Ekonomi, Analisis, Nasional

Mencari formula tepat redam pertumbuhan perokok anak

Guna mengurangi jumlah perokok anak, perlu spektrum kebijakan yang lebih luas tidak hanya mengandalkan kebijakan cukai untuk membuat harga rokok kian mahal dan tak terjangkau anak

Iqbal Musyaffa, Muhammad Nazarudin Latief  | 01.09.2020 - Update : 03.09.2020
Mencari formula tepat redam pertumbuhan perokok anak ILUSTRASI. Masyarakat anti tembakau menggelar kampanye anti tembakau di Solo, Jawa Tengah, pada 1 Juni 2014. ( Agoes Rudianto - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Dari tahun ke tahun, perokok anak tetap menjadi masalah di Indonesia bahkan seperti sudah menjadi fenomena yang lazim.

Banyak pihak merasa khawatir, karena anak memiliki jangka waktu merokok yang relatif panjang jika memulainya dari usia muda sehingga berpeluang mendapatkan masalah kesehatan lebih besar.

Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2018 Kementerian Kesehatan, angka prevalensi merokok pada penduduk usia 10-18 tahun mencapai 9,1 persen.

Dengan populasi anak-anak sekitar 30 persen dari total penduduk atau sekitar 79,5 orang, maka jumlah perokok anak di Indonesia mencapai 7,2 juta jiwa. 

Angka prevalensi ini naik tiap riset digelar oleh Kemenkes. 

Pada 2016 saat menggelar Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) teridentifikasi angka prevalensi perokok anak mencapai 8,8 persen.

Saat Riskesda 2013 angka prevalensi perokok anak sebesar 7,2 persen.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) lebih tinggi lagi, perokok anak di Indonesia mencapai 37 persen dari 70 juta anak di Indonesia atau sekitar 25,9 juta anak. 

Apen seorang siswa SMA di Kabupaten Bogor mengaku mulai mencoba merokok sejak kelas 3 SMP.

Kebiasaan itu berlanjut hingga sekarang, meski masih sembunyi-sembunyi dari orang tuanya.

“Kalau ketahuan orang tua saya merokok pasti dimarahi,” dia.

Apen biasanya membeli rokok eceran yang dijual warung dekat sekolahnya.

Dengan harga mulai Rp1.000 - Rp1.500 per batang, dia bisa membeli paling tidak dua batang selain jajan lain. 

Fahmi, 30 tahun, seorang pekerja seni di Jakarta juga mengaku mengenal rokok sejak SMP. 

Saat itu dia hanya coba-coba dan terpengaruh teman. 

Setelah itu kebiasaan tersebut berlanjut hingga kini meski dia mengaku sudah berhasil mengurangi konsumsi rokoknya. 

Antara harga dan pengaruh pergaulan 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, ada dua faktor yang membuat anak-anak mulai merokok, antara lain harga yang masih relatif bisa dijangkau serta pergaulan dengan teman-teman sebaya.

Kepala Tim Riset PKJS UI Teguh Dartanto mengatakan 1,5 persen perokok mulai merokok pada usia yang masih sangat muda, yakni 5 sampai 9 tahun.

Sementara 56,9 persen mulai merokok pada usia 15-19 tahun.

“Pecandu rokok sulit berhenti kalau sudah dimulai sejak muda,” kata Teguh dalam diskusi virtual, Senin.

Berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional 2015, prevalensi merokok anak di Indonesia usia 7-18 tahun sebanyak 2,7 persen.

Walaupun secara persentase kecil, namun secara jumlah sangat besar yakni 1.5 juta orang.

Prevalensi perokok anak tertinggi berada pada usia 16-18 tahun sebesar 10,7 persen.

“Secara umum, faktor teman sebaya dan harga rokok secara statistik berpengaruh terhadap peluang seorang anak menjadi perokok,” kata Teguh.

Teguh menjelaskan estimasi pengaruh positif teman sebaya merokok (peer effect) terhadap peluang seorang anak menjadi perokok pada rentang 0,1-4,9 persen dari tiap 1 persen proporsi sebaya yang merokok.

“Antarkelompok usia, peer effect cenderung lebih besar untuk anak usia remaja,” lanjut dia.

Menurut Teguh, faktor harga rokok ikut memengaruhi keputusan anak untuk merokok.

Menurut dia mengatakan semakin mahal harga rokok, semakin kecil peluang anak merokok dan semakin sedikit konsumsi rokok.

Variasi harga di luar Jawa dan Sumatera terlihat lebih kuat pengaruhnya dibandingkan pada Jawa dan Sumatera.

Sementara itu, peer effect lebih banyak berpengaruh untuk anak usia SD dan SMP. 

Price effect lebih dominan pengaruhnya pada anak usia remaja (SMA) untuk merokok.

“Kenaikan harga rokok adalah kunci pengendalian rokok pada anak karena semakin mahal harganya, maka prevalensi anak merokok turun,” kata Teguh.

Menurut dia, apabila harga rokok naik 10 persen, maka akan mengurangi konsumsi rokok 1,3 batang per minggu pada seluruh kelompok usia.

Sementara kenaikan harga rokok 10 persen akan membuat konsumsinya turun tujuh batang per minggu pada anak usia SMA.

Pemerintah dorong terus kenaikan cukai rokok 

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wawan Juswanto mengatakan selama 2013-2020, harga rokok di Indonesia semakin mahal.

Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan affordability index berdasarkan rata-rata Harga Transaksi Pasar (HTP) Juni 2020 dan asumsi pertumbuhan ekonomi 0,1 persen, indeks harga rokok diperkirakan naik menjadi 12,2 persen.

Pada 2018, harga sebungkus rokok di Indonesia relatif lebih mahal dibanding negara-negara Asia Tenggara kecuali Singapura dan Malaysia.

“Secara tren, harga rokok di Indonesia juga meningkat dari tahun ke tahun merespons kebijakan tarif cukai dan harga jual eceran,” kata Wawan.

Namun pada 2019, harga rokok relatif lebih murah karena tidak ada kenaikan tarif cukai. 

“Kebijakan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir mempengaruhi pertumbuhan negatif produksi hasil tembakau,” kata Wawan.

Kenaikan tarif cukai 2020 dan dampak pandemi Covid-19 diperkirakan akan menyebabkan produksi rokok akan menurun sebesar 16,30 persen.

Selain itu, Wawan mengatakan pemerintah terus mendorong reformasi kebijakan cukai melalui penyederhanaan struktur tarif cukai Hasil Tembakau (HT) dan peningkatan tarif cukai HT secara bertahap.

Cukai rokok belum bisa tekan konsumsi

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan kenaikan cukai rokok tidak cukup untuk mengendalikan konsumsi karena ada banyak celah agar barang tersebut tetap bisa terbeli.

Menurut dia, pengendalian rokok khususnya pada anak harus memiliki spektrum lebih luas, tidak semata-mata hanya membicarakan masalah cukai saja, tetapi juga regulasi jumlah batang yang dijual dalam satu bungkus.

Faisal menjelaskan adanya praktik money illusion, atau memanipulasi nilai uang, untuk mengelabui calon konsumen terutama perokok muda sehingga membuat harganya seakan-akan tetap murah.

Dia mencontohkan sebuah merek rokok yang berharga Rp24.000 per bungkus dengan isi 20 batang.

Karena dirasa terlalu mahal, perusahaan kemudian membuat kemasan dengan isi 16 batang dengan hara Rp21.600.

Kemasan tersebut terkesan lebih murah meski jika dihitung per batang malah lebih mahal.

“Karena masih dianggap belum terjangkau juga, dikeluarkan versi 12 batang per bungkus dengan harga Rp15 ribuan,” jelas Faisal.

Di Indonesia menurut Faisal ada keleluasaan perusahaan untuk memodifikasi jumlah isi per bungkus ini.

Pemain asing juga melakukan penetrasi pasar dengan strategi serupa, bahkan lebih murah dengan harga Rp12.500 per bungkus berisi 12 batang rokok.

“Jadi orang miskin juga bisa beli ini pakai uang yang tadinya untuk ongkos sekolah atau untuk makan siang, malah dibelikan rokok,” imbuh dia.

Pemerintah menurut Faisal perlu mengatur jumlah batang rokok yang harus dijual dalam satu bungkus agar tidak menimbulkan money illusion.

“Saya punya keyakinan tinggi bagi perokok pemula anak-anak itu sangat bergantung pada harga per bungkus,” kata Faisal.

“Hampir di semua negara di dunia setahu saya rokok itu 20 batang per bungkus,” imbuh dia.

Selain itu harus ada aturan yang radikal seperti larangan iklan rokok di dekat sekolah, baik di dalam ruangan ataupun di dalam ruangan.

Larang penjualan rokok per batang 

Ketua Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan sejauh ini belum ada upaya serius menekan jumlah perokok anak, yang ditunjukkan dengan kenaikan prevalensi tiap periode survei.

Padahal pemerintah sudah mempunyai regulasi yaitu Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, namun implementasinya masih belum berdampak signifikan.

“Praktik di lapangan anak-anak masih bisa menjangkau rokok setinggi apa pun cukai naik, karena masih bisa dibeli ketengan per batang seharga Rp1.000 - Rp1.500,” kata Lisda.

Iklan rokok juga masih menonjolkan harga yang terjangkau tiap batang.

Lisda mengungkapkan pada 2017 sebanyak 70 persen iklan rokok berbentuk promosi harga per batang.

“Industri rokok tahu anak-anak kita sangat sensitif dengan harga sehingga promosinya dibuat seakan-akan murah,” tambah dia.

Bagi industri rokok, harga jual per batang menguntungkan dan bisa memperluas akses penjualan hingga ke usia anak-anak. 

Menurut Lisda, masalah lain adalah batasan cukai rokok sebesar 57 persen.

Batasan ini perlu diubah, seperti halnya cukai alkohol yang bisa mencapai 80 persen.

Cukai rokok menurut dia bisa dinaikkan hingga 80 persen, sama seperti alkohol atau 2/3 dari harga jual eceran.

“Ini bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Alkohol dan rokok perlu diperlakukan sama,” tegas Lisda.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın