, pemerintah Prancis terus-menerus dikritik karena intervensi mereka di bekas koloni di Afrika.

Pada 2007, mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy dalam pidatonya di Senegal - yang dikenal di Prancis sebagai Discours de Dakar - mengatakan bahwa masalah Afrika berasal dari fakta bahwa "pria Afrika belum cukup memasuki sejarah".

Dia menggambarkan pria Afrika sebagai seorang tahanan budaya mereka sendiri, yang ditandai dengan irasionalitas dan ketidakmampuan untuk mempertimbangkan masa depan.

Pernyataan Sarkozy menimbulkan protes di seluruh benua dan banyak intelektual menanggapinya dengan amarah.

Achille Mbembe dan Felwine Sarr mengatakan bahwa Prancis masih menjadi masalah bagi benua itu.

Mbembe, seorang filsuf Kamerun, mengatakan bahwa Prancis sedang berjuang untuk memasuki dunia yang akan datang.

Sementara itu, Sarr, seorang ekonom Senegal, mengatakan bahwa Prancis harus dikeluarkan dari perjanjian kerja sama moneter.

Reaksi itu menunjukkan adanya ketidakpercayaan di antara sebagian besar elite intelektual Afrika.

Prancis kini tertarik pada sektor minyak dan gas. Sebelumnya, hingga tahun 2000, negara itu banyak bergerak di bidang pekerjaan umum, air, dan pembangkit listrik.

Bagi perusahaan multinasional migas Prancis, Total, benua Afrika menyumbang 28 persen dari produksi minyak dan gas perusahaan itu

Menurut Frederic Munier, profesor geopolitik di Paris, 36,4 persen pasokan minyak Prancis berasal dari benua Afrika.

Dalam hal pengembangan lingkungan yang terintegrasi, perusahaan-perusahaan Prancis memiliki sejumlah keunggulan, seperti bahasa, mata uang di zona Franc, dukungan langsung dari pemerintah Prancis dan jaminan dari COFACE (perusahaan publik yang menjamin risiko eksportir Prancis).

Saham-saham perusahaan Prancis telah meningkat empat kali lebih besar mencapai USD23,4 miliar sepanjang 2005-2011.

Pemindahan kembali kapitalisme Prancis disebabkan terutama oleh masalah minyak (Angola, Nigeria) dan dari keinginan untuk hadir di pasar yang lebih besar, terutama di Afrika Selatan, dari negara-negara Afrika yang berbahasa Prancis.

Pertanyaan tentang biara

Sekarang mari kita menganalisis pertanyaan moneter, yang merupakan salah satu kunci untuk memahami dominasi Prancis sejak kemerdekaan, setelah terjadi penurunan perdagangan antara Prancis dengan negara-negara bekas jajahannya.

Pada akhir 2019, Macron mengumumkan bahwa Prancis menginginkan reformasi Franc CFA -- dua mata uang, Franc CFA Afrika Barat yang digunakan di delapan negara Afrika Barat, dan Franc CFA Afrika Tengah, yang digunakan di enam negara Afrika Tengah.

Prancis bersama-sama mengarahkan secara halus tabungannya karena ketetapan mematok kurs Franc CFA ke Euro dan kewajiban bagi negara bekas koloni untuk menyetor 50 persen dari cadangan devisa masing-masing ke Kementerian Keuangan Prancis.

Kako Nubukpo, mantan menteri Togo dan saat ini menjadi dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Universitas Lome, mengatakan perjanjian yang ditandatangani dengan Prancis pada 1945 itu dalam kerangka operasi perbendaharaan yang secara keseluruhan mencakup 20 persen masalah moneter dari negara zona Franc.

Saat ini Afrika memiliki cakupan hampir 100 persen (Afrika tidak membutuhkan cakupan asing lagi).

Ini berarti Afrika tidak lagi membutuhkan penjamin Prancis untuk memiliki ketetapan antara CFA dan Euro. Masalah ini bersifat politis sekaligus ekonomis.

Macron dan Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara ingin mengganti "Franc CFA" dengan "Eco", yang akan menjadi mata uang bersama 15 negara di masa depan.

Keputusan yang paling ditunggu adalah berakhirnya kewajiban negara-negara Afrika untuk membayar 50 persen cadangan devisa mereka kepada Kementerian Keuangan Prancis.

Uang dan kedaulatan

Uang adalah instrumen kedaulatan suatu negara. Namun, bagi negara-negara bekas koloni Prancis di Afrika, tidak memiliki kedaulatan tersebut, bahkan 60 tahun setelah negara-negara itu mengumumkan kemerdekaan.

Ouattara membela persatuan moneter yang dijamin oleh Prancis. Orang Afrika yang menentangnya mengingatkan  bahwa proyek ini mempertahankan keseimbangan dengan Euro, yang merupakan mata uang yang kuat.

Gagasan itu memiliki banyak konsekuensi karena mencegah devaluasi kompetitif dan perkembangan industri.

Persatuan moneter akan mengakibatkan negara-negara ini terkunci di dalam ekonomi sewa komoditas.

Jika Afrika hanya mewakili 5 persen dari perdagangan internasional, kemajuan negara-negara di zona “CFA” akan terhambat untuk masuk ke dalam perdagangan internasional akibat integrasi yang tidak memadai.

Masalah moneter tampaknya menjadi rem bagi perkembangan perdagangan.

Penurunan komersial Prancis cukup jelas. Pangsa pasarnya di Afrika telah berkurang setengahnya sejak 2001, dari 12 persen menjadi 6 persen, menurut COFACE.

Mundur lebih jauh, kami menyadari bahwa jika Afrika mewakili 8,7 persen dari ekspor Prancis pada 1970, jumlah itu hanya mewakili 5,6 persen pada 2006, menurut Philippe Hugon, direktur di Institut Hubungan Internasional dan Strategis Paris.

Pada 1970-2006, ekspor Prancis ke Afrika naik dari 13-28 miliar dolar dan pasar Afrika bertambah empat kali lipat.

Perkembangan itulah yang kemudian menjelaskan mengapa Prancis ingin tetap memegang teguh mata uang Franc.

* Pendapat yang dikemukakan dalam analisis ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan editorial Anadolu Agency.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın